
Karnaval sedang ngetren di Pekalongan. Nggak di kota, nggak di kabupaten, sama saja. Momentum apa saja hampir selalu diramaikan karnaval. Mau itu sunatan massal, nikah massal, Tahun Baru Hijriah, Maulid Nabi, Takbiran, Pameran Batik, atau apa pun itu.
Konsekuensinya, sejumlah lajur jalan rute arak-arakan kena macet, cet! Motor roda dua berjubel. Apalagi mobil roda empat. Susah gerak dan benar-benar melatih kesabaran pengguna jalan. Namanya juga karnaval.
Yang ikut tak hanya ratusan. Bisa sampai ribuan orang. Mereka nggak sekadar membawa badan. Ada yang membawa ornamen, mengenakan kostum, ada juga rombongan pemusik, dan—yang terkini nih—membawa perlengkapan audio dan lampu warna-warni. Tujuannya, supaya suasana jadi meriah dan menarik perhatian.
Tetapi, kalau mau dirunut sejarahnya, kapan sih kebiasaan karnaval di Pekalongan dimulai? Sejauh ini belum ada artikel yang mengulik soal itu. Tetapi, siapa tahu Om Dirham—pegiat literasi sejarah Komunitas Pekalongan Heritage—punya catatannya.
Soalnya, pernah saya dengar tayangan sejarah Pekalongan seputar masa Kemerdekaan Indonesia di Radio Kota Batik. Disebutkan sang narator, pada tanggal 29 September 1945 pernah digelar pawai besar. Panjangnya barisan sampai 3 kilometer. Pawai itu merupakan aksi menyambut gembira kabar kemerdekaan Indonesia, sekaligus unjuk kekuatan kepada tentara Jepang yang masih menduduki Kota Pekalongan.
Peristiwa itu sempat diperingati Kota Pekalongan dengan menggelar Pawai Pembangunan, pada era 80-90an. Sayang, pawai ini tidak lagi diselenggarakan sejak periode awal 2000an. Pastinya ada berbagai alasan yang melatarinya.
Meski begitu, pawai-pawai di kelurahan atau di desa masih kerap diselenggarakan. Bahkan, menjadi agenda rutin tahunan. Seperti yang terjadi di Kelurahan Simbang Kulon, Kecamatan Buaran, Kabupaten Pekalongan.
Tiap tahun, warga Simbang Kulon menyelenggarakan karnaval. Biasanya, karnaval ini menjadi bagian dari rangkaian kegiatan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Mula-mula pelaksanaan karnaval dilakukan untuk mengiringi anak-anak yang ikut sunatan massal. Boleh dikata, karnaval ini sebagai sarana hiburan bagi anak-anak yang mau disunat. Minimal, untuk mengalihkan perhatian mereka dari bayangan-bayangan horor tentang sunat.
Dalam perkembangannya, pelaksanaan karnaval tak sekadar mengiringi para peserta sunatan massal. Akan tetapi, juga telah menjadi ajang unjuk kreativitas warga. Tak heran, jika karnaval di Simbang Kulon menjadi agenda yang dinanti-nanti. Tak hanya akamsi, melainkan pula warga dari seluruh penjuru Pekalongan dan sekitarnya.
Malahan, kemeriahan karnaval tak jarang pula muncul di berbagai platform media sosial lewat unggahan video pendek warga dunia maya. Beragam tanggapan pun muncul atas unggahan video pendek itu. Ada yang memberi tanggapan positif, ada pula yang agak kurang berkenan. Terutama, menyoroti kemeriahan karnaval yang menurut sebagian netizen dianggap “berlebihan”.
Menyikapi tanggapan negatif tersebut, agaknya memang diperlukan sikap bijak. Bisa jadi, tanggapan itu merupakan sebuah peringatan yang lahir dari kekhawatiran atas penyelenggaraan karnaval. Diakui atau tidak, budaya masyarakat urban memiliki kecenderungan pada budaya populer. Ciri-cirinya, apa pun yang ditampilkan cenderung bersifat artifisial dibandingkan yang esensial.
Apabila semangat budaya populer ini yang lebih mengemuka, bukan tidak mungkin makna tradisi karnaval Maulid di Kelurahan Simbang Kulon akan bergeser. Tujuan karnaval yang didasari nilai-nilai yang kalis rawan diganggu oleh nilai-nilai yang profan. Terlebih-lebih, dengan makin derasnya animo masyarakat untuk ambil bagian dalam tradisi ini.
