KOTOMONO.CO – Cerita dari pengalaman saya saat masuk ke Rumah Tahanan Negara (biasa disebut Rutan) yang sudah terjadi beberapa tahun silam namun rasa-rasanya masih hangat di kepala.
Cerita ini juga sudah saya ceritakan berulang kali baik melalui lisan maupun tulisan, tapi saya rasa masih perlu dibagikan secara lebih luas lagi. Oleh sebab itu, saya ingin mengungkapnya lagi sekarang, tentu dengan perspektif yang lain.
Keberadaan saya di Rutan saat itu tidak lebih karena tuntutan tugas dari kampus untuk pelaksanaan praktik lapangan. Kami harus berada di sana sejak pukul tujuh pagi hingga siang menjelang sore hari seperti laiknya petugas Rutan pada umumnya. Sebagai orang awam yang hanya mengetahui Rutan dari sisi gelapnya, praktik lapangan selama 40 hari tersebut cukup merubah kacamata kami.
Selama ini orang-orang hanya melihat Rutan ataupun Lapas (lembaga pemasyarakatan) hanya sekadar penjara, tempat untuk menampung orang yang bersalah. Pun menyebutkannya demikian. Image yang disandangnya seketika menjadi negatif. Hal ini berdampak pada orang-orang di dalamnya yang juga turut dilabeli secara sepihak. Narapidana ataupun tahanan seketika dicap negatif dan tercoreng. Begitu juga saat mereka sudah bebas dan kembali ke masyarakat.
Realita yang saya dapatkan selama pelaksanaan praktik di Rutan tidak demikian. Rutan bekerja sebagaimana fungsinya, yaitu lembaga pemasyarakatan. Kata pemasyarakatan tersebut yang menjadi kunci kegiatan memanusiakan manusia. Sekalipun orang yang berada di sana sudah dijatuhi hukuman atau masih dalam tahap mendapatkan dakwaan, kegiatan Rutan tetap dalam rangka memasyarakatkan mereka.
BACA JUGA: Surat Terbuka untuk Perempuan yang Selalu Dituntut ‘Manut’ dengan Pasangannya
Beberapa waktu lalu ketika seorang teman berkunjung ke rumah klien kerjanya, kawan saya ini secara tidak sengaja bertemu dengan penjaga perpustakaan Rutan yang tidak lain seorang WBP (warga binaan pemasyarakatan) saat kami praktik di sana. Saat itu, terhitung sudah beberapa bulan dia dinyatakan bebas sebagai tahanan. Namun nyatanya kebebasan yang sebenarnya belum bisa ia hirup. Masih banyak mata yang memandangnya secara negatif, sehingga dia merasa tidak berdaya.
Menurutnya, menyandang status sebagai mantan narapidana memiliki beban ganda. Di satu sisi dia harus tetap bertahan hidup, namun di sisi lain dia juga jengah dengan pandangan lingkungan sekitar kepadanya.
Ini baru cerita dari satu orang. Kita tidak tau bagaimana nasib mantan narapidana lain yang bisa jadi lebih memprihatinkan. Bagaimana bisa kita yang sesama manusia merendahkan manusia lain karena sebuah dakwaan yang “belum tentu benar” adanya.
Sekalipun mereka terbukti dan mengakui kesalahannya, bukan berarti kita (yang tidak terbukti melanggar hukum negara) menyandang gelar suci dan tak memiliki kesalahan sekecilpun. Bisa saja kita hanya mendapat keberuntungan karena manusia lain tidak melihat sisi buruk kita.
BACA JUGA: Hindari Acara Kondangan Jika Hal ini Masih Terjadi di Lingkunganmu
Memang, beberapa narapidana merugikan seseorang secara pribadi dan tidak sedikit pula yang merugikan negara. Saya juga tidak menutup mata dengan sidak Lapas koruptor yang ternyata justru terbilang mewah untuk ukuran tahanan. Marah bukan main dengan wakil rakyat atau orang kaya yang masih doyan mengeruk uang negara.
Tetapi, di antara mereka juga terdapat orang-orang yang menyesali perbuatannya dengan sungguh-sungguh dan ingin hidup kembali. Menghirup udara kebebasan yang sebeneranya, dan mendapatkan hak hidup yang layak. Terlebih mereka yang usianya masih sangat muda dan jalan hidupnya masih panjang. Belum lagi jika keadaan ekonominya kurang berkecukupan.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana mereka bertahan hidup di tengah sorot negatif yang tak kunjung menepi. Jika keadaan demikian, bukan tidak mungkin mereka akan kembali melakukan tindakan melanggar hukum hanya untuk bertahan hidup. Banyak pelaku kriminal yang nekat mencuri, misalnya, karena terdesak ekonomi. Bisa jadi, hal ini akan terus berulang dan akhirnya mereka menjadi residivis.
Rutan ataupun lembaga pemasyarakatan memang sudah memberikan beberapa pelatihan yang dinilai mampu menjadi bekal bagi warga binaannya kembali ke masyarakat. Biasanya pihak pemasyarakatan akan bekerjasama dengan pemerintah setempat seperti Balai Latihan Kerja dalam rangka mengasah skill.
BACA JUGA: Kiat Menjadi Humanis Berdasarkan Drakor Hospital Playlist
Beberapa yang saya dapati yaitu menjahit, tata boga, otomotif, batik hingga membuat kerajinan tangan dari limbah. Akan tetapi skill tersebut tidak akan cukup untuk membuat mereka kembali seperti semula jika masyarakat pun masih memandangnya dengan sebelah mata.
Tuhan tidak menciptakan manusia untuk mengolok-olok manusia lain. Dengan limpahan kasih-Nya, kita diharap bisa menjadi hamba yang penuh kasih sayang pula. Mulai memahami dan memaafkan kesalahan orang lain, pun memberikannya kesempatan kali kedua. Siapa tahu, perilaku yang demikian bisa menyelamatkan mereka dari lingkaran setan kejahatan.