KOTOMONO.CO – Kok hidupku masih gini-gini aja ya? Kalau udah lulus mau ngapain? Besok mau makan apa? Jodohku siapa?
Mungkin itu sebagian pertanyaan-pertanyaan yang menjadi kecemasan dari manusia sesuai dengan latar belakang serta perannya masing-masing. Ada yang perlu dijawab (diusahakan), ada pula bagian-bagian yang menjadi ranah Tuhan.
Dalam hal ini sesekali kita perlu melakukan apa yang disarankan Ki Ageng Suryomentaram, yaitu ngudari reribet atau merenungkan mana yang perlu dicemaskan dan mana yang sebenarnya tidak penting untuk dicemaskan.
Kadang kala kecemasan bisa muncul karena ketidaklengkapan informasi yang kita miliki atas suatu hal, kemudian kita menambahi sendiri informasi tersebut tanpa ada dasar.
Misalnya ketika menelpon pacar kita, tapi ternyata dia sedang berada di panggilan lain, kita langsung cemas, langsung berfikir yang tidak-tidak. Padahal informasi yang kita punya hanyalah tulisan “beby sedang dalam panggilan lain”, tapi seringkali kita menambahi sendiri informasi-informasi tersebut.
Jangan-jangan dia sedang telponan dengan cewek atau cowok lain, jangan-jangan dia punya selingkuhan, jangan-jangan aku ini tidak penting dalam hidupnya. Ah jangan asem enak.
Namun kita perlu mengakui bahwa kecemasan kerap kali menjadi salah satu teman manusia selama hidupnya, kita beranjak dari satu kecemasan ke kecemasan yang lain.
Memiliki kecemasan menjadi suatu hal yang wajar mengingat setiap manusia memiliki tujuan dan tanggung jawab dalam kehidupannya, menjadi tidak wajar jika kecemasan itu sudah berlebihan yang berdampak buruk pada psikis dan mengganggu aktifitas sehari-hari.
Sekiranya sudah sangat mengganggu, alangkah baiknya di konsultasikan pada ahlinya.
Quarter Life Crisis
Dari beberapa hal yang dicemaskan manusia, kecemasan akan masa depan sering dialami oleh anak muda, hal ini menjadi salah satu penyebab munculnya quarter life crisis. Itu loh kondisi emosional yang sedang ramai dibicarakan anak-anak jaksel itu. Istilahnya memang keren, tapi berbahaya jika dibiarkan berlarut-larut.
Quarter life crisis atau krisis seperempat abad adalah istilah yang menggambarkan keadaan emosional berupa kecemasan dan keraguan pada diri sendiri ketika menghadapi masa depan.
Seperti namanya, krisis seperempat abad biasa dialami oleh orang-orang yang berusia disekitar seperempat abad, yakni 18-30 tahun. Penyebabnya bermacam-macam, dari krisis identitas, frustasi dalam dunia percintaan, karier, pekerjaan, sampai tekanan ekspektasi dari orang lain.
Mengontrol Quarter Life Crisis
Jika kita tidak bisa mengontrol kondisi emosional ini, quarter life crisis bisa menjadi pemicu datangnya stres, depresi, dan gangguan psikologi lainnya.
Namun quarter life crisis ini dinilai penting dialami anak muda, karena dengan adanya krisis ini kita bisa mengenali diri sendiri serta menyiapkan bekal untuk menghadapi berbagai kemungkinan di masa depan. Mungkin menjadi penting jika kita bisa mengontrolnya.
BACA JUGA: Sadfishing Bukan Budaya Kita, Budaya Kita Membagikan Meme Kocak
Mengenai hal ini ada quotes menarik dari Epitectus, tokoh filsafat stoik itu mengatakan “kebahagiaan dan kebebasan dimulai dengan sebuah pemahaman yang mendalam atas satu prinsip. Yaitu mana yang ada dalam kontrolmu dan mana yang bukan”.
Sendiko dawuh dengan quotes ini, untuk bisa mengontrol quarter life crisis, kita perlu memiliki pemahaman tentang apa itu quarter life crisis serta pemahaman tentang apa saja yang perlu dicemaskan dan yang tidak perlu dicemaskan.
