KOTOMONO.CO – Mumpung masih bulan Ramadan, baiknya kita berprasangka baik saja pada Walikota Pekalongan. Siapa tahu dapet sarung Atlas. Jiyakhhhh
Baru-baru ini polemik penolakan Salat Idulfitri ramai dibicarakan di media sosial. Ada dua Pemerintah Daerah (Pemda) yang dikabarkan menolak untuk mengizinkan fasilitas umum berupa lapangan untuk digunakan Jamaah Muhammadiyah Salat Idulfitri pada Jumat, 21 April 2023.
Salah satunya Pemkot Pekalongan. Sebelumnya diketahui Pemkot Pekalongan dalam hal ini Walikota Pekalongan, Afzan Arslan Djunaid dikabarkan telah menolak izin penggunaan Lapangan Mataram untuk Salat Idulfitri pada Hari Jumat, 21 April 2023 melalui suratnya yang beredar di media sosial. Isu ini pun lantas menjadi viral.
Apalagi para tokoh Muhammadiyah turut buka suara terkait hal tersebut. Salah satunya Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti di media sosialnya. Tidak hanya blio, Alissa Wahid juga turut memberikan pandangannya.
Selain para tokoh, warganet tentu saja ikut meramaikan lantai dansa dengan mengkritik keras keputusan Walikota Pekalongan dan Walikota Sukabumi yang juga menolak izin Salat Idulfitri. Semuanya pun marah-marah.
Wah! Sentimen ke Muhammadiyah, nih!
Orangnya NU banget!
Gereja dijaga, tapi sesama Islam kok nggak menghargai!
Alhasil, hal yang sebenarnya tampak sepele itu kembali mengarahkan kita ke konflik horizontal. Mengarahkan kita ke perdebatan antara NU-Muhammadiyah. Dih, basi!
Well, ketika saya menulis ini, permasalahan soal itu sudah klir. Aaf, sapaan akrab Walikota Pekalongan, sudah mengizinkan Lapangan Mataram digunakan untuk Jamaah Muhammadiyah Salat Idulfitri.
Namun, sebagai warga Kota Pekalongan yang diajarkan budi pekerti dan nilai-nilai agama yang luhur, saya rasa kalau dicermati lagi, nggak ada yang salah dengan apa yang dilakukan Walikota Pekalongan terkait suratnya tersebut. Hemat saya, Aaf pasti bermaksud baik di balik penolakan izin tersebut. Oke, mari kita membedahnya pelan-pelan.
Isi Surat Walikota Pekalongan
Kebetulan saya mendapatkan tangkapan layar surat dari Walikota Pekalongan tersebut sebelum muncul ramai-ramai di media sosial. Seorang teman membagikannya via Snap WhatsApp. Berikut adalah beberapa poin yang saya tangkap dari isi surat tersebut.
Pertama, permohonan untuk menggunakan Lapangan Mataram untuk Salat Idulfitri datang dari Pengurus Takmir Masjid Al-Hikmah Podosugih. Mereka memohon untuk memakai Lapangan Mataram pada tanggal 1 Syawal 1444 H yang menurut keyakinan mereka, jatuh pada 21 April 2023 atau Hari Jumat.
Kedua, Pemkot Pekalongan adalah representasi Pemerintah Pusat di Daerah. Jadi, soal kapan dilaksanakan Salat Idulfitri, Pemkot Pekalongan ikut keputusan dari Pemerintah Pusat. Menimbang hal itu, pada poin ketiga, Pemkot Pekalongan tidak bisa memberikan fasilitas yang dimaksud. Dan dimohon yang bersangkutan mencari lokasi lain saja.
Dipelintir Media
Surat yang sejatinya sangat mudah dipahami itu pada gilirannya justru menimbulkan masalah. Apalagi menurut rilis terbarunya, Aaf mengatakan, ada yang memelintir informasi. Singkatnya, kenapa bisa viral adalah karena ada yang mengabarkan kalau “Pemkot Pekalongan melarang Muhammadiyah Salat Idulfitri”.
Padahal sebagai kota yang menjunjung tinggi nilai religiusitas, saya yakin Walikota Pekalongan tak mungkin bermaksud demikian. Pemkot Pekalongan toh juga nggak jarang menggelar semacam acara pengajian. Nggak mungkin dong Walikota Pekalongan melarang hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan yang sangat positif itu? Ha bisa rusak reputasinya.
Hanya saja, dalam kasus ini Walikota Pekalongan nggak tahu—atau pura-pura nggak tahu?— apa pun yang keluar darinya bisa dengan mudah dipelintir oleh media. Kasihan deh. Nah, ndilalah yang dipelintir adalah persoalan sensitif: AGAMA.
