Jejak teater modern rupanya pernah ada di Kota Pekalongan. Anda boleh percaya boleh tidak, sebab kini jejak itu agaknya cukup jadi cerita lalu. Bahkan, sudah tak terdengar lagi. Tak ada kesempatan terbuka untuk menceritakan ulang kisah-kisah lalu itu dari generasi ke generasi. Entah, apa penyebabnya, saya tidak tahu.
Yang jelas, sebagian besar anak-anak teater Kota Pekalongan, khususnya mereka yang tergabung dalam teater-teater kampus, tak cukup pengetahuan mengenai perkembangan teater di kota yang mereka huni selama ini. Ironi memang. Apalagi teater kampus mestinya menyajikan sebuah ruang dialog yang lebih hidup dengan kajian-kajian yang menggugah selera. Didukung dengan perangkat keilmuan yang saya kira jauh lebih lengkap. Sayang, dunia perkampusan di kota ini agaknya lebih sibuk menambal wajah agar tampak lebih cantik daripada mengisi ruang-ruang kosong yang selama ini keropos.
Tetapi, untuk apa saya bicarakan soal-soal itu. Percuma saja. Saya kan sedang ingin mengungkap sebuah fakta kecil tentang sosok yang pernah mengisi panggung-panggung teater modern di Kota Pekalongan. Sebuah ingatan kecil yang hampir terhapus tanpa sisa. Siapa dia?
Lelaki bermata sipit dengan kulit kuning terang dan rambut lurus ini lahir di Kotaraja, Aceh, 12 November 1911 silam. Ia dikenal sebagai seorang seniman. Tepatnya, seorang aktor panggung teater.
Awal menekuni profesi sebagai aktor dimulai dari niatnya bergabung di kelompok Opera Melayu Dardanella. Sebuah kelompok kesenian drama yang didirikan Willy Klimanoff, di Sidoarjo, Jawa Timur. Kelompok ini didirikan pada 21 Juni 1926. Dari kelompok inilah lelaki Tionghoa ini berkeliling dari satu kota ke kota lain, lintas pulau di Indonesia, hingga menyeberangi samudra mengarungi empat benua (Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika). Tentu, bukan untuk piknik, melainkan untuk gelaran pentas teater.
Menariknya, pentas keliling lintas negara itu dilakukan jauh sebelum negara yang bernama Republik Indonesia terlahir. Artinya, negeri ini masih berada digenggaman pemerintah Kolonial Belanda. Lalu, bagaimana itu bisa terjadi? Salah satunya, karena grup ini menjadi representasi kesenian ala Barat.
Sebagai representasi kesenian Barat, Dardanella pada akhirnya mampu merebut hati para penikmat panggung teater. Bahkan, disambut baik orang-orang Eropa yang tinggal di Indonesia kala itu. Tak ayal pula, jika setiap pertunjukannya selalu ramai penonton. Bahkan, ada pula semacam ulasan mengenai pementasan mereka yang diterbitkan melalui majalah maupun koran berbahasa Belanda. Kontan, hal itu membuat publik di empat benua itu tertarik dan penasaran, ingin menyaksikan pementasan mereka.
Seperti kita tahu, di era itu benua-benua di luar Eropa kebanyakan dicengkeram oleh tuan-tuan tanah Eropa. Tidak terkecuali, tanah Nusantara ini! Jadi, sangat mungkin tur lintas benua itu dilakukan dengan dukungan dari penguasa-penguasa Eropa yang bercokol di negeri-negeri Asia dan Afrika.
Tapi jangan salah. Agar dapat mencapai level itu, usaha yang dilakuan Dardanella tak main-main. Mereka mesti mampu mengalahkan dua kelompok kesenian seniornya, yaitu Komidie Stambul dan grup Opera Miss Riboet Orion.
Dan benar, mereka berhasil. Sampai-sampai saat Dardanella tampil di India, seorang pemikir cum sastrawan kesohor India, Rabindranath Tagore, dibuat terpukau. Demikian pula kesan yang ditangkap Mahatma Gandhi dan Jawaharal Nehru yang juga ikut menyaksikan pementasan mereka.
Dari itu pula sosok pria Tionghoa kelahiran Aceh ini mendapatkan pengalaman yang begitu melimpah ruah sebagai seorang aktor. Terlebih, saat menjadi aktor andalan grup Opera Melayu Dardanella. Meski begitu, kariernya sebagai aktor Dardanella harus ia akhiri, setelah ia bergabung di kelompok sandiwara Opera Miss Riboet Orion, sebuah kelompok seni pertunjukan yang menjadi saingan Dardanella.
Tetapi, dari tiap panggung drama yang diperankannya, rupanya ada pelajaran berharga yang ia petik. Lewat panggung itu lelaki Tionghoa ini pada akhirnya terbuka matanya. Bahwa di hadapannya tengah berlaku sebuah panggung drama yang memilukan. Yaitu, praktik politik rasis yang dijalankan oleh pemerintah Kolonial Belanda.
Lewat politik rasis itu, penguasa Kolonial Belanda mendudukkan golongan Pribumi sebagai golongan paling rendah. Sementara, golongan Timur Asing (Arab, Tiongkok, dan warga Asia lain yang tinggal di bumi Nusantara), didudukkan lebih tinggi. Walau begitu, ruang gerak kelompok masyarakat kelas dua ini juga sangat terbatas. Lebih-lebih bagi orang-orang Tionghoa seperti dirinya.
Selain bisnis, mereka tidak diperbolehkan melakukan aktivitas. Ini yang memberatkannya. Sampai akhirnya, ia memilih untuk bergabung ke dalam kelompok Gerilyawan Republik pimpinan Letnan Ismail Lengah di Padang. Melalui kelompok ini pula, lelaki Tionghoa yang kemudian diketahui namanya Sho Bun Seng ini punya peran yang menantang dan teramat berbahaya.
