KOTOMONO.CO – Entah sejak kapan warna merah dimaknai sebagai tanda bahaya. Tetapi, begitulah nyatanya. Sekalipun warna merah dalam berbagai kebudayaan bisa saja berbeda-beda maknanya, namun dalam hal-hal tertentu, hampir semua bangsa menyepakati pemaknaan warna merah sebagai simbol tanda bahaya.
Itulah yang menimpa pada 51 orang mantan pegawai KPK. Mereka dicap ‘merah’. Artinya, tidak ada seinci pun hak mereka untuk tetap berada di gedung KPK. Nurul Ghufron, Wakil Ketua KPK, menegaskan, bahwa mereka sudah tidak mungkin lagi dibina.
Pemberian cap ‘merah’ dan tercabutnya hak mereka untuk dibina kontan membuka lebar bagi munculnya polemik. Namun, Ketua KPK, Firli Bahuri menyikapi dengan membuat pernyataan, “Saya ingin katakan bahwa ini sudah selesai, karena buktinya 1.271 orang hadir dan diambil sumpah.”
Lontaran pernyataan Ketua KPK itu disampaikan seusai pelantikan pegawai KPK pada 1 Juni 2021 lalu. Sebelumnya, dalam berbagai pemberitaan, Firli mengatakan dari 1.351 terdapat 75 orang yang dinyatakan tidak lolos TWK. Dari jumlah pegawai yang tak lolos TWK itu, terdapat 24 orang yang dinyatakan masih memungkinkan untuk dibina agar bisa kembali menjadi ASN. Sisanya, 51 orang, dianggap tidak bisa bergabung lagi di KPK karena mendapatkan cap ‘merah’.
Berbagai tanggapan mengemuka. Mereka yang dinyatakan tidak lolos TWK berang. Bahkan, Penyidik KPK, Novel Baswedan menilai jika klarifikasi kedua Pimpinan KPK bersama Badan Kepegawaian Negara (BKN) itu sebagai bentuk penghinaan. Lebih-lebih, proses Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang dilakukan tidak memiliki standar yang jelas. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan juga tidak relevan.
Hidup dalam bayang-bayang dan stigma anti-Pancasila, disertai kehilangan pekerjaan menjadi salah satu poin yang tergambar dalam film dokumenter KPK The Endgame karya Dandhy Dwi Laksono dari Watchdoc itu. Tuturan dalam film itu merupakan sebagian besar dari penyelidik dan penyidik yang jarang muncul di hadapan publik karena tanggung jawab mereka pada penanganan kasus.
Sabtu (5/6/2021) malam, 40 muda-mudi Pekalongan yang terdiri dari puluhan kader dan sejumlah masyarakat duduk bersila di Pelataran media lokal Radar Pekalongan menyaksikan untuk kali pertamanya film dokumenter KPK The Endgame.
Sekitar pukul 19.30, film diputar. Suasana hening. Wajah-wajah yang dibalut masker itu mencermati tiap bagian film. Dua jam penuh mereka dihadapkan pada gambaran polemik TWK di KPK yang ramai dibincangkan.
Dalam film tersebut, pegawai KPK yang dibebastugaskan memberikan kesaksian bahwa TWK dinilai diskriminatif dan tidak masuk akal. Tes tersebut juga dianggap tidak memiliki korelasi langsung dengan kompetensi mereka sebagai orang yang menangani kasus korupsi. Lebih mirip screening ideologi sekaligus melekatkan stigma bahwa mereka tak sejalan dengan Pancasila. Hal ini yang mengakibatkan tes TWK itu akhirnya kontroversial.

Seusai penayangan film, dilanjutkan dengan penyampaian pandangan tentang pemberantasan korupsi d Indonesia oleh peserta dan perwakilan dari KAMMI Daerah Pekalongan. “Amanah reformasi UU No. 28 dan 31 tahun 1999, adalah penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme atau KKN,” ujar Ketua KAMMI Daerah Pekalongan, Rino Respati.
Pelemahan KPK, menurut Rino, adalah dampak disahkan UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK. “Ini dampak dari kekalahan perjuangan menolak Revisi UU KPK yang sudah sah menjadi UU KPK, walaupun perjuangan belum berakhir. Integritas masyarakat kita juga perlu dipupuk ulang di tengah gencetan kehidupan konsumtif,” tegasnya.
Nonton bareng ini dilakukan serentak di 169 titik seluruh Indonesia pada penayangan perdana. Upaya ini juga sebagai bentuk solidaritas KAMMI Daerah Pekalongan sebagai bagian dari aksi protes terhadap pelemahan KPK dan pemberantasan korupsi, ihwal 75 pegawai KPK yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status pegawai menjadi ASN.
Terlepas dari itu, serangan digital menimpa sejumlah pihak yang menyuarakan dukungan tersebut. Yang terbaru, akun Instagram milik Watch Doc Documentary dan akun Twitter milik @KPK_endgame tiba-tiba lenyap dan berubah-ubah username disertai penghapusan konten postingan ketika diskusi berlangsung.
Seperti dicatat Jawa Pos, Anita Wahid dari Public Virtue Research Institute (PVRI) mengatakan, ada upaya sistematis untuk melakukan penyempitan ruang publik. Terutama di platform digital yang selama ini menjadi ruang berekspresi dan menyatakan pendapat. “Ini bukan hanya masalah akun diambil, tapi juga bagaimana pesan-pesan tertentu disusupkan pada gawai kita,” ujar putri ketiga mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid tersebut.
Pegiat Anti Korupsi, Febri Diansyah dalam tweetnya, sudah memprediksi hal demikian. Febri menyebut kalau mereka bingung kehabisan narasi dan kering lemparan isu untuk fitnah. “Biasanya mereka akan bajak Whatsapp, Telegram, atau juga ngerjain akun twitter tertentu,” sebut Mantan Juru Bicara KPK itu.
Berikan komentarmu