BACA JUGA: Merayakan Kemesraan Pemkot Pekalongan dengan Wartawan Lokal
Di tengah masyarakat yang jauh dari peradaban modern. Di tengah warga yang cuma baca terjemahan Al-Qur’an dari Kemenag tanpa memahami tafsirnya, ya soal yang begituan langsung ramai. Walikota Pekalongan sepertinya gagap tentang ini. Blio kira semua media sudah berada di genggamannya???
Helowwww…
Kalau nggak mau dipelintir media ya hidup saja di Bikini Bottom sana. Yang jadi pertanyaan, ini tim media atau humasnya ngapain aja? Kalau memang butuh ilmu soal media, atau buat mengantisipasi masalah yang beginian, Kotomono bisa bantu kok.
Walikota Sudah Memfasilitasi
Kegagapan mencegah blunder semacam ini hebatnya ditanggulangi dengan cara yang, walau serampangan, tapi tepat guna. Aaf secepat burok memberikan klarifikasi. Dilansir Detik, sejatinya pihak Pemkot Pekalongan sudah memfasilitasi untuk ibadah Salat Idulfitri di Hari Jumat. Ada beberapa lokasi yang disediakan.
BACA JUGA: Politik “Pangkon” Ala Mas Walikota Aaf
Mulai dari Stadion Hoegeng, Lapangan Peturen, dan halaman-halaman kantor kecamatan. Dengan kata lain, melalui klarifikasinya itu walikota ingin mengatakan, bahwa ini lho sudah tak fasilitasi buat yang lebaran duluan. Monggo.
Tapi untuk Lapangan Mataram karena satu kesatuan dengan kantor Pemkot Pekalongan, kalau mau digunakan Salat Idulfitri harus menunggu ketetapan dari Pemerintah Pusat. Saya setuju dengan hal ini. Walikota Pekalongan benar. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pemerintah ya harus menunggu ketetapan pemerintah.
Pemerintah mengizinkan nggak warganya menggunakan fasilitas umum. Kan konsepnya memang begitu?
Di negara yang tingkat bacanya rendah ini, kan fasilitas umum itu ya dikuasai oleh pemerintah. Kata “Umum” dalam frasa “Fasilitas Umum” itu kan artinya pemerintah. Jadi, kalau mau memakainya, mendapat izin dari pemerintah hukumnya fardhu ain.
BACA JUGA: Saya yang Walikota Menjawab Kritik Saya yang Tukang Kritik
Ambil contoh di Kota Pekalongan soal alun-alun. Alun-alun itu kabarnya sedang direnovasi. Pemkot Pekalongan dulu sangat tegas bahwa tidak boleh ada lagi pedagang di sana. Titik. Tapi di Bulan Ramadan, khususnya jelang lebaran alun-alun dibuka dan pedagang dipersilakan menggelar lapaknya di sana.
Alun-alun itu adalah fasilitas umum. Tapi bukankah para pedagang mustahil membuka dagangannya di sana tanpa seizin dari Pemkot Pekalongan? Soal ada syarat-syarat khususnya, itu bisa diurus belakangan, Bund.
Lapangan Mataram Boleh Digunakan Buat Apa Saja Kok
Pada prinsipnya, saya menangkap maksud Walilkota Pekalongan bahwa Lapangan Mataram bisa kok digunakan buat apa saja. Buat konser bisa. Buat menggelar pameran boleh saja. Buat apel akbar, sudah sering. Demo? Apalagi. Wisata kuliner? Itu lho kemarin sudah. Pasar murah? Tentu, Pemkot Pekalongan kan murah hati.
Bahkan kalau mau kampanye partai berkedok pengajian akbar di Lapangan Mataram juga sepertinya tiada soal. Apalagi? Buat pertandingan sepak bola? Tentu saja bisa. Mau main bola sebagaimana Titus Bonai atau main bola pakai sarung, gamis, atau kostum barongsai juga monggo-monggo saja.
BACA JUGA: Perlunya Masjid Ikonik untuk Pekalongan yang Lebih Religius
Demi kondusifitas dan kerukunan antarwarga, saya punya kemantapan hati yang solid bahwa Lapangan Mataram juga bakal diperbolehkan dipakai oleh siapa saja. Jangankan Jamaah Muhammadiyah yang sesama muslim, para pemuja keong gondang sampai penyembah Yahweh pun kalau mau menggelar ritual di Lapangan Mataram pasti boleh. Yakan, Kot, Pemkot?
Etapi nanti Pemkot dicap mendukung sekte sesat. Mendukung aliran yang tidak sama dengan mayoritas haram hukumnya! Masuk neraka!!!!
Yaelahhh… Kuno sekali!
Berikan komentarmu