KOTOMONO.CO – Rumah di Pekalongan kok mbok suruh aesthetic. Aesthetic mbahmu!!!
Menilik fungsi utama rumah sebagai tempat berlindung dan beristirahat, setiap keluarga pasti berusaha sesuai kemampuan menjadikan rumahnya selalu aman untuk ditempati. Tak hanya memperhatikan fungi utama dari rumah saja, beberapa orang berusaha membuat rumah senyaman mungkin dengan tata ruang sesuai seleranya masing-masing. Seenggaknya rumahnya dibuat nyaman dulu ya, walaupun entah suasana rumahnya bagaimana, wiuwiu.
Dengan tujuan masing-masing, seseorang pasti menginginkan memiliki rumah yang aman, nyaman, dan indah. Karena selain membuat efek positif bagi si pemilik rumah, katanya rumah adalah cerminan penghuninya. Bagaimana ia menjaga dan merawat rumah bisa menjadi indikator cerminan tentang sifat penghuninya.
Tapi jika melihat sebagian dari masyarakat Kota Pekalongan pada beberapa tahun belakangan ini, banyak yang ora kober (tidak sempat) berlomba-lomba menyulap rumahnya menjadi rumah yang aesthetic. Sebagian masyarakat tersebut adalah masyarakat Pekalongan bagian pesisir, bagian yang kerap ditamui banjir tiap musim penghujan tiba. Saking seringnya terendam bajir, lama-lama masyarakat ini bisa menjadi sakti mandraguna, karena keseringan topo kungkom.
Peninggian Rumah vs Peninggian Jalan
Melihat awal Januari kemarin, ketinggian banjir di desa Tirto kecamatan Pekalongan barat mencapai pusar orang dewasa, kalau sudah demikian surutnya bisa dipastikan sampai 2-3 minggu, bahkan ada yang sampai berbulan-bulan. Semakin dangkalnya dasar sungai menjadikan masyarakat tidak bisa menyalahkan air, yang bisa jadi juga kebingungan mau lari ke mana. Sebab sungai yang menjadi tempat dan jalurnya sudah terisi penuh.
Berdasar yang saya alami saja, ketika dulu masih SD sekitar tahun 2010-an saat air sungai penuh saya masih bisa berenang dan kaki saya masih jauh jika ingin menapak ke dasar sungai. Tapi sekarang saat air sungai penuh pun, saya pernah mencoba mengukur kedalamannya hanya berkisar 10-30an cm, boro-boro mau berenang, baru menapakkan kaki ke dasar sungai saja kaki kita akan langsung terserap lumpur di dasar sungai tersebut atau bahasa pekalongannya, ngendot. Dan itu sangat bau.
BACA JUGA: Kiat Sukses Mengatasi Masalah Banjir Versi Orang Goblok
Seakan tanpa harus ada pemberitahuan dari BMKG terlebih dahulu, masyarakat Pekalongan yang terdampak banjir sudah bisa memprediksi dan bersiap-siap jika musim penghujan tiba, salah satu list tamu yang akan datang ke rumah ya air banjir itu.
Beberapa solusi yang ditawarkan pemerintah untuk menanggulangi datangnya banjir atau yang lebih tepatnya memindahkan banjir salah satunya dengan meninggikan jalan. Kenapa saya sebut memindahkan banjir?
Ya karena setelah jalan di satu daerah ditinggikan, banjir yang sebelumnya akan datang ke daerah tersebut berbondong-bondong pindah ke daerah sebelahnya yang kalah tinggi jalannya. Begitu terus berulang-ulang. Seperti itu saja terus sampai Pekalongan bisa setara dataran tinggi. Dilema sekali bukan?
BACA JUGA: Nguri-Uri Budaya Banjir, Berdamai di Tengah Bencana yang Tak Teratasi
Menganggap tidak bisa sepenuhnya mengandalkan solusi dari pemerintah, masyarakat secara mandiri berusaha meninggikan rumahnya masing-masing, atau setidaknya ada sebagian ruangan yang ditinggikan untuk dibuat tempat menyelamatkan barang-barang penting. Selebihnya bisa untuk tidur atau sekadar tingkring saat banjir datang. Kalau tak ada tempat untuk tidur ya terpaksa harus ngungsi.
Peninggian rumah mau tak mau harus bisa bersaing dengan peninggian jalan, karena jika tinggi rumah tidak bisa mengimbangi ketinggian jalan akan membuat banjir semakin tinggi di dalam rumah, dan air menjadi mbuwel atau terkurung di sana seperti kentut dalam sarung.
Saking seringnya ditinggikan, tak jarang ditemui rumah-rumah yang saat kita berdiri di dalamnya, kepala kita bisa bersentuhan langsung dengan langit-langit. Jika di langit-langit rumah terdapat kipas angin atau AC mungkin penghuni rumah akan gampang masuk angin, karena kipas dan penghuninya memiliki kedekatan yang super dekat.
Guyonan masyarakat juga sering mengatakan kalau rumah-rumah di Pekalongan sekarang ini sangat mempresentasikan nilai adab dan unggah-ungguh orang Jawa, sampai mau masuk rumah saja harus menundukkan badan.
BACA JUGA: Banjir Pekalongan Tak Pernah Tuntas Kalau yang Diajak Ngobrol Cuma Elite
Ora Kober (Tidak Sempat) Aesthetic-aesthetican
Seiring dengan berkembangnya dunia interior rumah, seseorang banyak yang berlomba-lomba memperindah rumahnya masing-masing. Dari pemilihan warna cat, penataan ruang, sampai memasukkan tumbuh-tumbuhan juga diperhatikan demi kenyamanan rumah saat ditempati.
Bagi masyarakat Pekalongan yang terdampak banjir hal tersebut menjadi sunnah atau mungkin sunnah yang mustahil. Nyaman bagi kami adalah ketika rumah bisa menjadi tempat tidur yang aman dari banjir beserta apa saja yang dibawanya. Karena selain air dan sampah, hewan seperti ikan sampai ular pun kerap ditemui sedang asyik berenang masuk ke dalam rumah. Bayangkan betapa aesthetic-nya rumah kami saat banjir, tak hanya tumbuhan, sampai hewan-hewan air pun bisa berenang bebas di dalamnya.
BACA JUGA: Yang Paling Mudah Disalahkan Orang Saat Banjir Melanda
Masyarakat tak sempat berlomba-lomba mengejar aesthetic, untuk biaya meninggikan rumah saja sudah mengeluarkan biaya yang cukup banyak, apalagi jika ditambah dengan membeli hiasan-hiasan mahal. Wah, ya bisa-bisa hiasan tersebut ikut kena banjir dan malah memakan tempat yang sudah ditinggikan to, ya.
Makanya bagi masyarakat Pekalongan yang terdampak banjir, bisa menyelamatkan barang-barang penting dan tidur di rumah saat banjir bertamu saja sudah bersyukur. Yap, pastinya diiringi harapan akan terselesaikannya masalah banjir ini.
Sumber gambar: TV One News
komentarnya gan