KOTOMONO.CO – Sebagian besar, orang bepergian untuk menikmati pemandangan alam. Menghirup udara segar yang tak ia peroleh di tengah himpitan kota, menciumi aroma daun yang basah di tengah hutan, atau sekadar duduk mengistirahatkan tubuh mereka dan membiarkan alam memanjakannya. Anda, apakah termasuk yang begini?
Tetapi, pernahkah Anda berpikir tentang piknik yang Anda jalani adalah cara Anda mempelajari bahasa? Ya, di dunia ini banyak sekali bahasa. Bahkan, dalam ragam dialek, bahasa Jawa saja sudah teramat banyaknya. Semuanya unik. Dengan cara ini, Anda sebenarnya punya kesempatan besar untuk bisa menguasai bahasa dengan lebih baik daripada mempelajarinya dengan duduk di dalam kelas tanpa melakukan apa-apa, kecuali mendengarkan dosen bicara.
Sementara, sebagian lain, ada juga yang memilih bertamasya untuk bertemu orang-orang. Ya, sekadar menemui mereka. Tetapi, dengan cara ini sebenarnya seseorang dapat mengetahui cara berpikir orang-orang yang mereka temui.
Lalu, di antara ketiganya, mana yang menarik bagi Anda? Yang pertama, kedua, atau ketiga? Atau tidak semuanya? Ah, sepertinya sih mustahil kalau tidak semuanya. Ya kan?
BACA JUGA: 14 Hal yang Bikin Kamu Pingin ke Telaga Sigebyar Mangunan
Saya, tertarik bepergian untuk menemui orang-orang. Dengan begitu, saya punya kesempatan untuk menambah teman dan memperluas jejaring pertemanan. Saya juga menjadi banyak belajar tentang hal-hal yang semula tidak saya ketahui. Terutama, tentang cara pandang mereka yang sejatinya sangat mempengaruhi cara hidup mereka.
Memang, di era media sosial ini sesungguhnya tak terlalu sulit untuk mengerti cara pikir seseorang. Setiap orang yang memiliki akun media sosial atau blog biasanya akan dengan senang hati menuliskan pikiran mereka. Tetapi, bagi saya, membaca pemikiran seseorang dari media sosial sebenarnya kurang menantang dan kurang menarik. Sebab, kata-kata yang ditulisnya sangat mungkin tidak natural. Sangat mungkin untuk direkayasa, diedit berkali-kali sebelum akhirnya diunggah.
Dan, rasanya di media sosial sangat jarang saya temukan pertanyaan-pertanyaan yang menarik yang mendorong saya ingin terlibat dalam diskusi. Di media sosial, orang-orang cenderung membuat pernyataan. Malah, kadang saya temui pernyataan-pernyataan yang sifatnya lebih mengarah pada keluhan.
Itulah mengapa saya lebih suka bertemu dan bertatap muka langsung dengan orang-orang. Lebih-lebih ketika saya berkesempatan mengunjungi desa-desa yang berada di lereng-lereng gunung atau daerah perbukitan. Syukur jika akses lalu lintasnya masih agak sulit dicapai. Dan lebih bersyukur lagi kalau di desa itu tidak ada sinyal hape.
BACA JUGA: 37 Tempat Wisata Hits dan Populer di Kebumen ini Wajib Kamu Kunjungi
Situasi itu, sangat menguntungkan. Saya tidak harus diganggu oleh deringan hape, tanda kiriman pesan Whatsapp masuk dan menutut dibalas. Atau tanda telepon masuk agar segera saya jawab. Fungsi hape di saat seperti itu saya gunakan untuk membuat catatan-catatan, atau sekadar dijadikan kamera untuk memotret apa saja yang menurut saya menarik. Selebihnya, saya akan punya waktu lebih lama untuk ngobrol.
Seperti yang saya alami beberapa kali ketika saya singgah di Desa Gondang, Kecamatan Blado, Batang. Setiba di sana, sinyal hape saya langsung drop. Lenyap. Lalu, saya pun manfaatkan situasi itu sebagai ajang untuk mengobrol. Apa saja diobrolkan.
Biasanya, saya akan dipersilakan tuan-tuan rumah untuk sebentar mampir ke rumah mereka. Setelah saya masuk ke salah satu rumah warga, selalu saja ada orang-orang desa yang satu per satu berdatangan. Mereka ikut bergabung dalam obrolan itu.
