KOTOMONO.CO – Kira-kira bagaimana sih Anda memandang peringatan Hari Kontrasepsi Sedunia? Eit! Nei nei nei! Bukan itu. Plis deh, jangan berpikiran yang nggak-nggak soal Hari Kontrasepsi Sedunia.
Hari Kontrasepsi Sedunia not just about sex. Dan tidak ada hubungannya juga dengan praktik atau perilaku free sex. So, be positive please! Don’t judge everything by your bad opinion.
Hari Kontrasepsi Dunia yang selalu diperingati tiap tanggal 26 September itu lahir dari kegelisahan sejumlah aktivis dunia tentang ledakan demografi alias lonjakan jumlah penduduk yang tak terkendali. Mereka akhirnya berkumpul pada tahun 2007 dan menyampaikan kekhawatiran mereka, jika ledakan jumlah penduduk itu akan berakibat fatal bagi semua sektor kehidupan. Makanya, program keluarga berencana sangat dianjurkan.
Why? Karena program itu dinilai jauh lebih manusiawi dibandingkan dengan yang lain. Apalagi di masa sekarang, setiap pasang mata sudah sangat paham mengenai Hak Asasi Manusia. Jadi, mana mungkinlah untuk mengendalikan jumlah penduduk dunia ini dilakukan program pemusnahan massal? Bisa kena pasal dan dikecam sana-sini.
BACA JUGA: Apakah Menjadi Perempuan itu Sulit?
That’s the point. Now, let’s move on. Setelah sekian tahun lamanya, terhitung sejak tahun 2007, rupanya masalah pengendalian ledakan demografi makin menemui permasalahan yang kompleks. Penggunaan alat kontrasepsi sebagai salah satu metode dalam ber-KB telah menyebabkan misspersepsi.
Penggunaan alat kontrasepsi bagi pasangan yang sudah menikah tentu saja untuk memberikan jarak kehamilan dan meminimalisir Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Acap kali istilah KTD diasumsikan sebagai kehamilan yang terjadi pada pasangan yang pranikah. Hm… het is echt geweldig!
Persepsi ini perlu diluruskan. Je moet weten, angka KTD dari pasangan yang menikah itu terbilang masih tinggi. Terlebih selama masa pandemi Covid-19 saat ini. Di beberapa wilayah di Indonesia masa pandemi Covid-19 membuat angka kehamilan pasangan yang menikah meninggi. Selain itu, semakin banyak pula pasangan yang menikah tidak lagi menggunakan alat kontrasepsi. Makanya, banyak terjadi ‘kebobolan’ di sana-sini.
Waarom gebeurde het? Yang jelas, karena minimnya edukasi mengenai penggunaan alat kontrasepsi pada masing-masing pasangan.
BACA JUGA: Aa Gym, Tolong, Bedakan Antara Perempuan dan Kendaraan Bermotor!
Lalu, siapa yang berhak menggunakan alat kontrasepsi? Ya laki-laki, ya perempuan. Semuanya berhak menggunakannya. Khususnya, bagi pasangan suami-istri yang ingin menunda atau mengatur kehamilan.
Ada dua metode yang bisa dipilih. Apakah hormonal ataupun non hormonal. Kontrasepsi hormonal sendiri beberapa contohnya adalah Pil KB, Morning After Pill, Suntik KB dan implan. Sedangkan yang non hormonal adalah IUD dan Kondom.
Yang perlu diketahui lagi, saudara-saudara, penggunaan alat kontrasepsi bagi pasangan suami-istri selain untuk mencegah ‘kebobolan’ juga sangat berguna bagi kesehatan psikologis pasangan. KTD sangat mungkin membuat tubuh yang menjalani kehamilan akan merasa rentan. Baik fisik, mental, sosial, maupun secara ekonomi diperlukan untuk menyiapkan segala keperluan. Jika tidak siap, secara psikologis akan berpengaruh bagi si Ibu dan bayi yang ada dalam kandungan.
Memang, dari sekian banyak alat kontrasepsi cenderung diorientasikan bagi kaum hawa. Tapi, sebenarnya laki-laki pun ada. Malah, kaum adam inilah yang seharusnya lebih banyak dibekali pengetahuan dan informasi tentang kontrasepsi untuk laki-laki. Lebih tepatnya, tentang pentingnya kesadaran laki-laki turut serta mengendalikan kehamilan pasangannya.
BACA JUGA: Perempuan Itu Tidak Seharusnya Menjadi Pelayan atau Diperlakukan Seperti Pelayan
Suami, sebagai pasangan, seharusnya punya inisiasi untuk memakai alat kontrasepsi dalam melakukan hubungan dengan istri. Bayangkan saja, sebagai seorang wanita sungguh bebannya sangat berat. Sudah hamil dan lelah melahirkan, masih harus dibebani memakai dan mengkonsumsi atau menaruh alat kontrasepsi sedemikan rupa dalam tubuhnya hanya untuk meminimalisir risiko ‘kebobolan’ itu tadi.
Belum lagi, hampir semua alat kontrasepsi hormonal untuk wanita berefek samping yang cukup parah. Entah pada perubahan bentuk tubuh, psikologis yang mudah berubah-ubah, maupun masalah kesehatan lainnya. Sedangkan non hormonal seperti IUD harus dipasangkan pada organ vital wanita untuk mencegah pembuahan di dalam sel telur. Mendengarnya saja melelahkan apalagi sebagai wanita yang menjalaninya. Untung saja wanita kuat.
So, plis deh para suami, pemasangan kontrasepsi bukan kewajiban wanita. Para suami juga mesti sadar diri bahwa menggunakan alat kontrasepsi juga merupakan kebutuhan pria. Bisa menggunakan kondom atau vasektomi. Selain itu, para suami juga harus bisa mengendalikan kontrasepsinya sendiri. Paling tidak mengetahui dan menghitung siklus subur pasangannya.
Di Indonesia, tingkat kesadaran kontrasepsi kaum pria tergolong masih rendah. Kampanye kontrasepsi untuk pria juga masih jarang ditemui. Oleh sebab itu, Pria juga harus rajin mencari informasi tentang dampak apa saja yang terjadi pada pasangannya apabila memakai kontrasepsi hormonal dan non hormonal. Kenapa? Supaya mereka juga tahu langkah apa yang harus dilakukan selanjutnya.
BACA JUGA: Surat Terbuka untuk Perempuan yang Selalu Dituntut ‘Manut’ dengan Pasangannya
Sayangnya masih banyak suami di Indonesia yang tidak mengizinkan istrinya memakai alat kontrasepsi, meski dia sendiri tidak mau pakai. Begitu istri hamil, suaminya malah keder, panik karena ternyata tidak siap kalau istrinya hamil lagi.
Untuk itulah kepada para suami, plis sekali lagi, cari informasi tentang kontrasepsi sebanyak-banyaknya. Sadarlah! Bahwa penggunaan kontrasepsi untuk kalian itu perlu dan penting! Tolonglah, jangan semua ditimpakan kepada istri kalian. Beban kami sebagai istri sudah banyak dan berat. Dimulai dari masa kehamilan sembilan bulan lamanya, lelah fisik dan mental, juga sakitnya melahirkan, plus harus mengurus anak pagi, siang dan malam. Masa harus ditambah dengan menggunakan alat kontrasepsi? Tolong bersikaplah adil.
Berikan komentarmu