KOTOMONO.CO – Selamat pagi, siang, sore, dan malam untuk para pembaca.
Saya ucapkan empat waktu sekaligus karena bisa jadi kamu membacanya di pagi, siang atau waktu-waktu lainnya. Sebelumnya, saya akan memperkenalkan terlebih dahulu. Nama saya Azizah, seorang mahasiswa biasa yang belum lama ini menyelesaikan sidang skripsi.
Saat ini saya bermukim di sebuah kabupaten yang tagline-nya Kota Ikhlas, yang boleh jadi bikin warganya juga harus ikhlas. Entah ikhlas karena UMR-nya yang kecil sehingga tak cukup untuk menyambung kehidupan rumah tangga atau ikhlas karena jalan panturanya yang banyak black hole. Udah banyak black hole-nya, minim cahaya saat malam lagi, hadeuh!
Ngomong-ngomong soal ikhlas, saya jadi ingat dengan pernyataannya Mbak Kalis Mardiasih, seorang feminis yang kerap menyuarakan persoalan perempuan di media sosial. Beliau mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang dituntut paling ikhlas di dalam tatanan sosial masyarakat.
Contoh, ketika ada seorang perempuan yang sudah menikah dengan laki-laki, lalu dituntut suaminya agar mengurus pekerjaan rumah tangga saja. Padahal sebenarnya, perempuan tersebut ingin bekerja di ruang publik agar ia memiliki penghasilan sendiri sehingga finansialnya tidak bergantung dengan suaminya.
Namun, apalah daya. Ketika perempuan tersebut memprotes tuntutan suaminya, ia dicap sebagai istri durhaka. Jadi, mau tidak mau perempuan tersebut harus ikhlas dengan tuntutan suaminya.
BACA JUGA: Perempuan itu Nggak Lemah, ini Buktinya!
Contoh lain adalah ketika seorang perempuan juga dituntut untuk tidak menolak ajakan berhubungan seks dengan suaminya. Jika menolak, riwayat hadis akan disebutkan kalau perempuan itu telah berbuat berdosa.
Maka mau tidak mau perempuan tersebut harus ikhlas untuk berhubungan seks walaupun tubuhnya merasa lelah karena seharian telah bekerja dan mengurus urusan domestik.
Selain dua contoh di atas, saya juga masih punya contoh lain. Saya pernah pergi ke rumah seorang teman bersama Laura (bukan nama sebenarnya). Saat di sana, Laura sedang menerima telepon pacarnya. Dengan tidak sengaja, pacar Laura mendengar suara saya yang berat sehingga Laura dikira sedang bersama seorang laki-laki.
Lalu, saya tanya dengan Laura. “Ada apa, Ra? Sepertinya ada hal serius.” Lantas, ia menjawab, “Iya, dikira saya sedang bersama laki-laki, padahal itu kan suaramu, Zah.” Sebelum itu, Laura memang pernah bercerita dengan saya bahwa ia dilarang pacarnya untuk pergi bermain bersama teman laki-lakinya.
Sebenarnya masih banyak contoh lain yang membuat ruang gerak perempuan semakin sempit ketika sedang merajut tali kasih bersama pasangannya. Dan hal itu masih dianggap wajar bahkan sering dinormalisasikan. Maka tak jarang banyak perempuan yang menganggap bahwa hal itu adalah sebagai tanda cinta.
Diana Mayorita, seorang psikolog sekaligus penulis mengatakan bahwa menjadi perempuan pasif dan penurut seperti yang dicontohkan di atas adalah perempuan ideal yang diidam-idamkan oleh banyak laki-laki bahkan sudah menjadi prinsip hidup masyarakat.
Sehingga ketika ada perempuan yang menentang keinginan laki-laki, maka si laki-laki akan menggunakan kekerasan. Pernyataan tersebut tertuang dalam bukunya yang berjudul Toxic Relationshit.
Dominannya laki-laki dalam menjalin hubungan terutama dalam pernikahan juga semakin menguat dengan adanya ajaran agama yang memaparkan bahwa laki-laki adalah kepala keluarga.