Untuk bisa mengetahui hal-hal yang perlu dan tidak perlu dicemaskan, terlebih dahulu kita mesti menyadari limitasi atau batasan-batasan yang kita miliki. Dengan mengetahui limitasi tersebut kita bisa lebih cheto memilah mana saja yang perlu kita selesaikan dahulu.
Cara berikutnya untuk mengontrol quarter life crisis bisa dengan berhenti membanding-bandingkan pencapaian diri sendiri dengan orang lain secara berlebihan. Boleh saja jika dengan membanding-bandingkan membuat kita bisa lebih giat berusaha agar bisa seperti orang yang kita bandingkan, selagi kita mempunyai pijakan bahwa kebahagiaan tidak kita cantholkan pada pencapaian orang tersebut, artinya apapun yang kita capai ya itulah kebahagiaan kita. Seperti kata Ki Ageng Suryomentaram “Bahagia itu saiki (sekarang), ing kene (disini), dan ngene (menerima apapun yang didapat)”.
BACA JUGA: Sadfishing Bukan Budaya Kita, Budaya Kita Membagikan Meme Kocak
Syarat lain agar aman saat membanding-bandingkan pencapaian diri sendiri dengan orang lain adalah dengan mengamalkan hukum sebab-akibat. Tidak mungkin kita menginginkan kesuksesan tapi kita malas-malasan.
Loh kan ada yang usahanya gitu-gitu aja tapi hasilnya luar biasa, apa itu berarti hasil mengkhianati usaha? Sebentar, bukannya faktor keberhasilan nggak cuma bergantung pada usaha? Ada juga faktor previllage? Waktu yang pas? Berdo’a? kita nggak tahu orang yang kita bandingkan ini unggul dalam hal mana. Makanya bahagia itu saiki, ing kene, dan ngene.
Falsafah Hidup Ki Ageng Suryomentaram
Selain yang sudah disebut di atas, Ki Ageng Suryomentaram melalui refleksi perjalanan hidupnya dari seorang pangeran yang hidup di kraton sampai menjadi buruh gali sumur juga mengajarkan bahwa keinginan itu bisa mulur (berkembang) dan mungkret (menciut).
Misalnya kita menginginkan Iphone keluaran terbaru, saat sudah kebeli kita akan merasa senang sebentar nanti kalau ada masalah ya sedih lagi. Lalu saat Iphone mengeluarkan versi terbarunya yang lebih canggih kita pingin membelinya lagi. Artinya jika keinginan kita tercapai keinginan itu akan mulur (berkembang), tapi jika keinginan itu tidak tercapai ia akan mungkret (menciut).
Di dunia ini tidak ada yang benar-benar pantas dicari, dihindari, dan ditolak, bukankah apa yang kita cari dan kita hindari selama ini tidak membuat kita senang dan sedih selamanya? Bukankah senang dan sedih selalu datang bergantian? Intinya kita perlu senantiasa mengawasi keinginan dan kecemasan yang kita punya.
BACA JUGA: Ora Kober Aesthetic-Aesthetic-an, Warga Pekalongan Berlomba Meninggikan Rumah
Mengenai kecemasan, Ki Ageng Suryomentaram menjadi tokoh sebesar ini dan pemikirannya sampai dikaji ilmuwan barat, itu berawal dari kecemasan Ki Ageng yang cemas dan tidak krasan hidup di kraton.
Ya mungkin kecemasan yang dialami berbeda dengan kita, yang beliau cemaskan adalah semasa hidupnya di kraton Ki Ageng merasa belum pernah bertemu dengan manusia (yang sejati), di sana beliau hanya bertemu pangkat, kekuasaan, kemewahan, dihormati (oleh bawahannya), dan dimarahi (oleh ayahnya).
Namun dari kecemasan tersebut Ki Ageng sanggup mengelola sampai menjawab kecemasan yang ia miliki. Dalam suatu momen ia menemukan bahwa manusia yang Ki Ageng cari adalah Ki Ageng yang selama ini mencari manusia itu. Manusia itu adalah Ki Ageng yang selama ini cemas dipuji, cemas dilayani, cemas diatur-atur. Dari kecemasan tersebut Ki Ageng berhasil membuahkan falsafah hidup yang sudah kita kenal saat ini yaitu ilmu kaweruh jiwa.
Artinya bahwa merasakan kecemasan itu wajar selagi kita mampu mengelolanya, ia bisa menjadi gerbang bagi kita untuk mengenali diri sendiri.
Komentarnya gan