KOTOMONO.CO – Saat menonton televisi, ibu saya akan terperangah seketika manakala muncul seseorang yang belum ia kenal sebelumnya. Bukan artis, walikota, menteri, ataupun presiden. Sama sekali bukan. Seseorang yang berhasil bikin ibu saya terperangah itu, sejujurnya saya juga belum pernah lihat.
Seseorang yang tampil itu begitu asing di penglihatan. Setidaknya di layar kaca. Hingga sebuah adegan menunjukkan seseorang yang ada di televisi itu, ibu saya baru paham. Oh, orang itu yang viral di media sosial.
Adegan di rumah saya berikutnya sudah bisa ditebak. Ibu saya merutuki orang yang viral itu. Katanya, viral itu enak, bisa mengantarkan orang biar masuk televisi. Dapat uang pula.
Kebetulan seseorang yang ibu saya maksud itu anak kecil. Dan itu yang bikin saya mengumpat dalam hati sejadi-jadinya. Sialan, anak itu tinggal joget saja dapat duit, jogetnya pun nggak perlu manggung dan butuh event organizer. Lha saya, harus nulis satu artikel dulu kalau mau jajan martabak dan minum kopi yang lumayan elit.
Karena anak itu, saya pun termenung, rupanya cukup dengan jalan viral seseorang, yang boleh jadi sebelumnya hanya mampu makan sehari tiga kali, kini ia punya rumah, mobil, dan apartemen. Maka seharusnya viral ini bisa jadi sebuah program kerja nasional untuk menaikan perekonomian rakyat. Pak Jokowi tidak perlu repot-repot memikirkan lapangan pekerjaan. Pun tak ada alam yang dikorbankan.
Persoalannya viral juga butuh modal. Orang bikin video tak semudah apa yang dibayangkan. Hal kecil yang tak boleh luput untuk bikin video adalah hape. Tentu saja bukan hape sekelas Motorola ataupun hape bergambar Barbie yang diisi baterai Alkaline. Melainkan hape canggih yang ya… kalau ukuran saya, butuh tiga kali pencairan honor menulis.
Beberapa waktu lewat, seseorang membagikan status di sebuah grup Facebook. Ia tengah memprotes perlakuan petugas kedinasan yang menurutnya tak pantas. Mulanya ia sedang minta jatah untuk korban banjir. Tapi alih-alih diberi, si petugas malah tampak karaokean.
BACA JUGA : Dinsos P2KB Kota Pekalongan Tanggapi Postingan “Kapok ke Dinsos”
Kegusaran satu orang itu akhirnya membuat orang satu daerah geger. Status itu pun viral di media sosial. Saya lalu menunggu apa yang akan menimpa orang itu. Apakah ia akan terkenal seperti si anak yang tampil di televisi tadi? Ternyata tidak.
Postingan Facebook orang itu pun hanya ditanggapi pihak terkait, alih-alih membuat si empunya postingan dipanggil manajemen televisi. Walaupun tak sampai skala nasional, boleh dikata respon terkait atas postingan itu pun terhitung cepat. Hitungan saya belum ada sebulan sampai gubernur pun ikutan menanggapi.
Padahal masalahnya sangat sepele. Tapi karena viral masalahnya pun membengkak. Dan ironinya, tanggapan pihak terkait itu pun sama sepelenya. Saya mencoba memahami, mungkin karena terlanjur viral, maka mesti cepat-cepat klarifikasi.
Saya teringat hal yang nyaris serupa beberapa hari lalu. Saat di daerah saya sedang diterpa banjir. Bantuan memang mengalir tapi tak cukup terorganisir. Beberapa korban banjir terpaksa nerimo ing pandum.
Ada yang cuma mendapat mi instan. Sebagian ada yang mendapat kaos bekas. Sebagiannya lagi mendapatkan sebungkus wafer. Mereka kelihatan senang menerimanya, tapi tak sedikit pula yang menggerutu.
