KOTOMONO.CO – Menyimak wawancara di radio antara seorang penyiar senior saya, Mbak Ella, dengan Mas Mustakim Atho (Ketua DPC SPN Kota Pekalongan) membuat semangat saya kembali membara. Bagaimana tidak, dulu setiap kali ada berita tentang buruh, saya tiba-tiba saja jadi sangat tertarik. Bukan hanya didorong oleh perasaan senasib sepenanggungan, tetapi juga karena menurut pencermatan sepintas saya kala itu, Kota Pekalongan merupakan salah satu kota buruh.
Memang, selain perdagangan, sektor yang lumayan besar di kota ini ya sektor industri. Dan, diakui atau tidak, sektor inilah yang bisa menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang lumayan gedhe. Satu pabrik bisa dihuni oleh ratusan atau bahkan ribuan karyawan, bergantung skala pabriknya.
Berdasarkan catatan BPS Kota Pekalongan, Tahun 2021 saja, jumlah buruh di Kota Pekalongan tembus 114.182 jiwa. Itu pun masih terbagi lagi ke dalam tiga jenis buruh. Yaitu, buruh tidak tetap, buruh tetap, dan buruh. Sementara, jumlah penduduk kota penghasil kerajinan batik ini, pada tahun 2021 diperkirakan ada 308.310 jiwa. Artinya, ada sekitar 37% penduduk Kota Pekalongan yang bekerja sebagai buruh.
Sedang, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pekerja yang secara keseluruhan mencapai angka 168.725, maka didapat pula bahwa persentasenya masih tergolong tinggi. Kira-kira mendekati 68%. Lain lagi dengan penduduk yang bekerja sebagai wiraswasta. Jumlahnya hanya 34.836 orang, atau mendekati angka 21%.
Lepas dari itung-itungan tadi, dengan persentase yang demikian besar itu, maka tidak menutup kemungkinan bagi munculnya masalah yang sangat kompleks di sektor perburuhan ini. Saya kira wajarlah jika peristiwa-peristiwa yang meliputi dunia buruh menjadi sorotan yang menarik. Apalagi menjelang hari raya Idul Fitri.
BACA JUGA: Banjir Pekalongan Tak Pernah Tuntas Kalau yang Diajak Ngobrol Cuma Elite
Sudah tentu, mendekati hari raya, masalah utama yang menjadi sorotan adalah pembagian THR! Bagi kawan-kawan buruh, THR ibarat hidup-matinya buruh di hari raya. Sebab, pada saat itu, kebutuhan mereka meningkat drastis. Mereka tentu sangat ingin merayakan hari raya dengan penuh suka cita. Apalagi di saat itu berlaku pula tradisi untuk saling mengunjungi rumah saudara maupun teman-teman dekat.
Memang, tidak ada keharusan bagi siapa pun untuk menyuguhi para tamu yang berkunjung ke rumah dengan makanan dan minuman yang mahal. Akan tetapi, menghormati tamu adalah hal yang prinsip. Tentu, setiap orang tidak ingin membuat tamu yang berkunjung ke rumah menjadi kecewa dan memandang rendah si tuan rumahnya.
Ini bukan soal gengsi. Tetapi, ini soal etika. Sudah galibnya mereka demikian. Menyediakan suguhan yang istimewa bagi tamu-tamu yang berkunjung. Mungkin bukan makanan atau minuman mahal, tetapi sudah menjadi kebiasaan juga harga-harga kebutuhan sehari-hari mendemam. Selisihnya bisa sangat tinggi dari hari-hari biasa.
BACA JUGA: Politik “Pangkon” Ala Mas Walikota Aaf
Selain itu, sudah menjadi kebiasaan pula—meski tak menjadi keharusan—ketika berkunjung ke rumah saudara atau teman dekat, pun saat menerima tamu, mereka akan mendandani diri mereka dengan pakaian yang bagus. Tak mesti baru, memang. Akan tetapi, berpakaian yang baik juga menjadi tuntunan etika. Sekali lagi bukan gengsi!
Tak pelak, agar mendapatkan pakaian yang baik itu hampir semua orang menerjemahkannya dengan membeli pakaian baru, sandal baru, celana baru, sarung baru, dan lain-lain. Setidaknya, itulah cara mereka memantaskan diri.
Belum lagi dengan keadaan rumah. Sebagian orang, saat menjemput hari raya, akan membuat suasana rumah mereka menjadi serba ramah. Maka, mereka pun akan mengecat, memperbaiki talang jika rusak, memperbaiki dinding jika ada yang bolong-bolong, dan sebagainya. Tetapi, sekali lagi, ini bukan soal gengsi. Mereka melakukan hal itu karena ingin menghormati tamu, walau mungkin saja tamunya tak banyak.
BACA JUGA: Menyongsong Kepunahan Tukang Canting dan Tukang Sungging
Di lain hal, ada pula keinginan mereka untuk menyisipkan uang ke dalam amplop-amplop kecil yang nanti akan dibagikan kepada anak-anak mereka, keponakan, atau anak-anak dari sahabat mereka. Besarannya mungkin tak terlalu. Akan tetapi, itu menjadi penting bagi mereka karena mereka ingin berbagi kebahagiaan dengan anak-anak. Gengsikah? Tentu bukan. Ini soal rasa bahagia.
Dari sekian hal itu, saya kira pembagian THR menjadi sangat penting artinya bagi buruh. Lebih-lebih bagi perusahaan. Mengapa? Dengan pemberian THR itu sesungguhnya citra perusahaan akan terjunjung oleh keadaan para buruhnya. Siapa tahu, ada tetangga dari buruh itu bercelatuk, “Wah, keren ya, biarpun ia bekerja di pabrik bisa punya baju bagus, rumahnya juga bagus, jajan yang disuguhkan juga mahal, dan isi angpaonya merah-merah semua! Pasti THR-nya gedhe nih!”
Celatukan itu mungkin saja sepele. Tetapi, pernahkah terpikir, jika dengan celatukan itu reputasi perusahaan secara tidak langsung terangkat? Orang-orang akan berpikir bahwa perusahaan yang membagikan THR besar itu adalah perusahaan bonafit. Betapa THR sesungguhnya sangat bermakna, tidak hanya bagi buruh, melainkan pula bagi perusahaan, pun bagi bos-bos perusahaan.
Sayang, dari tahun ke tahun, pembagian THR selalu saja dihadapkan dengan sekian banyak masalah. Padahal, menurut aturan yang ada (Permenaker Nomor 6 Tahun 2016), THR itu wajib dibagikan kepada buruh oleh perusahaan. Semoga saja tahun ini tidak ada yang bermasalah. Kalaupun ada, semoga lekas dapat dituntaskan.
Komentarnya gan