KOTOMONO.CO – Hidup, kalau jujur itu pasti bakalan mujur, titik! Seperti yang dialami oleh dua orang terdakwa korupsi bantuan sosial di Kabupaten Bandung Barat sana.
Ngomongin bab hukum-menghukum di negeri yang katanya negeri hukum ini tak jarang bikin siapa saja jadi gregetan. Nggak cuman terheran-heran, malah bisa bikin kepala geleng-geleng sendiri tanpa diinstruksi. Bukan hanya soal runcing ke bawah tumpul ke atas, tapi ada saja yang bisa bikin kita ketawa terpingkal-pingkal. Salah satunya, vonis-vonis nyeleneh yang di ketok palu yang berbuntut keruhnya rasa keadilan di masyarakat.
Lebih lagi soal vonis-vonis untuk para maling (kita sebut maling untuk koruptor) kita yang lagi-lagi dapetnya yang enak-enak. Bukan hanya soal fasilitas di Lapas yang mirip hotel, melainkan pula ada saja perlakuan-perlakuan khusus lainnya. Mulai dari penangkapan maupun saat persidangan.
Pokoknya lebih enak ketimbang perlakuan yang diterima seorang maling ayam. Para maling ayam bisa saja jadi samsak warga terlebih dahulu saat ketangkep.
Mungkin masih belum terkelupas dari ingatan. Beberapa waktu lalu, orang-orang—khususnya warganet—sempat dibikin gemas oleh peristiwa persidangan kasus korupsi dana Bansos yang menyeret eks Mensos Bapak Juliari P. Batubara. Saat itu, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menilai bahwa perasaan menderita yang dialami Pak Juliari gegara di-bully habis-habisan di medsos adalah perihal yang meringankan vonis bagi terdakwa.
Betapa bijaksananya penilaian itu. Khususnya bagi terdakwa. Bagi yang lain, mungkin tidak.
Dan pada akhir episode drama persidangan itu, Juliari diganjar hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Meski tergolong lebih lama 1 tahun dari tuntutan jaksa, setidaknya blio ini masih “slamet”. Tidak betul-betul dituntut hukuman mati oleh KPK.
Lho, kan waktu itu Bapak Ketuanya KPK sendiri yang bilang, kalau ada yang tertangkap korupsi bansos, kalau bisa dituntut hukuman mati bahkan dieksekusi mati. Malah, waktu itu Pak Ketua KPK pakai kata “tidak main-main” segala loh.
Ups! Kembali ke lead tulisan ini. Sebenarnya, saya sedang tidak ingin membicarakan kasusnya Pak Juliari. Anggap saja itu sudah usang. Ya meski meninggalkan kesan yang agak gimana gitu.
Yang mau saya tulis di sini soal lain. Peristiwa yang bikin kepala saya bisa geleng-geleng sendiri tanpa musik disko. Yakni, vonis bebas untuk dua terdakwa korupsi bansos di Bandung Barat.
Gimana ceritanya ya? Gini nih….
Kasus Bansos Covid-19 di Bandung Barat rupanya menyeret tiga nama sebagai terdakwa. Dua di antaranya divonis bebas oleh majelis hakim. Hanya seorang yang divonis hukuman 5 tahun penjara, yaitu orang nomor wahid di Kabupaten Bandung Barat itu.
Kedua nama yang terbebas dari jerat teralis besi itu Andri Wibawa (putra Aa Umbara, Bupati Bandung Barat) dan M. Totoh Gunawan selaku penyedia barang sembako bansos COVID-19. Keputusan bebas itu sesuai yang dibunyikan hakim saat sidang vonis di Pengadilan Tipikor Bandung, Kamis (4/11).
“Mengadili, menyatakan terdakwa Andri Wibata tersebut di atas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan dalam dakwaan tunggal,” begitu kira-kira bunyi ucapan hakim saat membacakan amar putusannya.
So, apa sebab dua orang tadi bisa mendapat vonis bebas?
Dalam pertimbangannya, blio—Pak Surachmat, ketua majelis hakim—menilai kalau kedua orang tersebut tidak memenuhi unsur sebagaimana dakwaan tunggal dalam Pasal 12 huruf i UU Tipikor. Salah satunya berkaitan dengan unsur penyelenggara negara alias terdakwa bukan pegawai negeri, maka tidak tepat untuk dikenakan pasal 12 tadi.
Piye? Sudah geleng-geleng belum? Hop, Tunggu dulu. Kita lanjut pembahasan ke bawah.
Padahal nih, menurut KPK terdakwa Andri Wibawa dalam pledoinya telah mengakui dan menyesali perbuatannya. Majelis Hakim juga mempertimbangkan adanya pemberian fee 6% dari terdakwa Totoh kepada Aa Umbara (Bupati Bandung). Namun, hal ini tetap tidak menjamin menjadi pertimbangan sang Hakim untuk menjebloskan keduanya ke dalam bui, sebab keduanya bukanlah penyelenggara negara atau pegawai negeri. Catat bukan pegawai negeri!
BACA JUGA: Saya Mendukung Semua Orang Mendirikan Minimarket Dekat Dengan Pasar, itu Tidak Melanggar Perda Kok!
Ini yang keheranan bukan saja KPK, melainkan seluruh orang-orang senegara (kecuali para maling duit rakyat) yang geram bin gemas. “Boleh nggak sih itu maling digebukin dulu kek maling ayam di kampung?” atau bisa nggak itu yang korupsi diarak keliling dulu sambil disuruh teriak “Saya Maling” kek ibu-ibu yang ketangkep basah maling tas di Kota Medan? Mungkin seperti itu celetukan-celetukan dari masyarakat.
Saya jadi sedikit membayangkan, mungkin nggak ya, sewaktu penyidik KPK suskes menangkap pelaku korupsi entah itu saat OTT atau tidak, KPK akan “memamerkan” pelaku di suatu tempat, lalu mempersilahkan masyarakat atau siapa saja yang mau memberikan “salam olahraga” kepada para pelaku ini agar adil kelasnya dengan maling ayam? Namun, lagi-lagi itu sebatas imajinasi, sebab negara kita ini kan negara hukum, katanya.
Nah, kalau saya boleh bilang, khusus untuk kedua terdakwa tadi,—tentu terlepas dari kontroversi putusan hakim—betapa saktinya kalau kita senantiasa berlaku jujur. Sebab sudah menjadi terdakwa saja bisa lolos dari jeratan hukum. Mungkin saja bisa karena sikap jujur tadi. Coba kalau nggak mau jujur, mungkin saja bisa lain cerita.
Selain bab jujur-mujur, dari bebasnya dua maling tadi, kita bisa sedikit paham mengenai “pendidikan” anti korupsi di negeri yang Berketuhanan Yang Maha Esa ini. Selama KTP-mu tetulis selain pegawai negeri atau pejabat negara, bisa dipastikan kamu bakal aman jikalau kamu bermain dengan lingkaran korupsi. Kira-kira begitu.
Ayo kita lanjutkan geleng-geleng kepala lagi! Asooyyyy……
komentarnya gan