KOTOMONO.CO – Piala AFF 2021 sudah berakhir, tapi sesekali obrolan tentang babak final itu kadang masih terdengar. Obrolan itu kadang cenderung bernada perdebatan. Malah ada pula yang sampai saling menyalahkan sesama teman sendiri.
Wajar saja sih. Mungkin itu cara mereka mengekspresikan rasa cinta mereka kepada Timnas Indonesia. Atau kalau mau dikerucutkan lagi, rasa cinta pada tanah air.
Tapi, saya sedang tak mau ikut memperdebatkan hasil akhir Piala AFF 2021 itu. Justru, melalui perdebatan itu saya malah teringat pada ungkapan Sayidina Umar bin Khattab, seorang sahabat mulia Rasulullah saw. Beliau pernah mengemukakan bahwa dalam menuntut ilmu, seseorang akan mengalami tiga fase.
Ah, sepertinya penjelasan masalah ini sudah sangat tidak asing lagi. Apalagi sudah sangat banyak yang menyebarkannya di media online. Bahkan, sebagian dari kita pasti sudah pernah mendengarnya. Tapi apa salahnya mengulang lagi. Siapa tahu ada yang lupa.
BACA JUGA: Lakukan 4M dalam Belajar supaya Kamu Benar-benar Dapat Ilmunya
Begini kata beliau, “Menuntut ilmu ada tiga tahapan. Jika seorang memasuki tahapan pertama, ia akan sombong. Jika seseorang memasuki tahapan kedua, ia akan tawadu. Dan jika seseorang memasuki tahapan ketiga, ia akan merasa dirinya tidak tahu apa-apa.”
Tahap Pertama, Kesombongan
Sikap sombong dalam fase pertama saat mencari ilmu biasanya ditunjukkan dengan sikap yang merasa sangat memahami ilmu. Padahal, baru saja tahu atau baru saja mendengarnya.
Kalau diibaratkan, tahapan ini seperti seorang anak kecil yang dibelikan baju baru atau sepatu baru, pasti ia selalu ingin menunjukkan baju atau sepatu barunya kepada teman-temannya. Wajar-wajar saja sih. Namanya juga baru mendapatkan sesuatu yang baru.
Selain memamerkan baju atau sepatu barunya, anak kecil biasanya juga akan membandingkan baju atau sepatunya yang baru itu dengan milik teman-temannya. Bahkan, sekalipun ada temannya yang sama-sama pakai baju atau sepatu baru, biasanya ia akan bersikap enggan menerima hal yang sama itu. Ia akan selalu mengatakan bahwa baju dan sepatu barunya itu lebih bagus atau paling bagus dari milik temannya.
Begitu juga dalam urusan mempelajari ilmu. Orang yang baru saja mendapatkan pengetahuan baru akan menganggap bahwa pengetahuan yang baru ia peroleh itu adalah kebenaran. Tak ayal, ia akan membandingkan pemahamannya itu dengan orang lain. Kalaupun ada pemahaman yang lain, ia cenderung enggan menerima pemahaman itu.
Dari situlah, tak jarang pula muncul perasaan pada orang itu, bahwa ia yang paling benar, paling baik. Ia pun mudah merendahkan orang lain hanya karena pemahamannya berbeda. Malah, menganggap pandangan orang lain sebagai pandangan yang kolot, dan ilmunya tidak lebih tinggi darinya. Kalau tidak keliru, Rasulullah saw pernah bersabda, “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.”
BACA JUGA: Kunci Pembuka Pintu Keilmuan Menurut K.H. Muhammad Saifudin Amirin
Dari sini jelas, bahwa bentuk kesombongan mula-mula ditunjukkan oleh sikap yang tak mau menerima kebenaran. Dalam hubungan antarmanusia, kebenaran boleh jadi baru dapat diperoleh manakala seseorang mampu menempatkan secara tepat setiap perbedaan pandangan. Sehingga, ia memperoleh pengetahuan yang lengkap dari berbagai perspektif.
Sikap menerima perbedaan pandangan ini, tentunya tidak akan membuat orang mudah merendahkan orang lain. Tidak pula mudah menghina, mencela, bahkan mengumpat orang lain.
Tahap Kedua, Tawadu atau Rendah Hati.