Makanya, penting rasanya untuk kembali membangkitkan kesadaran akan makna di balik tradisi karnaval Maulid di Simbang Kulon. Hanya, semua pihak mesti mau bersikap terbuka dan bijaksana. Sehingga, semua pihak memiliki kesempatan yang setimbang di dalam menyampaikan pendapat.
Sebagai pertimbangan, tulisan ini hendak meminjam gagasan Clifford Geertz mengenai kebudayaan dan agama. Baginya, keduanya memiliki hubungan timbal balik. Riady (2021) menyebutkan, agama tanpa kebudayaan sulit diimplementasikan. Sementara, kebudayaan juga akan sulit menemukan maknanya yang mendalam manakala jauh dari agama.
Melalui hubungan timbal balik ini, Geertz (1999) kemudian memotret perilaku masyarakat melalui kebudayaan. Menurutnya, kebudayaan merupakan simbol yang mengekspresikan kehidupan sehari-hari masyarakat. Termasuk, mengekspresikan keyakinan mereka. Dengan kata lain, kebudayaan dapat dipandang sebagai ilustrasi kehidupan sehari-hari masyarakat.
Didasari pemikiran tersebut, tradisi karnaval di Simbang Kulon dapat didudukkan bukan semata-mata sarana hiburan. Akan tetapi, dapat dibaca sebagai media ungkap mengenai cara hidup dan cara pandang masyarakat Simbang Kulon. Melalui gelaran tersebut, kita akan mendapatkan gambaran tentang cara berpikir dan cara hidup masyarakat Simbang Kulon.
Seperti yang telah disinggung di bagian awal, karnaval di Simbang Kulon sebenarnya bukan menu utama. Kegiatan ini hanya bagian dari peringatan Maulid Nabi Muhammad. Akan tetapi, kehadiran karnaval justru menyedot begitu besar animo masyarakat. Kesan yang muncul kemudian, tradisi karnaval ini seakan-akan memuncaki kegiatan peringatan Maulid Nabi di Kelurahan Simbang Kulon.
Padahal, tradisi karnaval ini tak lebih sebagai sarana untuk menghimpun masyarakat Kelurahan Simbang Kulon. Tujuannya, agar memiliki kepedulian dan berkontribusi bagi kegiatan peringatan Maulid Nabi. Semangat yang diusung adalah semangat paseduluran.
Melalui semangat itu, kegiatan tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk terus meningkatkan kualitas relasi sosial di antara warga Simbang Kulon. Dengan begitu, masyarakat yang terlibat dalam kegiatan tersebut akan semakin memiliki rasa empati, solidaritas, dan terus menjaga kerukunan. Akan tetapi, tujuan-tujuan tersebut barulah sebuah pintu untuk memasuki ruang budaya yang lebih esensial. Yaitu, membangun kesadaran spiritualitas secara bersama-sama.
Bisa dibilang, karnaval sunatan massal di Simbang Kulon sebenarnya memiliki peran strategis dalam menyikapi modernisasi. Bahkan, bila perlu memberi warna bagi kehidupan modern yang serba tumpang tindih seperti saat ini. Dengan cara itu, generasi muda juga dapat ikut merasa memiliki tradisi karnaval. Bahkan, dapat pula diarahkan agar turut menjaga makna penting tradisi tersebut. Sehingga, ketegangan budaya yang dihasilkan dari tarikan-tarikan arus pemikiran yang beragam dapat disikapi secara bijaksana. Dinamika kebudayaan pun dapat dijalankan dengan cara yang elegan.
Kendati begitu, keterlibatan banyak pihak—seperti pemerintah daerah dan tokoh masyarakat Simbang Kulon—masih sangat dibutuhkan. Terutama untuk menjaga relevansi dan makna religius kegiatan tersebut. Upaya integrasi pendidikan agama dan budaya ke dalam bagian festival menjadi perlu dilakukan. Misalnya, dengan menampilkan kisah keteladanan Nabi Muhammad SAW dalam bentuk seni tradisional maupun modern. Selain itu, kebijakan untuk mencatat dan mempromosikan tradisi-tradisi ini di tingkat nasional perlu diperkuat agar generasi muda lebih memahami pentingnya mempertahankan tradisi lokal yang bermakna.