BACA JUGA: Perempuan Maskulin dan Laki-laki Feminin Itu Tidak Salah
Jadi, sebelum melakukan suatu hal, seluruh anggota keluarga harus meminta ijin terlebih dahulu kepada laki-laki tersebut. Jika tidak, perang keluarga bisa saja akan terjadi.
Sebenarnya tidak masalah jika laki-laki menjadi pemimpin dalam menjalin hubungan terutama dalam berkeluarga. Namun, Lies Marcoes, seorang penulis sekaligus aktivis perempuan mengatakan bahwa makna dalam kepala keluarga sering dipelesetkan menjadi penguasa keluarga.
Seorang kepala keluarga, jarang atau bahkan tidak pernah mengajak musyawarah untuk mufakat bagi anggota keluarganya mengenai hal-hal yang akan dilakukan. Banyak kepala keluarga yang hanya bisa menyuruh untuk manut terhadap dirinya.
Ulama besar Indonesia, Quraish Shihab menuliskan dalam bukunya yang berjudul Islam yang Disalahpahami bahwa perempuan bisa jadi pemimpin dalam rumah tangga. Asalkan perempuan tersebut lebih mampu dalam segi ilmu, akal, agama, dan kedudukan di tengah masyarakat.
Walaupun laki-laki tersebut membelanjai keperluan rumah tangganya. Jadi, dalam berumah tangga siapa pun bisa jadi pemimpin.
Yang perlu dicatat di sini adalah ketika menjadi pemimpin di dalam keluarga atau di mana pun itu, seharusnya sering dilakukan musyawarah untuk mufakat. Hal ini dilakukan agar tidak ada yang merasa berat sebelah. Dalam menjalin hubungan, kemerdekaan masing-masing individu harus ditegakkan.
Jadi, menurut saya jika kamu sebagai perempuan sedang menjalin hubungan dengan laki-laki yang seperti dicontohkan di atas, maka segeralah untuk didiskusikan dengan baik. Apa yang kamu mau, apa yang dia mau harus segera disepakati bersama.
BACA JUGA: Universalisme Islam dan Upaya Memanusiakan Manusia
Dan dalam kesepakatan itu tidak ada yang merasa berat sebelah baik dari pihak perempuan maupun pihak laki-laki. Jika tidak menemukan kesepakatan terlebih dia sering menggunakan kekerasan, lebih baik mengakhiri hubungan saja, meski sudah terikat pernikahan. Ya… daripada harus berkomitmen seumur hidup dengan makhluk seperti itu.
Dalam Islam, Tuhan memang membenci adanya perceraian walaupun itu halal. Namun, jika ada hubungan yang tidak sehat atau sekarang biasa disebut dengan toxic relationship, perceraian tersebut justru sangat dianjurkan bahkan diwajibkan untuk diakhiri.
Hal ini pernah diungkapkan Habib Husein Ja’far, dalam dakwahnya di kanal youtube-nya, Jeda Nulis. Lagi pula, mana mungkin Tuhan membiarkan umatnya dalam kungkungan kekerasan?
Bagaimana untuk para perempuan single yang belum menemukan pasangannya? Saran saya sih, lebih baik kamu memilih laki-laki baru, yaitu laki-laki yang memahami kesetaraan gender.
Laki-laki yang tidak melarangmu bekerja untuk tujuan hidupmu, laki-laki yang tidak keberatan menolak ketika Anda menolak seks, dan laki-laki yang tidak melarangmu bermain dengan teman lawan jenismu.
Namun, jika gebetanmu belum memahami kesetaraan gender, ajaklah dia berdiskusi. Barangkali ia mau membuka pikirannya dan mau menjalin hubungan denganmu, eaaakkkssss.
Intinya, saat menjalin hubungan kamu tidak merasa terkekang, tidak merasa sempit saat bergerak, dan tidak merasa tertindas. Laki-laki yang baik adalah laki-laki yang selalu mendukungmu dan tidak melarangmu untuk mengejar impianmu.
Laki-laki yang baik adalah laki-laki yang ingin berkembang bersama, bukan hanya ingin didampingi perkembangannya. Laki-laki yang baik adalah yang memandangmu sebagai manusia seutuhnya, bukan sebagai pelayan hidupnya.
Berikan komentarmu