Kotomono.co – Mungkin anak skena jarang yang tahu, kalau becak pernah jaya di Kota Pekalongan. Mungkin juga jarang yang pada ngerti kalau masa kejayaan becak di Kota Pekalongan itu terjadi justru pada saat Indonesia sedang dijangkiti krisis ekonomi. Kurs dolar mendadak melonjak tinggi, harga bensin yang semula Rp 700 per liter menjadi Rp 1.200 per liter, harga sembako jelas ikutan mendaki dong.
Parahnya lagi, di saat semua harga naik, para buruh kena PHK. Pabriknya bangkrut. Bahkan, nggak cuman pabrik, beberapa bank juga bangkrut. Pokoknya, situasinya serba bikin nggak enak makan, nggak nyenyak tidur, susah juga buat mikir. Bener-bener bikin hidup segan, mati pun enggan. Hanya iman yang jadi modal untuk bertahan hidup.
Dalam keadaan seperti itu, sebagian masyarakat rupanya nggak mau kehilangan akal. Banyak buruh pabrik yang akhirnya banting setir mencoba peruntungan lain sebagai pengayuh becak. Itu semua dilakukan demi sesuap nasi, demi bertahan hidup dan demi membuat anak-istri tenang di rumah.
Becak, seketika menemukan masa kebangkitannya dari tidur panjang. Kendaraan bertenaga manusia berbahan bakar keringat dan dengusan napas ini, saat itu ikut mendenyutkan roda ekonomi masyarakat Pekalongan. Kendaraan tradisional ini mendadak ramai berlalu lalang di jalanan kota. Seolah-olah mengaliri jalan-jalan itu kesegaran baru, memberi kegairahan tersendiri bagi pertumbuhan ekonomi yang saat itu lesu. Becak, kala itu, seakan menjadi jawaban bagi tantangan zaman.
Bagaimana tidak, keberadaan becak yang ramai di jalanan tak sekadar memberi angin segar bagi para korban PHK, melainkan pula memompa semangat para pengusaha bengkel becak. Toko-toko material penyedia bahan baku dan suku cadang becak pun ikut diuntungkan. Begitu juga bengkel karoseri becak.
Ada dua kawasan yang kala itu bergairah menyambut kebangkitan becak. Yaitu, Landungsari dan Kuripan Lor. Dua kelurahan yang berada di wilayah dua kecamatan yang berbeda. Yakni, Pekalongan Timur dan Pekalongan Selatan. Meski demikian, dua kelurahan itu bertetangga. Sebab, Landungsari menempati posisi di perbatasan selatan kawasan Kecamatan Pekalongan Timur. Sedang, kelurahan tetangga, yaitu Kuripan Lor, berada di ujung utara kawasan Kecamatan Pekalongan Selatan.
Kedua kelurahan ini di era 70-90an dikenal sebagai sentra perbengkelan. Mulai dari bengkel las, sepeda, maupun bengkel mobil. Bengkel becak, sudah tentu termasuk di dalamnya. Di Landungsari, terdapat dua bengkel becak yang cukup memegang peran penting dalam produksi dan reparasi becak. Sementara di Kuripan Lor, terdapat dua bengkel becak pula. Yang pertama, boleh dibilang sebagai induk produksi becak. Sementara lainnya, khusus menangani karoseri becak, seperti pengecatan selebor, aksesoris becak, dan lain-lain.
Meski demikian, keempat bengkel itu tidak berdiri sebagai saingan. Keempatnya saling berjejaring dan saling bekerja sama, walau tak ada teken kontrak di antara keempat pemilik usaha bengkel becak itu. Malah, tidak jarang mereka juga bekerja sama dengan bengkel mobil segala.
Artinya, kegairahan becak kala itu telah membentuk ekosistem ekonomi yang tidak semata-mata sebagai mata pencaharian. Akan tetapi, juga membangun sebuah sistem kepercayaan satu sama lain di dalam mengembangkan usaha secara bersama-sama.
Sistem jejaring ini seperti sebuah sistem produksi kendaraan bermesin dengan empat roda. Sebuah mobil tidak diproduksi hanya oleh satu merk perusahaan. Akan tetapi, melibatkan banyak perusahaan yang tentunya juga memiliki merk mereka masing-masing. Mulai penyedia mesin, rangka, roda, badan mobil, roda, dan aksesoris lainnya. Uniknya, merk yang digunakan hanya satu. Tetapi, yang lain tidak memasalahkan. Toh, mereka juga mendapatkan bagian keuntungan masing-masing atas hasil kerja sama itu.
