KOTOMONO.CO – Saat Hari Kartini tiba, tepatnya pada tanggal 21 April, saya sering melihat anak-anak TK hingga SMA di kampung saya mengenakan kebaya saat kegiatan belajar mengajar tengah berlangsung. Hal ini dilakukan guna memperingati Hari Kartini yang setiap tahunnya dirayakan oleh anak-anak sekolah.
Saat itu, anak-anak perempuan tampak antusias ketika mengenakan pakaian tradisional khas Jawa Tengah tersebut. Saking antusiasnya, anak-anak dan para orang tuanya sudah memesan kebaya jauh-jauh hari. Hal yang baik sebenarnya ketika pihak sekolah menyuruh muridnya mengenakan kebaya saat Hari Kartini. Maklum, budaya tradisional Indonesia perlahan mulai dilupakan.
Namun, yang sangat disayangkan adalah Hari Kartini hanya sekadar dirayakan dengan mengenakan pakaian kebaya tanpa adanya diskusi emansipasi perempuan yang menjadi value seorang Raden Ajeng Kartini tersebut.
Padahal, poin penting yang ada di dalam diri R. A. Kartini adalah emansipasi perempuan, bukan hanya sekadar memakai kebaya. Memang, tidak salah sebenarnya ketika banyak sekolah yang menyuruh para muridnya menggunakan kebaya. Toh memang dalam kesehariannya R. A. Kartini selalu mengenakan kebaya.
BACA JUGA: Perempuan itu Nggak Lemah, ini Buktinya!
Namun, jika hanya sekadar memakai kebaya tanpa adanya diskusi dari value beliau hal tersebut dapat melenyapkan poin utama dari R. A. Kartini. PR yang seharusnya segera dituntaskan dari pihak pemerintah agar perayaan Hari Kartini bukan hanya sekadar parade busana saja.
Lantas, bagaimana seharusnya kita merayakan Hari Kartini? Diskusi mengenai ketidaksetaraan gender yang banyak merugikan perempuan adalah pilihan yang baik untuk merayakan Hari Kartini. Salah satu topik yang cocok untuk dibicarakan adalah banyak perempuan yang merasa terkekang ketika menjalin kasih bersama pasangannya.
Jika hal ini sering dibicarakan saat perayaan Hari Kartini sehingga dapat berlanjut menjadi topik pembicaraan dalam sehari-hari, kemungkinan besar kekerasan dalam relasi pacaran atau rumah tangga dapat ditekan.
Pola pikir perempuan yang biasanya dituntut nurut dengan pasangan dapat diubah menjadi pola pikir kesalingan antar pasangan. Saling mengasuh anak, saling mengurus tugas domestik, hingga saling bertanggung jawab atas finansial rumah tangga adalah prinsip yang lebih baik ketimbang hanya sekadar nurut dengan suami.

Tak hanya itu, kekerasan seksual yang kerap menimpa perempuan juga bisa menjadi pilihan yang apik untuk didiskusikan bersama. Semakin sering dibicarakannya ketimpangan gender yang sering menindas perempuan, semakin baik untuk mewujudkan mimpi kesetaraan gender di semua bidang.
BACA JUGA: Perempuan Maskulin dan Laki-laki Feminin Itu Tidak Salah
Selain diskusi mengenai ketidakadilan gender yang selalu tampak di sekitar kita, diskusi film yang mempresentasikan kekuatan perempuan adalah salah satu pilihan bijak untuk merayakan Hari Kartini. Hal ini bagus dilakukan agar para murid dapat mengubah pola pikir mengenai perempuan yang biasanya dicap sebagai makhluk lemah.
Film Mulan baik yang live action maupun yang kartun sangat cocok untuk ditonton bersama-sama di sekolah. Di dalam film tersebut, Mulan digambarkan menjadi perempuan tangguh yang dapat menumpas seluruh lawannya di medan perang.
Sebelum berhasil mengalahkan musuhnya, sejak kecil Mulan dicap sebagai perempuan nakal. Ia tak bisa menjadi sosok pendiam seperti saudara perempuannya. Mengejar ayam, nangkring di atap rumah, hingga belajar bela diri dan memanah adalah hobi Mulan yang saat itu biasanya hanya dilakukan oleh laki-laki.
Walaupun mendapat cibiran dari para tetangganya dan tidak didukung oleh keluarganya karena dianggap melawan kodrat, Mulan tetap melakukan hobinya. Para tetangga dan keluarganya mulai mendukung saat Mulan berhasil menumbangkan musuhnya di medan perang.
BACA JUGA: Surat Terbuka untuk Perempuan yang Selalu Dituntut ‘Manut’ dengan Pasangannya
Film Mulan juga sangat pas untuk mengenalkan sosok perempuan tangguh kepada anak-anak agar mereka tak lagi berpikir bahwa perempuan haruslah lembut dan pendiam agar hanya dapat dipinang oleh laki-laki.
Jika diskusi ini menjadi pilihan untuk merayakan Hari Kartini di kalangan anak-anak, para guru bisa menyampaikan gagasannya dengan asyik tanpa menggurui. Apalagi didukung dengan sebuah film yang gambarnya sangat diminati oleh anak-anak. Sosok Mulan adalah representasi nilai dari sosok Kartini yang memperjuangkan kesetaraan gender.
Tak hanya Mulan yang menjadi pilihan kala merayakan Hari Kartini di kalangan anak-anak. Ada Merida, dalam film Brave yang juga sama hebatnya dalam melawan kawin paksa yang dilakukan oleh keluarganya. Hal ini juga selaras dengan pengalaman Kartini yang dipaksa menikah oleh seorang Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat walaupun pada akhirnya beliau menikah dengan bupati tersebut.
Jadi, daripada hanya menggelar parade kebaya, lebih baik sekolah mengadakan diskusi kesetaraan gender agar para perempuan bisa dipandang dari value yang mereka punya, seperti prestasi dan akhlaknya, bukan hanya dipandang dari segi keperawanan, tidak kunjung menikah dan hanya dituntut untuk mengerjakan tugas domestik.
*Tulisan ini adalah tulisan khusus bertema Dunia Perempuan yang akan rutin diisi Azizah. Tayang setiap seminggu sekali. Jadi jangan sampai kamu terlewat ya!