Dengan antusias beberapa orang di antara warga desa bercerita tentang apa saja yang pernah terjadi di desanya. Satu per satu lembar-lembar peristiwa yang pernah terjadi di desa itu dibuka. Ketika seseorang bercerita yang lain ikut menyimak, kemudian ikut melengkapi cerita-cerita itu. Saling bergantian mereka mengungkapkan apa yang menjadi istimewa dari desa mereka.
Tentu, dalam situasi seperti itu saya lebih banyak diam dan mendengarkan. Ketika mereka tertawa karena ada kisah yang mereka anggap lucu, saya pun ikut tertawa. Ketika dikisahkan sesuatu yang menyeramkan, semua terdiam memperhatikan. Termasuk saya.
Sahut menyahut mereka bercerita. Dalam berbagai sudut pandang mereka. Tetapi, perbedaan sudut pandang atas peristiwa yang menimpa mereka, entah itu di masa lalu atau baru kemarin sore, tidak membuat mereka merasa paling benar. Tidak. Semua kisahan itu justru saling melengkapi.
BACA JUGA: 11 Oleh-oleh Khas Pekalongan yang Bisa Kamu Bawa Pulang
Dari situlah, pada gilirannya, saya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Entah itu dongeng, mitos, dan segala sesuatu yang mereka yakini. Kisahan-kisahan itu tentu memperkaya pengetahuan saya tentang apa saja yang tidak saya terima dari kehidupan kota.
Kekayaan pengetahuan inilah yang bagi saya penting. Dari kisah-kisah itu saya akhirnya memiliki bahan untuk diulas dan ditulis. Saya juga mendapatkan pengertian-pengertian baru tentang segala hal yang tidak dipunyai oleh kehidupan kampung saya yang ada di kawasan Kota Pekalongan.
Kisah-kisah bagi saya adalah kekayaan yang sangat tinggi nilainya. Di dalamnya terkandung banyak pengetahuan. Jika diurai lagi dan dikaji secara mendalam, pengetahuan itu bisa saja menjadi sebuah ilmu. Bahkan, mungkin sekali untuk dijadikan teori.
Dan benar saja, kisah-kisah warga desa yang disuguhkan kepada saya sejatinya memuat prinsip-prinsip dasar kehidupan. Kisah-kisah mereka, andai di eranya Plato atau Aristoteles, mungkin saja dapat menggantikan buku Republik karya Plato. Banyak kearifan-kearifan di dalam cerita itu. Boleh dibilang, cerita-cerita mereka itu sarat muatan kebijaksanaan. Bahwa manusia pada hakikatnya adalah salah satu dari bagian-bagian kecil alam raya. Maka, hidup manusia mestinya mampu mengakrabi alam semesta, bukan menguasai atas dasar eksploitasi potensi-potensi desa.
BACA JUGA: 42 Tempat Wisata Hits Tegal Terbaru yang Asyik Buat Liburan
Saya kira, kisah-kisah ini mahal harganya. Karena itu, tidak saya tulis di sini. Mengapa? Karena saya membayangkan, jika suatu kelak akan muncul jenis wisata baru; wisata cerita. Orang pergi ke desa-desa nun jauh dari kota untuk mendengarkan kisah-kisah warga desa. Bisa juga kisah-kisah itu menjadi penyembuh bagi kepenatan pikiran. Sebab, dengan mendengarkan kisah-kisah mereka, saya pun merasa betapa keindahan hidup ini lebih indah dari apa yang dibayangkan dan diinginkan. Kisah-kisah warga desa bisa menjadi semacam terapi untuk melonggarkan pikiran yang terlalu sempit dalam memandang kehidupan. Saya merasakan itu dan benar-benar menjadi bagian dari kehidupan warga desa saat mendengarkan kisah-kisah itu. Maka, perlu kiranya cerita-cerita desa itu dilestarikan. Bukan sekadar jadi dokumen yang tak tersentuh, tetapi juga menjadi pembiasaan yang turun-temurun.
Dengan kisah-kisah itu pula, orang datang ke desa bukan untuk sekadar menikmati suasana desa tetapi berjarak dengan kehidupan warganya. Akan tetapi, setiap orang punya kesempatan yang sama agar benar-benar merasakan kehidupan di desa.
Baca Tulisan-tulisan Menarik Ribut Achwandi Lainnya