Seseorang yang memiliki semangat tinggi belajar akan tertuntun, bahwa selain pengetahuan yang ia dapatkan, ada pengetahuan-pengetahuan lain yang belum ia ketahui. Maka, ia pun akan terlatih untuk menjadi pribadi yang rendah hati. Sebab, ia tahu kalau pengetahuannya belum seberapa.
Makanya, sangat dianjurkan bagi orang yang sedang belajar untuk berguru pada sebanyak-banyak mungkin guru. Tujuannya, tentu bukan untuk unjuk gigi tentang kita berguru pada siapa saja. Akan tetapi, agar kita makin mampu menempatkan diri secara tepat. Berusaha memahami setiap perbedaan pendapat itu.
Analogi paling umum untuk menggambarkan tahap ini adalah pertumbuhan padi. Semakin berisi, semakin merunduk. Ilmu pengetahuannya pun ia gunakan untuk memahami hakikat dirinya sendiri. Ia juga menjadikan ilmu itu untuk lebih mendekatkan diri pada yang menciptakan-Nya.
Tahap Terakhir, Tidak Tahu Apa-apa
Semakin banyak yang kita ketahui, sebenarnya semakin kita tertuntun untuk mengerti. Bahwa sebenarnya dari banyaknya pengetahuan yang kita peroleh itu, kita makin menemukan diri kita sebagai orang yang sesungguhnya tak tahu apa-apa. Ya, karena di dalam ilmu pengetahuan yang kita dapatkan itu sesungguhnya terdapat misteri yang sama sekali tidak bisa kita pahami maupun kita terangkan.
BACA JUGA: Pendidikan dan Strategi Mendorong Perempuan Berkemajuan
Betapa, ilmu pengetahuan itu luas. Sedang yang kita ketahui lebih kecil dari sekadar butiran debu. Pengetahuan kita hanya sebuah jendela kecil, sementara ilmu adalah bentangan alam semesta yang tak terjangkau oleh langkah kaki kita. Mata kita pun tak mampu memandang apa yang ada di balik langit biru. Bintang yang kemerlap di kegelapan malam, hanya bisa kita tangkap begitu kecil. Akan tetapi, ketika kita mencoba mendekati bintang itu, rupanya ada banyak hal yang belum kita tahu.
Dengan bekal pengetahuan itu pula, seseorang yang sungguh-sungguh di dalam belajar, akan menemukan dirinya sendiri. Bahwa, apapun yang ia ketahui sesungguhnya tak akan pernah mampu menjawab apa-apa. Sebab, di balik yang tampak selalu saja ada yang tak bisa dijelaskan. Betapa, kita pada akhirnya menemukan, bahwa diri kita tak sempurna di hadapan Sang Pencipta.
Pengalaman ini pula yang akhirnya diungkap seorang filsuf Yunani Kuno ternama, Socrates. Ia mengatakan, “Semakin aku tahu, semakin aku banyak tidak tahu. Hingga akhirnya aku tahu bahwa hanya ada satu yang kuketahui, yaitu aku tidak tahu apa-apa.”
Itulah tahap-tahap menuntut ilmu dalam pandangan Sayidina Umar bin Khattab. Dari sini, saya kira kita tak perlu bertanya-tanya, sedang berada di tahap mana kita ini. Akan lebih indah rasanya, jika kita memfokuskan diri untuk terus memperbaiki diri. Agar, hari ini menjadi lebih baik daripada hari kemarin. Karena yang jelas, tanda semakin tinggi ilmu seseorang adalah semakin baik akhlaknya, semakin baik adabnya.
BACA JUGA: Berwirausaha dengan Konsep Keislaman
Ada ungkapan bahwa puncak dari ilmu adalah adab yang baik dan yang memberi manfaat. Orang yang beradab pastilah dia berilmu, tapi tidak semua orang berilmu mempunyai adab.
Ada juga ungkapan dari Emha Ainun Najib, atau yang lebih dikenal Cak Nun. Katanya: “Tidak apa-apa kalau ilmumu masih pas-pasan, itu malah bisa membuatmu menjadi rendah hati. Karena banyak orang yang sudah merasa tahu ilmu, malah menjadikannya tinggi hati.”
Mudah-mudahan apa yang kita pelajari dan kita ketahui tidak menjadikan diri kita sombong serta mudah menyalahkan orang hanya karena pemahamannya tidak sama dengan yang kita pahami. Sebaliknya, mudah-mudahan ilmu yang kita miliki bisa memberi manfaat bagi bumi dan manusia serta segala kehidupan di dalamnya.
komentarnya gan