KOTOMONO.CO – Stoikisme adalah seni mengenal diri sendiri sehingga kita dapat menikmati kehidupan sehari-hari.
Aliran filsafat ini seringkali dikenal sebagai filsafat stoa atau stoikisme. Filsafat ini mulai muncul ke permukaan melalui buku yang ditulis oleh Henry Manampiring dengan judul karyanya “Filosofi Teras”. Dan berbicara mengenai stoisisme pada akhir dewasa ini sepertinya sangat relevan dan patut dipelajari.
Buku tersebut membahas terkait dengan prinsip-prinsip aliran filsafat stoa dengan penjelasan analogi sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Sebenarnya, aliran filsafat ini sudah ada sejak zaman Yunani Kuno sekitar 300 SM yang lalu.
Pemikiran stoa dicetuskan oleh Zeno, seorang pedagang kaya raya yang mendadak menjadi miskin akibat dalam perjalanannya kapal yang ia tumpangi menghantam batu karam dan menghabiskan harta berserta barang dagangannya. Beruntungnya, Zeno berhasil selamat dan terdampar di Athena.
Disana, Zeno menghabiskan banyak waktunya untuk mengunjungi toko buku dan belajar filsafat dari Creates dan pada akhirnya ia mampu mengajarkan filsafatnya sendiri dengan ajaran yang diberi nama Stoa. Istilah dari Stoa merujuk pada tempat yaitu di teras dalam mengajarkan filsafatnya.
Aliran filsafat ini sangatlah cocok untuk diterapkan oleh siapa pun. Adapun beberapa tokoh menganut ajaran stoa seperti Marcus Aurelius (seorang kaisar romawi kuno), Epictetus (seorang budak), maupun Seneca. Salah satu aspek yang dibicarakan dalam filsafat stoa yaitu tentang kebahagiaan. Dalam ajaran stoa berfokus pada bagaimana cara menemukan kebahagiaan yang sejati dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Pada umumnya, orang-orang dalam mencari arti kebahagiaan dikaitkan dengan luar jangkauan pada dirinya sendiri.
BACA JUGA: Soal Overthinking dan Bagaimana Cara Mengatasinya
Mereka fokus terhadap apa yang tidak bisa dikendalikan seperti halnya dalam lingkup materi termasuk harta, jabatan, kekuasaan, bahkan pendapat dari orang lain. Namun, sebenarnya filsafat stoa ini mengajarkan untuk berfokus pada hal-hal yang bisa dikendalikan dengan memusatkan semua hal pada diri sendiri.
Perlunya menyadari terlebih dahulu bahwa hidup yang kita jalani saat ini tidak semua dapat dikontrol. Misalnya saja, fisik diri, kondisi cuaca yang sedang terjadi hingga pendapat dari omongan orang lain. Kita ambil kutipan dari Epictetus yang membicarakan tentang untuk focus terhadap apa yang dapat dikendalikan
“Tugas utama dalam hidup hanyalah ini, untuk mengenali dan memisahkan hal-hal sehingga saya dapat mengatakan dengan jelas kepada diri sendiri tentang apa yang di luar kendali saya, dan yang berkaitan dengan pilihan yang benar-benar saya kendalikan. Lalu dimana saya mencari yang baik dan yang jahat? Bukan untuk eksternal yang tidak terkendali, tetapi dalam diri saya untuk pilihan yang saya miliki.” –Epictetus
BACA JUGA: Stop Memandang Sebelah Mata, Mantan Narapidana juga Manusia
Dalam ungkapan tersebut, Epictetus menjelaskan dalam hal menjalani kehidupan terutama dalam mencapai kebahagiaan dapat dilakukan dengan menyadari serta mengenali apa saja yang dapat dikendalikan dan yang tidak dapat dikendalikan.
Mengenai perbuatan yang bersangkutan dengan baik dan jahat itu merupakan pilihan yang diambil dalam diri sendiri. Seseorang yang berfokus pada hal tersebut di dalam menjalani kehidupan sehari-hari dapat menhindari perasaan negatif, emosi yang meluap, bahkan overthinking sehingga dapat mengendalikan serta hidup bahagia.
Jadi, prinsip dalam ajaran stoikisme memfokuskan pada apa yang berada dalam diri sendiri, bukan menggantungkan hal-hal yang diluar pada diri. Kaum stoa percaya pada semua hal sepenuhnuya dari pengolahan pikiran manusia secara sadar dan mampu merespon dengan mengendalikan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi.
BACA JUGA: Soal Rivalitas Kehidupan yang Kalau Dipikir Itu Mending Lucu
Kaum stoa juga berkeyakinan bahwa sumber penderitaan pada manusia disebabkan karena menggantungkan kebahagiaannya pada sesuatu di luar dirinya. Dari hal tersebutlah, orang banyak mengejar kebahagiaan dengan memperbudak dirinya sendiri.
Padahal, apa yang kita sebut dengan kebahagiaan sebenarnya berasal dari dalam dengan pengelolaan emosi diri, persepsi dari orang lain dan mengetahui secara penuh bagaimana dapat berdamai dengan diri sendiri tanpa adanya tuntutan dari orang lain. Bahwa seseorang yang mengenal diri dengan baik adalah diri kita sendiri yang mengetahuinya.
Apakah Stoisisme hanya pasrah terhadap diri serta bersikap bodoh amat terhadap yang lain? Jawabannya adalah tidak. Mengapa? Sebenarnya dengan mempelajari ajaran filsafat stoa, kita lebih mudah untuk mengetahui batas kemampuan diri serta mampu berusaha secara semaksimal mungkin. Sehingga, kita jauh lebih terhindar dari perasaan emosi yang negatif dan overthinking yang berlebihan.
BACA JUGA: Alasan Hobi Orang Dewasa yang Gemar Nonton Kartun itu Layak Diapresiasi
Tentunya dalam kehidupan manusia pasti muncul suatu kesulitan yang tengah dihadapinya. Misalnya, putus hubungan dengan pacar, baru saja dipecat dalam pekerjaan, terjebak kemacetan saat berangkat ke kantor, atau harta kekayaan habis secara drastis.
Dalam menghadapi kesulitan yang sedang menimpa, upaya dalam mengatasinya menurut kaum stoa adalah dengan bagaimana kita melihat dari sudut pandang suatu penderitaan yang dialami serta cara kita bersikap yang berbeda ketika sedang mengalaminya.
Jadi ingin saya sampaikan bahwa filsafat stoa dapat dijadikan alat untuk membentuk pribadi yang tangguh pada diri seseorang. Salah satu yang diajarkannya yaitu dengan bagaimana kita dapat berdamai dengan diri sendiri serta mengenal diri sebaik-baiknya.
Komentarnya gan