Begitu pula dengan becak di Kota Pekalongan. Sekalipun melibatkan banyak bengkel, rupanya hanya ada dua merk becak yang populer kala itu, yaitu Flamboyan dan Dedi Jaya. Padahal, merk ini hanya menyediakan karoseri dan aksesoris becak. Tetapi, hal itu tidak membuat keberatan bengkel-bengkel lain. Malahan, merk itu menjadi semacam trade mark tersendiri bagi becak di Kota Pekalongan.
Entah sadar atau tidak, cara demikian, sesungguhnya adalah bentuk dari cara pandang yang maju dari para pengusaha becak. Terutama, di dalam membangun persaingan bisnis. Bahwa persaingan tidak selalu berupa benturan antar sesama pengusaha. Akan tetapi, bisa saja dikelola menjadi sebuah kesatupadanan sehingga mampu menghasilkan produk unggulan yang memiliki daya saing.
Dan benar, becak Pekalongan memiliki ciri khas tersendiri. Sangat berbeda dengan becak-becak di daerah lain. Becak Pekalongan memiliki ruang yang longgar, sehingga nyaman bagi penumpangnya. Kapasitas muatannya pun bisa lebih besar dari becak-becak di daerah lain. Belum lagi, kekokohan becaknya. Karena di setiap tepi kayu becak dilapisi besi dan pada bagian pegangan terbuat dari pipa besi kokoh yang dilengkungkan, becak Pekalongan memiliki kekuatan yang lumayan mampu membuat badan sebuah mobil penyok kalau sempat bersenggolan.
Lalu, mengapa becak Pekalongan dirancang sedemikian longgar? Ada kemungkinan, rancangan itu disesuaikan dengan kebutuhan industri batik dan konfeksi yang tumbuh subur di Pekalongan. Artinya, perancangan badan becak dibuat untuk dapat digunakan mengangkut barang-barang yang bersinggungan dengan kedua industri itu. Yaitu, mengangkut gulungan-gulungan kain mori yang bisa saja berjumlah banyak. Dan memang, agaknya akan sangat merepotkan jika desain becak Pekalongan dibikin sama dengan becak-becak di luar daerah, seperti Semarang, (dulu) Jakarta, dan kota-kota lainnya.
Bentuk becak Pekalongan juga sangat membantu bagaimana para pedagang ikan untuk mengangkut barang dagangannya dari pelabuhan menuju pasar. Biasanya, tak hanya satu dirigen, akan tetapi bisa banyak dirigen berisi penuh ikan. Selain itu, juga amat meringankan pedagang-pedagang lain. Bahkan, becak Pekalongan mampu dijadikan sebagai alat untuk mengangkut gerobak bakso atau lainnya.
Betapa, ini membuktikan tingkat kecerdasan masyarakat Pekalongan. Segala yang dirancang tak sekadar menjadi jawaban atas satu persoalan. Akan tetapi, mampu menjadi solusi atas banyak hal. Sesuai dengan istilah yang dahulu kerap didengung-dengungkan, “palango”. Kata ini, biasanya diucapkan sebagai wanti-wanti atau pengingat agar seseorang waspada dan bersikap antisipatif atas segala kemungkinan.
Sayang, cerita tentang becak itu lambat laun mulai kikis. Bahkan, bisa jadi akan hilang dari ingatan masyarakat. Apalagi di era kini lebih banyak masyarakat Pekalongan yang memilih memelihara kendaraan roda dua bikinan negeri Sakura. Bahkan, tak memandang batas kapasitas, penggunaan kendaraan roda dua ini cenderung lebih diandalkan oleh para pengusaha batik sebagai alat angkut barang-barang produksi mereka.
Becak sebagai sarana transportasi manusia juga sudah tergeser oleh keberadaan kendaraan roda dua itu. Terlebih dengan kemunculan ojek online yang dirasa lebih memungkinkan bagi para penumpang untuk mengejar waktu. Pun rogohan tangan mereka relatif tak membuat dompet mereka kering dalam seketika. Belum lagi tawaran-tawaran lain yang memanjakan, seperti jasa pengiriman barang, pesan-antar makanan, dan lain-lain, yang itu semua mungkin saja tak bisa dilakukan oleh para penarik becak.
Tetapi, kalau toh memang harus dipertahankan, masihkah ada generasi muda yang mau menjalani pekerjaan sebagai penarik becak? Agaknya, sangat jelas jawabannya; tidak. Mengapa? Karena tingkat kesejahteraannya tidak menentu, bahkan cenderung rendah. Kehidupan para penarik becak relatif lebih banyak yang berada di bawah standar kesejahteraan. Padahal, menjadi seorang tukang becak bukanlah sebuah dosa. Tetapi, mengapa kerap dipandang rendah?
Komentarnya gan