KOTOMONO.CO – Pagi-pagi sekali Pak Dumadi sudah berada di rumah Cak Kendor. Seperti biasa, di hari pertama Ramadan, Pak Dumadi memang sering memberi santunan ke orang miskin, dan Cak Kendor adalah salah satu yang sering ia beri santunan. Jumlahnya bisa ratusan ribu atau bahkan kadang jutaan.
Ya, benar sekali. Pak Dumadi bisa dibilang satu-satunya orang kaya di Kampung Lewah. Ketika mushola mengadakan sesuatu Pak Dumadi lah yang menyumbangnya lebih banyak. Tatkala ada santunan anak yatim, Pak Dumadi lah yang pertama kali memberi sumbangan. Dan di awal Ramadan seperti hari ini Pak Dumadi menjadi orang pertama yang memberi santunan.
Tak seperti tahun lalu. Hari ini Cak Kendor menerima baik-baik kedatangan Pak Dumadi. Namun, entah bagaimana Cak Kendor hari ini justru tampak lain.
“Apa-apaan lagi ini, Cak? Kan sudah pernah dikasih tahu Ustaz Ndirin, kalau takdir yang menurut sampeyan itu bukan takdirnya Gusti Allah…”
“Ini bukan soal takdir, saya sudah paham mengenai itu, Pak,” Cak Kendor menyerahkan uang dalam amplop, jumlahnya kira-kira bisa untuk membeli beras barang sebulan.
“Lha terus apa lagi, Cak? Sampeyan kok selalu mempersulit saya buat bersedekah…”
“Hari ini saya belum membutuhkan uang sampeyan, Pak. Mungkin besok, mungkin lusa, atau mungkin malah dua bulan lagi. Saya masih ada kok…”
“Itu kan bukan urusan saya to, Cak. Mau sampeyan butuhnya besok, lusa, atau lebaran monyet, saya ndak peduli. Yang penting uang ini sampai dulu ke sampeyan…”
Suasana hari itu sedikit mendung. Warga Kampung Lewah memang baru saja menunaikan Sholat Asar. Dan Pak Dumadi memang ingin ke rumah Cak Kendor dulu. Tapi alih-alih sumringah, habis sholat dan kepingin sedekah, eh Cak Kendor malah menolak mentah-mentah pemberian Pak Dumadi.
“Maaf, Pak Dumadi. Saya memang sedang ndak kekurangan uang. Uang sampeyan ndak berguna nanti…”
Akhirnya dengan perasaan kesal, Pak Dumadi pun pergi dari rumah Cak Kendor. Tentu saja dengan sedikit ngedumel. Baru kali ini, menurutnya, ada orang yang kemlithi tidak butuh uang. Maghribnya, Pak Dumadi dan Cak Kendor bertemu lagi di mushola.
Ketika sedang melangkah ke mushola, Cak Kendor melihat Pak Dumadi sedang bercakap-cakap dengan Ustaz Ndirin. Dari jauh Ustaz Ndirin seolah memberi kode ke Cak Kendor agar mendekat. Cak Kendor pun mendekat.
“Cak, sampeyan bener menolak lagi uang dari Pak Dumadi?”
“Benar, ustaz.”
“Karena takdirnya sampeyan itu miskin?”
“Sama sekali tidak begitu, ustaz.”
“Lha, terus kenapa to, Cak? Sampeyan selain anti Bismillah, anti duit juga?”
“Jelas ndak seperti itu, ustaz. Bagi saya duit itu penting. Tapi saya memang belum membutuhkannya. Saya masih punya, kok.”
“Buat besok, lusa, atau buat sebulan lagi kan ndak masalah, Cak. Anggap saja sebagai uang cadangan.”
“Masak harus saya ulangi, ustaz? Saya itu ndak butuh duitnya Pak Dumadi.” Seketika Pak Dumadi menyela obrolan itu.
“Duitku ki ora haram, Cak. Duit sing arep tak wenehke sampeyan iku dudu duit haram. Insya Allah halal, Cak!”
“Sabar, pak… sabar…” Ustaz Ndirin coba menenangkan.
Cak Kendor merasa harus segera memberikan jawaban. Ia tahu betul orang-orang macam Pak Dumadi pasti menunggu sesuatu yang pasti. Sesuatu yang tidak bisa nanti-nanti, harus sekarang. Toh, sebentar lagi iqamah.
Di sisi lain, diam-diam Ustaz Ndirin sepertinya mengerti apa yang dimaksud Cak Kendor. Mengapa untuk kali ini ia kembali menolak uang dari Pak Dumadi. Namun, Ustaz Ndirin kini tak mau menjawab. Disamping ia bukan juru bicaranya Cak Kendor, ia kini ingin agar Cak Kendor yang bicara.
“Begini, Pak Dumadi, ustaz.”
“Singkat saja, Cak, sebentar lagi qomat iki lho,” kata Ustaz Ndirin sambil tersenyum.
“Bagaimana saya bisa menerima sesuatu yang sebetulnya saya tidak butuh sama sekali? Soal uang itu, saya betul-betul tidak membutuhkannya. Mungkin suatu saat saya bisa jadi akan membutuhkannya. Tapi siapa yang tahu? Mungkin hari ini saya terima uang Pak Dumadi, tapi besoknya saya dapat uang yang cukup untuk kebutuhan saya dan istri…”
“Lanjutkan, Cak…”
“Begini, ustaz. Intinya saya tidak mau berlebihan. Apa kebutuhan saya, itu hanya saya yang bisa mengukurnya..”
“Betul… lanjutkan omonganmu, Cak,” kata Ustaz Ndirin.
“Nah, bagi saya, apa yang saya punyai sekarang itu sudah cukup. Saya ndak mau kebanyakan kebutuhan. Kebutuhan segini ya harusnya segini. Saya ndak mau menambah kebutuhan lagi. Karena kalau kebanyakan kebutuhan saya merasa kok makin bodoh. Makin tidak bersyukur.”
Mendengar penjelasan Cak Kendor, Pak Dumadi kelihatan bingung. Kelihatan seperti orang tak punya pikiran. Kosong dan hanya bisa melongo.
“Bener kata sampeyan, Cak…” Ustaz Ndirin menimpali.
“Benar gimana, taz? Saya kok ndak paham…” Pak Dumadi masih penasaran.
“Mendengar penjelasan Cak Kendor, saya jadi teringat perkataan Imam Syafi’i…”
“Perkataan yang bagaimana, ustaz?” Tanya Pak Dumadi.
“Begini kira-kira kata Imam Syafi’i, ‘Yang dikatakan berkecukupan adalah berusaha sekuat tenaga menganggap bahwa banyak hal tidak kamu butuhkan’.”
“Artinya, bukan memenuhi semua kebutuhan kamu. Semakin banyak kebutuhan semakin bodoh. Karena nafsu manusia itu tidak ada batasnya…”
Alih-alih mendengar penjelasan Ustaz Ndirin, Cak Kendor sudah berada di dalam masjid. Iqamah sudah berkumandang. Para jamaah sudah menunggu Ustaz Ndirin.
——————————————————
Disarikan dari keterangan yang disampaikan KH. Bahauddin Nur Salim
Berikan komentarmu