KOTOMONO.CO – Pernahkah kita berujar yang membuat diri menjadi minder serta merasa gagal dalam hidup? Semua itu seakan-akan kehidupan yang baik adalah yang kaya dan sukses.
Memang bukan masalah dan tidak ada yang melarang untuk jadi kaya dan sukses di duni ini. Tetapi permasalahannya ketika melihat teman yang “terlihat” sukses dan kaya, alih-alih kita mendukung malah jatuhnya pada kedengkian dan keirian.
Apa yang terjadi pada realitas itu? Apakah itu memang sifat manusia yang selalu diliputi kedengkian atau sebab konstruksi sosial? Banyak hari ini -entah itu datangnya kapan- kehidupan manusia sudah diukur dengan ukuran-ukuran yang tunggal bahwa hidup itu harus sukses dan kaya.
Sebagaimana yang sering kita dengar dalam acara silahturahmi saat hari raya maupun reuni, dalam silahturahmi itu kita kerap dibanding-bandingkan dengan orang lain, “lihat tuh si A sudah sukses dan kaya, lihat tuh si A kerjanya sudah enak, lihat tuh si A sudah menikah, masa kamu gini-gini aja?”
Memang niatnya basa-basi untuk membuka obrolan. Tapi yang mereka tidak tahu bahwa setiap orang punya pilihan serta takdir hidupnya masing-masing. Dan penafsiran kesuksesan serta kekayaan setiap orang itu berbeda-beda.
Bagi orang yang sudah sukses dan kaya (menurut ukuran mereka, banyak duit dan jabatan keren) mungkin pertanyaan itu biasa, tapi bagi yang diberi pertanyaan itu melihatnya sebagai beban. Hal itu dapat berujung kesal, marah, iri, penyesalan, dan dendam kesumat. Hal-hal inilah yang sering menjadi penyebab adanya sebuah konflik (antar teman, saudara atau bahkan keluarga) serta kekerasan berbasis psikologis yang berujung tidak baik.
Jauh-jauh hari, seorang pemikir sekaligus sosiolog asal Perancis bernama Rene Girard (1923-2015) telah menggambarkan kenyataan ini. Berangkat dari asumsi bahwa manusia itu memiliki hasrat. Hasrat disini artinya tidak terbatas hanya untuk hal-hal primer seperti makan minum, dan regenerasi saja melainkan pada keinginan untuk pemenuhan hidup yang lebih intensif, seperti kaya, sukses, dan capaian prestasi.
Menurut Girard hasrat ini lahir dan berkembang dari proses peniruan hasrat orang lain atau dalam bahasa Girard disebut sebagai mimesis (peniruan). Sejak kecil manusia dengan hasratnya berkembang melalui proses belajar (melihat, membandingkan, dan meniru). Manusia cenderung belajar dari orang lain, yang menurutnya mempunyai nilai yang lebih dari dirinya.
Dalam kasus ini sering kita melihat beragam acara motivasi atau workshop yang membawa tema soal kesuksesan seseorang. Semua itu bertujuan untuk memotivasi hasrat manusia sebagaimana dikatakan oleh Girard bahwa dalam hasrat itu ada sifat pendorong, yakni mendorong manusia untuk meniru atau mengikuti orang lain (dalam hal ini meniru kesuksesan dan kekayaan orang lain). Girard menyebutnya dengan “mimetic desire” (keinginan memetik), keinginan memetik ini merupakan tanggapan seseorang terhadap orang lain, yang berakibat pada persaingan (bersaing untuk sama-sama menjadi sukses dan kaya).
BACA JUGA: Soal Overthinking dan Bagaimana Cara Mengatasinya
Persaingan itu dapat dilihat dalam pamer-pamer di media sosial, dimana seseorang berusaha saling pamer dan menunjukkan egonya “lihat nie gw sudah sukses dan kaya”. Bagi orang yang belum sukses dan kaya tentu hal ini membuat keirian dan kedengian tersendiri dan berujar yang tidak-tidak seperti “ih, dia bisa sukses gitu, aku iri” atau “sial, kok dia bisa sukses”.
Maka, tidak heran jika banyak acara workshop dan motivasi bertema kesuksesan itu hadir lengkap dengan fasilitas-fasilitas yang ditawarkan. Girard menyebutnya dengan “mediation”, yakni proses di mana seseorang terpengaruh oleh pilihan dan keinginan orang lain. Pernyataan seperti “lihat tuh si A sudah kaya dan sukses, kamu kok tidak seperti dia padahal kamu lulusan ini loh, padahal kamu pinter loh, padahal kamu ganteng loh” yang keluar dari mulut saudara atau pun teman-teman ini tak lain lahir dari pengaruh dan pilihan orang lain yang ada disekitar.
