KOTOMONO.CO – Lahir di Pekalongan jelas saya terinfeksi penuh budaya dan kultur masyarakat Pekalongan Jawa Tengah. Apalagi sudah sejak kecil saya tinggal di Kota Batik ini, tepatnya di pesisir Pantai Utara. Jarak dari rumah ke pantai kurang dari satu kilometer. Jadi, kalau kamu-kamu mau main ke tempat saya boleh banget.
Oleh karena sejak kecil menggunakan bahasa dan dialek Pekalongan, saya sedikit kerepotan ketika berbicara dengan orang lain dari luar Pekalongan. Saat mempraktikkan berdialog menggunakan dialek bahasa Pekalongan di Semarang, banyak teman yang nggak mengerti. Begitu pula saat saya di Jogja, Malang, atau Surabaya. Dialek Pekalongan itu unik, oleh karena itu nggak mudah dipahami orang luar, hanya warga Pekalongan sendiri.
Ini serius. Jangankan buat warga yang lokasinya jauh dari Pekalongan. Kadang dialek dan bahasa Pekalongan nggak bisa dipahami atau berbeda makna dengan mereka yang berdomisili di kota yang satu karesidenan sama Pekalongan. Misalnya untuk orang Pemalang. Kata “bathir” meski sama-sama berbahasa Jawa, memiliki makna berbeda di Pekalongan dan Pemalang.
BACA JUGA: Ragam Hidangan Es Khas Dari Pekalongan Yang Enake Pok!
Di Pekalongan “bathir” maknanya pembantu, tapi “bathir” bagi orang Pemalang artinya teman. Sudah bisa dibayangkan, bagaimana repotnya ketika orang Pekalongan ngobrol sama orang Pemalang? Kurang lebih bakalan begini, Si A (Orang Pemalang) bilang, “Mas, gelem dadi bathirku rak?” Sontak, si B yang orang Pekalongan matanya langsung terbelalak. Mengira dirinya disuruh jadi pembantu.
Perihal sapaan beda lagi. Kalau seluruh Nusantara mengerti kata “Jancuk” yang berasal dari Jawa Timuran itu sebagai sapaan akrab mereka. Dan kini hampir semua orang mengerti akan itu, di Pekalongan tentu nggak berlaku. Bukan menganggap “Jancuk” kasar, tetapi orang Pekalongan biasa menyapa dengan sapaan lain.
Biasanya buat lebih akrab, orang Pekalongan akan menyapa menggunakan kata “Lhoh”, “Lhem”, “Lhur”, “Mhad”. Kata sapaan ini agak susah dimengerti orang-orang di daerah lain. Saya pernah mencobanya. Di Jogja, kebetulan bertemu teman saya sama-sama Pers Mahasiswa (Persma), ketika saya sapa memakai kata “Lhem“, teman saya itu kebingungan. Mungkin dikira saya mau nge-lem kali ya. Duh~
Dialek Pekalongan mempunyai kosakata yang lumayan sukar dimengerti orang luar. Bahkan saking lokalnya, bahasa-bahasa Pekalongan menjadi ciri khas orang Pekalongan ketika berpergian. Contohnya kata “kotomonoho”, ini bukan bahasa Jepang, melainkan bahasa Pekalongan asli. Maknanya seumpama, jadi dalam contoh kalimatnya seperti ini “kotomonoho nek aku lungo, kowe tak jak yo dek.” (Seumpama aku pergi, kamu aku ajakin ya dek).
Selain “kotomonoho” ada kata yang jika dipikir-pikir maknanya hampir mirip tapi sebenarnya untuk penggunaannya berbeda. Kata “mbopoho” yang artinya barangkali. Kalau “kotomonoho” dipakai di awal kalimat, “mbopoho” ini biasanya ditaruh di tengah. Kedua kata tersebut, bisa dipakai saat orang Pekalongan berharap, atau belum tahu terjadi tidaknya suatu kejadian. Misalnya, “kowe ngger ngumah bae yo nduk, mbopoho ono tamu mengko!” (Kamu di rumah saja ya nak, barangkali ada tamu nanti)
Dialek Pekalongan juga identik dengan huruf vokal “o”. Hampir seluruh kosakata bahasa dan dialek Pekalongan belakangnya pasti menggunakan huruf “o”. Seperti halnya pada kata “singo-singoho”, ini bukan bahasa Cina atau menunjukkan ada singa di depan. Tetapi “singo-singoho” artinya terserah. Cocok banget nih, diterapkan buat para cewek yang suka bilang terserah, coba pakai Bahasa Pekalongan. Hehe.
BACA JUGA: 3 Ciri Khas Bahasa Wong Pekalongan yang Wajib Anda Ketahui
Dalam melihat kaki, tangan, telinga, atau bagian tubuh lainnya yang membesar. Entah akibat penyakit atau kecelakaan atau apapun itu, biasanya orang Pekalongan menyebutnya “aboh“. Misalnya, “Sikile aboh kokui kenopo kang?” (Kakinya membesar begitu, kenapa kang?) Unik bukan?
Ada lagi nih, dalam dialek Pekalongan, orang-orang Pekalongan selalu membawa ayahnya—bukan makna sebenarnya. Terlebih jika mereka ingin pergi ke suatu tempat. Kata “pak” biasanya menunjuk ke pemaknaan sinonim dari ayah. Tetapi di Pekalongan artinya “arep” kalau diartikan ke bahasa Jawa Tengah pada umumnya, atau “hendak” dalam Bahasa Indonesia.
Contohnya macam-macam. Seperti “nyong pak lungo” (aku hendak pergi), “nyong pak mangan” (aku hendak makan), “nyong pak turu” (aku hendak tidur). Bayangkan, andai orang Pekalongan yang datang ke Bandung bertemu sama bapak-bapak di jalan, dan pingin sholat. Bagaimana bapak itu mengerti kalimat “pak, nyong pak solat masjidte nandi?”
Beda dengan “pak“, kata “pok” meski sesama Bahasa Jawa memiliki makna yang lain bagi masyarakat Pekalongan. “Pok” merujuk pada kata “banget” di Bahasa Indonesia. Jadi misalnya seorang pria yang sangat mencintai salah seorang perempuan. Anggaplah perempuan itu adalah kekasihnya, si pria bakalan bilang “aku senenge pok karo kowe dek. Soale kowe ayune pok ngungkuli Dian Sastro.” (Aku suka banget sama kamu dek. Soalnya kamu cantik banget melebihi Dian Sastro).
BACA JUGA: Ratu Sima dan Nama Panggilan “Ibu” Orang Pekalongan
Meskipun agak kesulitan dalam berdialog dengan orang lain dari luar daerah, warga Pekalongan tetap mencintai dialeknya. Mereka akan tetap menggunakan bahasa dan dialek Pekalongan walau sedang tidak di Pekalongan. Tak jarang, banyak orang dari luar bilang kalau Bahasa dan Dialek Pekalongan nggak bisa masuk kategori Bahasa Jawa, mau itu krama atau ngoko yang betul-betul sesuai Pepak Bahasa Jawa anak sekolahan. Kendati demikian, saya sebagai warga Pekalongan bangga dengan bahasa Pekalongan. Barangkali suatu saat nanti sapaan khas Pekalongan bisa seterkenal “Jancuk”. Yo po rak Lhoh?
BACA JUGA Tulisan-tulisan menarik dari Muhammad Arsyad lainnya.
komentarnya gan