KOTOMONO.CO – Kalau ada warga yang bilang bosan dengar berita kopat-kopet atau voksan-vaksin, sepertinya itu lumrah. Tapi, bagaimana jika rasa bosan itu justru datang dari seorang pemburu berita? Wah, ini baru cerita!
Begini ceritanya, dalam beberapa kali kesempatan, saya sempat menjumpai kawan-kawan awak media. Ada yang ketemunya di warung. Ada pula yang di jalan. Bahkan, ada yang di kantor Radio Kota Batik. Semuanya terjadi begitu saja. Tanpa diskenario, tanpa direncana.
Tentu, karena pertemuannya tak terencana, obrolannya pun spontan saja. Nggak ada daftar pertanyaan dan jawaban yang dipersiapkan sebagai panduan obrolan. Kami ngobrol ngalir aja. Ngalor-ngidul tanpa arah yang jelas.
Meski begitu, ada banyak poin yang saya dapat dari obrolan-obrolan itu. Salah satunya menyoalkan isu-isu yang mereka jadikan sasaran tembak pemberitaan. Memang, ada beragam peristiwa yang mereka bidik dan mereka jadikan sebagai berita. Tetapi, yang paling sering adalah kegiatan-kegiatan seremonial atau kejadian tragis (entah itu kecelakaan, kriminal, atau bencana alam).
BACA JUGA: Satu Negeri Banyak Ratu
Sementara peristiwa-peristiwa aneh/langka dan unik, agaknya sulit didapat. Sehingga tak begitu sering berita-berita tentang kejadian aneh/langka dan unik itu muncul di media-media mereka. Hanya sesekali. Itu pun jika dinyatakan layak muat atau tayang oleh redaktur mereka.
Di sela-sela obrolan yang beberapa kali terjadi itu, rupanya ada obrolan yang tak kalah menarik menurut ukuran saya. Beberapa kawan saya yang awak media itu sempat mengeluhkan hal yang sama. Yaitu, bosan meliput berita yang itu-itu saja.
Kalau dihitung, kira-kira ada empat orang yang mengaku seperti itu. Keempatnya, bekerja pada perusahaan media yang berbeda. Yang pertama, mengaku jenuh dengan berita-berita yang terus diulang. Terutama soal kopat-kopet.
Dia mengaku, capek kalau harus ngikutin update-an berita itu. Apalagi narasumbernya ya itu-itu lagi yang kasih keterangan. Dan gara-gara berita yang itu lagi-itu lagi, dia sampai merasa kalau kemampuannya menulis jadi menumpul.
BACA JUGA: Ketika Mas Dudung Bertutur tentang Proses Kreatifnya
Saya penasaran, lantas saya tanya kenapa bisa begitu? Dia jawab, setiap keterangan yang didapat dari narasumber yang itu-itu juga kurang kaya topik pembahasannya. Narasumbernya juga kurang piawai menggunakan bahasa. Walhasil, kalimatnya ya tak jauh beda dengan kalimat-kalimat sebelumnya. Bahkan, saking kesalnya dengan pengulangan-pengulangan itu, kawan saya yang satu ini sempat ngomentari kalau keterangan yang disampaikan narasumber mirip mesin fotokopi. Dhuh!
Seturut dengan kawan saya yang pertama, kawan saya yang kedua juga mengalami kebosanan serupa. Bedanya, ia ngaku sudah capek mondar-mandir ke sana kemari, yang didapat ya itu-itu juga. Ketemunya ya yang itu lagi-itu lagi.
Sesekalinya ada yang bisa bikin heboh, eh keterangan yang diberikan narsum datar-datar saja, katanya. Jadi berasa hambar dan ambyar! Malah, menurut tuturan kawan saya yang kedua, suatu ketika ada peristiwa yang sebenarnya sangat menarik untuk diberitakan. Ia dan kawan-kawan awak media lainnya sudah bersusah payah meliput peristiwa itu.
Eh, begitu peristiwa itu selesai, malah pihak yang mau dijadikan sorotan berita meminta agar peristiwa penting itu nggak diberitakan. Kesal dia. Sampai-sampai ngedumel sendiri.
BACA JUGA: Membayangkan Resolusi Tahun Baru di Dunia Metaverse
Kawan saya yang ketiga, malah mengaku nyaris stress gegara berita yang gitu-gitu aja. Lalu, untuk menghalau rasa stressnya itu sesekali ia mencoba ngulik berita-berita yang lain. Ia kunjungi beberapa kantor penting. Berharap menemukan berita yang sama sekali berbeda.
Tapi etapi, begitu ia sempat menemui orang-orang penting di kantor-kantor itu dan mewawancarainya, eh keterangan yang disampaikan mengesankan kalau si narasumber ini belum bisa move on dari masalah pandemi. Keterangan narasum, sekalipun awalnya tak langsung menyinggung kopat-kopet, eh ujung-ujungnya ya ke situ juga.
Yang keempat, kawan senior saya mengaku kejenuhannya sebagai pemburu berita selama masa pandemi yang sudah berlangsung setahun lebih itu membuatnya terpaksa melakukan pelarian. Ia nggak lagi liputan berita-berita yang itu-itu lagi.
Ia cukup minta kiriman rilis saja dari pihak-pihak yang terkait. Selebihnya, ia tinggal ngopi dan jalan-jalan. Tentu, jalan-jalannya selain membunuh rasa jenuh, juga untuk nyari berita lain. Katanya, kalau pas bosen liputan ya tidur.
BACA JUGA: Pendidikan dan Strategi Mendorong Perempuan Berkemajuan
Pengakuan beberapa kawan saya yang awak media itu membuat saya mikir. Para pemburu berita saja sampai bosen, jadi wajar kalau masyarakatnya jeleh dengan berita yang ita-itu juga. Masyarakat butuh penyegaran informasi. Tapi, mau gimana lagi, toh masyarakat nggak bisa berbuat banyak.
Oh iya, sebenarnya dalam beberapa kali pertemuan saya dengan sejumlah pejabat di daerah pun juga kerap muncul pengakuan yang serupa. Mereka juga bosen dengan yang begitu-begitu lagi. Apalagi ketika mereka ngobrolin soal refocussing anggaran. Wah, bisa jadi lebih lama obrolannya.
Masa pandemi benar-benar menjadi masa kejenuhan yang panjang. Kira-kira, apakah di tahun 2022 masih akan diperpanjang lagi? Kalau iya, maka siap-siaplah kita memperpanjang usia kebosanan kita. Semoga kita sanggup menikmatinya.