KOTOMONO.CO – Jujur, saya sebenarnya sudah bosen dengar kabar soal jumlah kasus positif Covid-19 di Kota Pekalongan. Perasaan bosen ini mungkin nggak cuma saya yang ngalamin. Mungkin Anda juga. Ya nggak? Rasanya berita yang begitu-begitu itu bikin judeg.
Mungkin, kejudegan saya juga dirasakan Pak Wakil Walikota. Ya gimana nggak judeg, wong kasusnya terus naik. Malah, per 25 Juni 2021 kasusnya sudah sampai 2.971 yang terkonfirmasi. Yang dirawat ada 33, yang isolasi ada 196, dan yang meninggal dunia 160. Sementara yang sembuh sebanyak 2.582.
Memang, angka kesembuhan sebenarnya tinggi. Tapi, kok yang digembar-gemborkan kabar peningkatan orang yang terpapar ya? Kabar lainnya, tentang kondisi rumah sakit yang sudah overload. Nggak sanggup lagi nampung pasien Covid-19. Sampai-sampai Pemkot pun berniat bikin Rumah Sakit Darurat dengan memanfaatkan Gedung Diklat di Jalan Merbabu. Padahal, sebelumnya gedung itu sudah digunakan untuk ruang isolasi Covid. Lha kok?
Padahal, kalau mau, Pemkot bisa saja pinjam gedung-gedung lain yang masih kosong tuh. Misalnya, gedung berlantai tiga yang ada di belakang kompleks kantor dinas, yang catnya warna-warni bak pelangi itu. Mungkin, apa sudah mentok ya?
Makanya, nggak heran kalau Pak Wawali juga sampai judeg. Lha wong ruangan untuk perawatan pasien Covid-19 sudah nggak ada. Sementara, jumlah kasusnya terus saja naik.
BACA JUGA: Prestasi Pemkot Pekalongan dalam Sebulan ini
Gara-gara itu pula, Pak Wakil Walikota Pekalongan, H. Salahudin, S.T.P. sampai menyampaikan pernyataan yang bagi saya cukup mengejutkan. Pernyataan itu termuat dalam laporan yang diberitakan radarpekalongan.co.id tanggal 24/06/2021. Bunyi pernyataannya gini: “Sebagai tokoh yang punya pengaruh. Berilah teladan dengan memberi contoh memakai masker saat berada dalam sebuah acara.” Nggak cuman itu, Pak Wakil juga bilang, “Ingatlah, bahwa pilihan sampean ikut menentukan pilihan pengikut anda. Oleh karena itu, berhati hatilah dalam berperilaku.”
Nah! Pernyataan itu bikin saya penasaran. Kira-kira siapa tokoh yang dimaksud ya? Tapi, terlepas dari siapanya, pernyataan Pak Wakil secara tersirat menandakan kalau di antara tokoh agama (Toga) dan tokoh masyarakat (Tomas) ini dinilai masih ada yang “bandel”. Hmmm… gitu ya?
Dan, pernyataan Pak Wakil ini sepertinya serius banget. Artinya, beliau sedang kasih sinyal red alert. Kode keras!
Tapi, siapa ya yang dimaksud? Apa para ustaz di kampung-kampung? Atau, tokoh-tokoh agama lainnya juga? Atau, jangan-jangan para ulama besar yang ada di kota ini?
Oke deh, saya nggak mau main tebak-tebakan. Yang jelas, kode keras Pak Wawali ini meminta agar tokoh agama dan tokoh masyarakat mau menjalankan prokes. Titik. Minimal, untuk menghindari pemberlakuan PPKM yang bisa saja membuat kegiatan keagamaan jadi sulit dilaksanakan.
BACA JUGA: Banjir Rob, Antara Relokasi VS Pembangunan Tanggul
Saya akui, maksud ucapan Wawali ini baik, ingin mengajak tokoh agama dan tokoh masyarakat agar memberikan teladan dengan tetap menerapkan protokol kesehatan (Prokes) sehingga kasus positif Covid-19 di Kota Batik ini cepat menurun. Namun tetap saja nih, siapa ya kira-kira tokoh yang punya pengaruh yang dikecam Pak Haji H Salahudin STP ini? Rasanya perlu diclearkan nih Pak biar nggak jadi gejolak di masyarakat di tengah-tengah ketidakpastian pandemi.
Ya betul saja sih, peran tokoh masyarakat dan tokoh agama bisa menjadi penting dalam situasi pandemi yang kian runyam ini. Dikatakan bila mereka cuek dengan tidak memakai masker serta tidak mau menjaga jarak dan tetap bersalaman seperti biasa dapat berpengaruh pada masyarakat. Berarti mau menjadikan Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat sebagai duta 5M pok Pak?
Saya kok jadi menyangsikan ketegasan dari realisasi ucapan pak Wawalkot ini, yakin berani kalau mendapati Toga atau Tomas yang nggak patuh prokes? Simpelnya kalau Toga atau Tomas itu tidak bermasker dan atau justru melaksanakan kegiatan saat PPKM ini bisa langsung ditegur? Ayo pak kesungguhan dan ketegasan njenengan ditunggu masyarakat Anda lho ini.
BACA JUGA: Keganjilan Pemberitaan 48 Santri Positif Covid 19 di Ponpes Syafi’i Akrom
Oh iya Pak, kalau bisa sih, saat menjalankan anggota njenengan melakukan operasi Yustisi itu nggak usah bawa-bawa personil yang banyak pak, ntar jadi berkesan banyak ramai. Cukup beberapa saja. Toh Operasi yustisi itu kan bukan bertujuan melarang kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan masyarakat seperti berdagang, belanja dan keperluan lainnya, melainkan untuk memastikan dan mengedukasi bahwa masyarakat bisa patuh prokes terutama di tempat umum.
Kan, enak gitu lho kalo yang ngerazia itu nggak banyak orang apalagi sampai bertruk-truk, cukup 2-3 personil, misal dari 1 polisi, 1 tentara, dan 1 Satpol PP. Masak sih dengan tiga unsur tersebut masyarakat tidak manut? Kalaupun ada swab test acak ya tambah 2 personil dari tenaga kesehatan yang hadir.
Oh iya satu lagi, semua orang itu berisiko terpapar virus, tetapi yang terpapar itu belum tentu terjangkit sakit. Nah mending difokuskan saja ke yang terpapar + sakit biar nggak berkesan memburu yang positif saja. Dan yang Cuma terpapar (baca Orang Tanpa Gejala) biar isolasi mandiri saja di rumah.
komentarnya gan