Kotomono.co – Nampaknya sekarang ini pendidikan yang berbasis agama masih menjadi topik hangat di kalangan masyarakat. Antusiasme orang tua dalam menyekolahkan anaknya lebih memilih pendidikan yang berbau agama, baik itu formal maupun non formal.
Memang tingkat perilaku anak sekarang cenderung lebih frontal serta bar-bar. Mereka bukannya malu dengan perbuatan di luar batasnya itu, akan tetapi justru bangga dengan hal tersebut. Sehingga menjadikan para orang tua khawatir dengan krisis moral yang sekarang ini merajalela. Maka dari itu pondok pesantren hadir di tengah-tengah masyarakat guna menjawab persoalan tersebut.
Peran Pondok Pesantren
Memang tempat ini merupakan salah satu tempat menggembleng anak supaya lebih baik lagi. Apalagi dengan revolusi pondok pensantren yang menggunakan sistem pendidikan modern sekarang membuat para orang tua tidak merasa khawatir lagi.
Dari tempat inilah diharapkan akan memunculkan generasi-generasi emas yang lebih menonjolkan budi pekerti yang luhur. Santri akan di manjakan dengan segudang ilmu, terutama ilmu agama. Dengan arahan para kyai serta masyayikh seharusnya mereka menjadi tokoh yang mampu membawa perubahan serta suri tauladan bagi orang yang ada disekitarnya.
Akan tetapi, tampaknya tidak semulus apa yang dibayangkan. Santri yang kita bayangkan ialah orang-orang yang suci serta terpilih malahan tidak seperti apa yang kita bayangkan.
Santri Bermuka Dua
Tak jarang mereka malah menjadi orang-orang yang mempunyai dua muka tanpa kita sadari. Memang tidak semuanya seperti itu, akan tetapi dalam prakteknya kebanyakan dari mereka melakukan hal-hal yang tidak mencerminkan sikap seorang santri sama sekali.
Apalagi yang berperan aktif dalam masyarakat. Tak sedikit jebolan dari pondok pesantren menjadi seorang mubaligh di kampung-kampung yang keblinger. Kebanyakan dari mereka lupa akan ajaran dari para gurunya bahwa ilmu yang mereka dapat mestilah dibagikan dengan orang-orang di sekitarnya supaya menjadi bermanfaat serta tidak seharusnya meminta imbalan.
BACA JUGA: Sudah Saatnya Pelaku Korupsi Sumber Daya Alam Kita Sikat Juga, Tuman!
Akan tetapi saya melihat banyak para mubaligh yang menjadikan pengajian sebagai lahan cuan mereka. Mereka tidak segan meminta imbalan atas ilmu yang disampaikannya. Bahkan lebih parahnya lagi para oknum mubaligh ini tidak segan-segan enggan memberikan tausiyah apabila honor yang diberikan kecil. Mereka lebih memilih tidak mengajar daripada harus dibayar murah.
Penampilan Suci, tapi Bermuka Iblis
Pemandangan ini menjadi miris, tatkala orang berpenampilan suci ternyata memiliki muka iblis di dalamnya itu. Seakan-akan mereka tidak mempunyai rasa ikhlas guna mendidik serta mengarahkan masyrakat ke jalan yang benar. Ada pula banyak oknum mubaligh yang menjadikan statusnya tersebut demi hal-hal yang menguntungkan diri sendiri.
Mereka tak khayal mendoktrin para jamaahnya itu dengan mengembel-embeli agama di belakangnya seperti yang terjadi saat ini, di mana mubaligh hendak menjual produk air mineral miliknya dengan mengklaim bahwa produknya terjamin halal serta memiliki nilai plus daripada produk yang lain.
Dia berkata bahwa air mineralnya itu dibacakan ayat suci Al-Qur’an pada proses pembuatannya. Memang itu merupakan salah satu ilmu branding dalam hal berdagang, akan tetapiia mengembel-embeli agama di belakangnya. Dia juga tidak segan menggunakan dalil untuk menambah yakin para jamaah.
BACA JUGA: Apa yang Bisa Diharapkan dari Pesantren dengan Pengajar Cabul?
Lebih buruknya lagi, ia juga merendahkan kompetitor dengan menyebut bahwa produk yang dijual kompetitor ialah produk buatan Yahudi, sehingga orang islam tidak berhak untuk meminumnya. Tentu hal tersebut sangat melenceng dari nilai-nilai islam yang sebenarnya. Dengan berpenampilan baju koko, sarung, serta peci yang menjadi ciri khasnya itu.
Tidak sedikit santri tidak malu dengan icon tersebut. Seringkali mereka banyak bertausiyah serta mengajarkan hal-hal baik kepada masyarakat akan tetapi dirinya sendiri jauh dari apa yang diajarkannya. Banyak juga para santri yang memiliki kelakuan layaknya orang yang tak tahu agama. Para santri yang kini menjadi kyai tak luput juga dengan hal itu.
Kebanyakan Omong, Nihil dalam Perbuatan
Pasti penyakit mereka ialah hal tersebut. Kebanyakan ngomong akan tetapi nihil dalam perbuatan. Apalagi yang selalu berhubungan dengan uang seperti halnya perkara hutang. Banyak dari mereka yang terjerat hutang, akan tetapi memilih tidak membayarnya dikarenakan dengan status spesialnya tersebut.
Tak khayal apabila sekarang ini kita tidak bisa mengenal orang dari tampangnya saja. Orang yang tampaknya memiliki icon sarung, baju koko, serta berpeci belum tentu memiliki hati yang suci. Banyak juga orang yang memiliki tampang seperti preman dengan hati mulia.
BACA JUGA: 3 Alasan Ini Harusnya Buat Terpidana Mati Itu Bersyukur!
Akan tetapi, tampaknya hal itu akan susah apabila masyarakat kita memiliki pandangan bahwa setiap orang jebolan dari pondok pesantren akan dianggap sebagai orang yang mulia. Apalagi dengan bergelar “Kyai” maupun “Gus”.
Pasti akan mendapatkan penghormatan serta perlakuan lebih dari masyarakat. Menurut saya itu hal yang keliru, dimana kekurangan kita ialah tidak bisa membaca hati setiap orang. Siapa tau orang yang kita anggap suci ternyata memiliki sisi gelap di dalamnya. Tidak semestinya kita menjudge orang dari tampangnya saja.
Komentarnya gan