Mula-mula Letnan Ismail Lengah mengetahui jika Sho adalah seorang aktor. Tentu, Letnan Ismail Lengah berpikir, Sho lebih tepat jika ditugasi sebagai mata-mata. Maka, segeralah Sho diutus untuk bergabung dengan Kesatuan Singa Pasar Oesang. Kesatuan ini dipimpin oleh Mayor Kemal Mustafa.
Mayor Kemal Mustafa memberinya perintah untuk memata-matai dan menginfiltrasi Pao An Tui, sebuah milisi Tionghoa yang pro-Belanda di Padang. Selain mencari informasi dan menemukan titik lemah kelompok milisi ini, Sho ditugasi pula untuk membuat kelompok tersebut membelot pada Belanda.
Agaknya, untuk memainkan peran itu Sho tak cukup kesulitan. Bakat keaktorannya dimanfaatkan. Mulanya ia menyusup ke dalam kelompok Pao An Tuin. Dan benar, ia sama sekali tak dicurigai. Malahan, diterima dengan sangat baik.
Lambat laun, Sho yang seorang aktor itu mulai memainkan perannya. Ia banyak menyisipkan gagasan-gagasannya tentang pentingnya melakukan aksi-aksi bersama. Pentingnya merasakan semangat persaudaraan. Sampai-sampai, ia pun berhasil mendirikan organisasi pemuda Tionghoa, Pemoeda Baroe namanya. Makin besar pula simpati para pengikut Pao An Tuin kepada Sho. Makin percaya pula mereka kepada Sho, hingga diangkat sebagai ketua Pao An Tuin.
Kesempatan itu tak disia-siakan. Sho segera membelokkan arah angin bertiup. Pao An Tuin secara tanpa sadar telah diarahkan pula kepada dukungan mereka terhadap Republik.
Sembari menyusun berbagai rencana, Sho cerdik pula mendekati Belanda. Tujuannya, menyelundupkan senjata untuk kemudian dikirim bagi para gerilyawan Republik. Sebuah aksi heroik yang penuh bahaya!
Namun, Sho cukup berhati-hati. Ia tidak ingin kedekatannya dengan Belanda justru akan dimanfaatkan untuk menyerang kelompok Gerilyawan Republik. Maka, saat ia mulai membaca gelagat Belanda yang ingin memanfaatkan Pao An Tuin sebagai underbow-nya, Sho buru-buru membubarkan organisasi itu. Tepatnya, pada bulan Januari 1947.
Sho lantas bergabung dengan organisasi sipil Tionghoa, Cu Hua Cung Hui. Melalui organisasi ini Sho berlagak sebagai seorang pebisnis tulen. Bahkan, lewat organisasi ini pula ia turut memainkan bisnis opium yang waktu itu sempat dilarang keras oleh pemerintah Kolonial Belanda. Waktu itu, Belanda sangat terancam dengan merebaknya bisnis opium. Apalagi sebagian pemainnya adalah orang-orang yang pro kelompok Gerilyawan Republik. Termasuk Sho.
Bisnis opium saat itu cukup mampu membantu penyediaan senjata bagi kelompok Republik. Wajar, jika Belanda saat itu sangat khawatir. Lebih-lebih, keuntungan yang didapat dari bisnis opium saat itu cukup besar.
Namun kepiawaian Sho Bun Seng tidak diragukan. Ia berhasil memainkan peran mata-mata itu, hingga mampu menyuplai persediaan senjata bagi kelompok Gerilyawan Republik. Walhasil, cita-cita untuk merebut kedaulatan dari cengkeraman Belanda berhasil diwujudkan. Tepatnya, pada 27 Desember 1949.
Meski begitu, rupanya tugas mata-mata itu tak kunjung selesai pula. Pada masa mencuatnya aksi yang digencarkan DI/TII di Ciamis, Sho kembali terjun sebagai mata-mata. Tugas itu mulus dilaksanakan.
Usai menjalani perannya sebagai aktor di tubuh militer, Sho kembali ke dunia seni. Pada tahun 1958, Sho berniat mendirikan dan megembalikan kejayaan kelompok Opera Miss Riboet. Itu dilakukannya saat ia tinggal di Pekalongan.
Ia ingin menyalakan kembali cahaya yang redup. Ia ingin kembali merayakan semangat optimis dunia panggung. Sayang, langkah itu tak cukup membuahkan hasil yang memuaskan. Cita-citanya tak cukup mampu menjadi obor penerang bagi jagat teater modern kala itu. Lebih-lebih di Pekalongan.
Walau begitu, Sho Bun Seng bukanlah orang yang terlalu berhitung. Setidaknya, dalam masa pensiun, ia sama sekali tidak pernah mengambil dana pensiun. Sampai-sampai, dana itu menumpuk lama. Jumlahnya menjadi jutaan. Dan, saat ia terpaksa mengambilnya, yang diambil hanya beberapa ratus ribu.
Saat Sutan Badar bermaksud memberinya bintang jasa, Sho Bun Seng malah menolak. Katanya, “Yang penting membela kemerdekaan. Kalau sudah merdeka, untuk apa minta-minta tanda jasa.”
Walau begitu, Presiden pertama RI, Ir. Soekarno tak tinggal diam. Ia tetap memberinya tanda jasa. Bahkan, saat meninggal pada tahun 2000, Sho dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Itupun karena jenazah dijemput oleh pasukan kehormatan yang dikirim Garnisun setelah pihak Garnisun menerima laporan tentang sosok aktor yang mata-mata itu.
Begitulah, Sho. Lalu, bagaimana kita?