Sebagai contoh konkret dari bekerja “mediation” misalnya, seperti sebuah produk diiklankan yang menggunakan selebriti untuk menggugah atau memediasi keinginan orang untuk menirunya dengan mengingini produk yang diiklankannya itu, seperti produk kecantikan. Kemudian banyak orang berlomba-lomba atau bersaing menjadi cantik. Contoh lain dapat dilihat dari viralnya “Citayam Fashion Week”, dimana para abege berlomba-lomba bersaing dalam menunjukkan “gaya”-nya karena melihat di televisi seperti Harajuku.
BACA JUGA: Mengkaji Makna dan Tujuan Pendidikan Lewat Pemikiran Ibnu Khaldun
Bukan hanya itu, dalam media sosial pun orang ramai-ramai pamer kesuksesan dan kekayaan yang membuat orang ingin menirunya. Alih-alih bersyukur dengan kondisinya hari ini mereka malah melakukan persaingan dengan berujar pada diri sendiri; (“ih, dia pakai iphone gw nggak mau kalah, ih, dia bawa mobil gw harus punya mobil biar sama kayak dia) atau dari ujaran teman seperti “kerja melulu loh, kagak kaya-kaya kayak Raffi Ahmad”, seakan-akan orang bekerja dituntut untuk jadi atau meniru seperti Raffi Ahmad yang justru malah menimbulkan pembandingan diri karena satu sama lain saling menginginkan objek yang sama.
Pada titik ini Girard menyebutnya dengan “hasrat atau keinginan metafisik” (metaphysic desire), yakni sebuah rivalitas atau persaingan untuk objek yang tidak nyata. Contoh yang paling sederhana untuk memperlihatkan “hasrat metafisik” ini adalah persaingan demi harga diri dan kehormatan. Karena itu dalam hidup manusia persaingan atas nama harga diri dan kehormatan dapat lebih intensif dibandingkan sebuah perjuangan atau proses untuk suatu sasaran objektif nyata.
Hari ini orang beli iphone bukan lagi untuk kebutuhan melainkan harga diri dan gengsi, hari ini orang beli mobil bukan lagi kebutuhan melainkan demi harga diri agar telihat kaya, hari ini orang disuruh sukses dan kaya menurut ukuran sosial agar terhormat dan terhindar dari kegagalan hidup, keterasingan, dan rasa minder.
BACA JUGA: Tips Menjalani Hidup Bebas Overthinking ala Dr. Aidh Al-Qarni
Hari ini ketika orang tidak memiliki kesuksesan, kekayaan, pasangan hidup, iphone, mobil, atau “gini-gini aja” hidupnya divonis mengalami kegagalan akut. Dalam hal ini semua orang berbicara tentang kehausan akan pujian, persaingan akan sesuatu yang nihil. Bahkan manusia saling iri dan dengki hanya untuk mendapatkan sesuatu yang abstrak.
Manusia yang gagal memenuhi ekspetasi ini secara tidak langsung akan menjadi bulan-bulanan hujatan dan peremehan yang dilakukan baik oleh orang terdekat. Maka tidak heran jika hari ini banyak orang cenderung berpikir overthinking atau berpikir sesuatu yang berlebihan. Berpikir tentang sesuatu yang belum terjadi atau berpikir sesuatu yang abstrak.
Alih-alih bersyukur dan Alhamdulillah dengan keadaan kita hari ini, kita malah cenderung terjebak pada ketakutan-ketakutan akan sesuatu yang nihil dan fana dikarenaka takut sebagai wadah penghinaan. Padahal Allah SWT sudah menjamin sebagaimana firman-Nya dalam Surat Hud ayat 6 berbunyi; “Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”.
BACA JUGA: Stop Memandang Sebelah Mata, Mantan Narapidana juga Manusia
Tidak salah untuk menjadi sukses dan kaya, karena itu harapan. Tapi kehidupan berjalan tidak hanya lurus. Karena hidup tidak berjalan lurus-lurus saja maka makna dari kesuksesan dan kekayaan dari setiap orang berbeda-beda.
Jadi hargailah setiap manusia yang sedang berjuang untuk kehidupannya yang lebih baik. Bukankah hidup ini sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-An’am: 32, yang berbunyi: “Dan kehidupan dunia tak lain adalah permainan dan senda gurau”. Jadi kenapa musti tegang dan ada persaingan, kalem-lah.
Komentarnya gan