Sayup-sayup saya mendengar bahwa bantuan tersebut tidak merata. Yang menyayat hati adalah ketika saya mendengar orang menggerutu dan kecewa pada pihak terkait yang cuma merecoki saja. Lalu suara-suara itu hilang tersapu bunyi sirine dan kecipak air.
Suara-suara tadi belum sempat viral. Ya mungkin mereka belum sempat untuk posting di media sosial. Lantas memanas-manasi warganet supaya postingannya melambung.
BACA JUGA : Banjir Berwarna Merah di Kota Pekalongan Itu Biasa Saja, Nggak Usah Lebay!
Orang-orang itu sebetulnya butuh respon. Sama seperti orang yang posting di Facebook tadi. Sayangnya, mungkin mereka nggak ngerti bagaimana agar pihak terkait merespon. Bahwa untuk itu perlu viral dulu.
Dan viral, sekali lagi, butuh modal. Alat posting mungkin mereka punya, tapi waktu untuk posting sudah dialihkan untuk mengangkut barang-barang yang nyaris hanyut.
Belum lama ini, satu media mencuri perhatian ormas Twitter. Duduk perkaranya, salah satu wartawan bikin berita berbau seksual salah seorang istri publik figur yang juga publik figur. Banyak yang mengomentari berita itu, termasuk akun-akun “raksasa”.
Banyak yang mengomentari sekaligus mencaci. Wajar sih wong berita itu terlalu jauh ikut campur urusan yang hanya bisa selesai di atas ranjang. Awalnya si wartawan masih pula berkilah. Namun perlawanan sengit dan sudah kadung viral, membuat media tersebut harus takluk di tangan warganet.
Apalagi selepas si publik figur mencuit dan melayangkan keberatan. Belum genap seminggu, pihak media pun menerbitkan permohonan maaf yang ditujukan buat si publik figur tadi. Isinya pun sama seperti tanggapan pihak terkait pada postingan Facebook di atas: sepele.
BACA JUGA : Jangan Main-main dengan Tanda Tangan, Apalagi Sampai Memalsukan
Padahal ini bisa dicegah. Bahkan sebelum berita itu naik ke permukaan. Namun agaknya itu bukanlah ciri khas orang-orang di sekitar kita. Maka benar belaka apa yang pernah ditulis almarhum Prie GS. Bahwa lebih mudah membangun lagi gedung yang terbakar daripada mengusut siapa pelaku pembakaran.
Dengan kata lain, orang lebih suka minta maaf kalau ia bikin salah daripada introspeksi. Dan orang-orang pemaaf ini akan bertambah banyak seiring munculnya entitas yang diberi nama viral.
Lain cerita jika itu menimpa orang yang tak punya label sebagai publik figur. Misalnya, pada berita kecelakaan pesawat. Tak jarang muncul informasi yang sama sekali nggak penting, seperti kasus publik figur di atas.
Alih-alih fokus pada pencarian korban atau mencari tahu penyebab jatuhnya pesawat, berita yang muncul di permukaan justru potret seksi pramugari. Dan ironinya, itu ada di media online nasional.
Syahdan, kenapa pihak redaksi tidak minta maaf akan hal itu? Seperti apa yang terjadi pada kasus publik figur tadi? Jawaban yang bisa saya terka, mungkin karena tidak viral.
BACA JUGA : Menulis Itu Boleh Menggiring Opini kok!
Ha gimana mau viral, wong itu yang diangkat potret cantik pramugari bukan potret artis FTV, publik figur, atau influencer. Toh belum tentu, pihak keluarga atau siapapun bisa membuat itu viral bahkan sampai dikasuskan dan bikin redaksi minta maaf.
Jelaslah bahwa viral itu memang perlu. Tapi, maaf sekali lagi, viral juga butuh modal. Dan rupayanya modal gawai dan waktu saja belum cukup. Butuh modal lain yang saya rasa paling berat dan susah didapatkan: latar belakang sebagai publik figur.
BACA JUGA artikel Muhammad Arsyad lainnya.