KOTOMONO.CO – Sepucuk surat perpisahan untuk Shin Tae-yong, pelatih Timnas Indonesia yang dicintai banyak orang.
Siang itu cuaca di tempat saya sedikit mendung. Mengisyaratkan sesuatu yang buruk akan terjadi. Siang itu, orang-orang di kantor harap-harap cemas. Menanti sebuah berita yang ditunggu dari semalam.
Di jam makan siang, seorang teman kantor gelagapan. Berita yang ditunggu datang.
“SHIN TAE-YONG DIPECAT PSSI”
Demikian kesimpulan konferensi pers di Jakarta. Marah, kecewa, patah hati. Itulah yang saya rasakan. Jauh di dalam pikiran, saya yakin Shin Tae-yong tidak akan melatih Timnas Indonesia lagi. Namun, saya tidak pernah berpikir ia akan dipecat hanya beberapa bulan setelah kontraknya diperpanjang.
Saya bukan maniak sepak bola. Tidak tergabung dalam kelompok suporter mana pun. Dulu, saya pernah dicibir saat main bola. Dari situ saya tidak terlalu suka main bola. Tapi tidak menghapus kecintaan saya pada Timnas Indonesia. Dan, kecintaan itu makin besar tatkala tahu ada anda di dalamnya.
Coach, anda mungkin bukan pelatih terbaik buat Timnas Indonesia. Tapi, bagi saya, anda adalah pelatih yang cocok buat Timnas Indonesia. Untuk itu, coach, izinkan saya menulis surat untukmu. Surat yang, mudah-mudah sampai kepadamu. Entah lewat jalur apa.
Tapi kalaupun tidak, surat perpisahan ini juga bisa dibaca oleh pelajar, mahasiswa, tukang becak, penjual es teh manis, pokoknya semua yang mencintai Timnas Indonesia dan menaruh percaya padamu.
***
Annyeonghaseyo, Coach Shin Tae-yong
Gimana kabarnya?
Sudah sampai Seoul, coach?
Semoga selamat sampai tujuan, ya.
Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terima kasih, coach. Terima kasih atas dedikasi anda selama ini. Waktu anda, tenaga anda, pikiran anda. Saya juga mau terima kasih karena telah memilih Indonesia sebagai tempat tinggal sebentar. Saya juga berterima kasih karena anda mau menerima tawaran melatih Timnas Indonesia, lima tahun lalu.
Mungkin di luaran sana banyak yang menginginkan anda, tapi anda memilih Indonesia dan berkenan hati menandatangani kontrak baru. Saya mengerti, setelah melatih Timnas Indonesia banyak sekali tawaran yang masuk. Mereka yang menginginkan anda pasti melihat bagaimana kesuksesan anda menyulap timnas busuk menjadi harum mewangi kurang dari lima tahun.
Untuk itu, saya sekali lagi berterima kasih.
Anda pernah bilang, “Impian saya adalah membawa Indonesia ke Piala Dunia.” Sungguh, walaupun saya cuma membaca dari media, tenaga kalimat yang anda lontarkan begitu terasa. Saya merasakan ada gairah, kesungguhan, dan sikap ksatria yang sulit dijelaskan dari kalimat itu.
Sebagai seorang profesional, anda tidak pernah main-main memilih kalimat. Coach, di dunia ini banyak sekali pelatih yang selalu memegang kata-katanya. Banyak sekali pelatih yang, kalau sudah bertekad, dia akan totalitas melakukan itu. Anda tahu, coach, saya percaya, anda termasuk di antara banyak pelatih itu.
Kalaupun kelak, anda gagal membawa Indonesia ke Piala Dunia, tidak masalah. Negara ini mungkin betul, tak pantas buat sampai ke sana.
Coach, melalui surat perpisahan ini, saya terima kasih karena anda datang ke sini dan sungguh-sungguh menjadi seorang pelatih. Melatih Timnas Indonesia tidak gampang, coach. Jago taktik dan punya nama besar saja, rasanya tidak cukup.
Timnas Indonesia ini mirip-mirip Manchester United, coach. Maaf, saya tidak bermaksud menyama-nyamakan. Tapi coach, masa saya harus menyamakan tim yang bahkan krisis identitas dan kekurangan trofi ini dengan Barcelona, kan nggak ya, coach?
Anda pasti lebih mengertilah soal itu. Yang ingin saya katakan, Timnas Indonesia butuh pelatih yang berkenan mencerabut budaya lama dan menggantinya dengan budaya baru. Sejauh ini hampir tidak pernah ada pelatih yang niat melakukan itu. Dari era ke era, pelatih timnas selalu ditarget juara.
Coach mungkin sudah pernah dengar kisah Luis Milla? Mantan pemain Barcelona itu pernah hampir sukses mencerabut akar budaya, menggantinya dengan akar yang lebih kokoh. Tapi… ah, coach tentu telah banyak mendengar ujung kisahnya.
Saya kira hal semacam itu akan berhenti di era Luis Milla, coach. Tapi nyatanya juga terjadi pada anda. Saya tidak tahu, coach, mengapa begini. Seluruh dunia, ah tidak, mungkin orang Indonesia sendiri kurang mengerti dan memahami apa yang anda bangun. Apa yang anda lakukan untuk menghancurkan budaya lama dan menggantinya dengan budaya baru.
Saya tidak merasakan langsung. Tapi sejumlah pemain toh memberi testimoni. Anda tentu sudah sering dengar ini sendiri, bukan?
Terakhir, coach, saya ingin meminta maaf. Maaf kadang agak sensi pada anda yang terlalu banyak menerima endorsement. Mungkin bukan anda yang butuh duit, produk-produk itu saja yang memaksa ingin memakai anda sebagai bintang iklan.
Maaf juga kalau terkadang, saya ikut tidak mempercayai taktik anda. Saya ini bukan siapa-siapa coach di dunia sepak bola. Tidak pernah melatih, kecuali di Football Manager. Jadi, maafkan saya ya coach, kalau kadang-kadang ikut mengkritik taktik anda. Ah, anda pasti akan memaafkannya, ya kan, coach?
Banyak orang di luar sana bilang, anda ini kepala batu. Dinasehati sulit. Bahkan coach, ada yang mengatakan beberapa pemain timnas tidak suka pada anda. Komunikasi anda jelek, kata mereka yang bilang begitu. Tapi saya tidak melihat itu sebagai masalah besar.
Kepala batu? Pelatih mana di dunia ini yang tidak kepala batu? Sependek yang saya tahu, orang-orang keras kepala senantiasa ada di pinggir lapangan. Zdenek Zeman, Marcelo Bielsa, Maurizio Sarri, atau Ange Postecoglou di generasi terbaru, semua kepala batu.
Pelatih berhak bersikap. Dia yang pegang kendali. Dia yang tahu kondisi di lapangan. Kita hanya bisa menyaksikannya dari layak kaca, dari spanduk yang dibalik, atau dari jarak sekian belas meter dari seorang pelatih berdiri.
Coach, saya kira sikap keras kepala anda masih wajar-wajar saja. Anda, setidaknya bukan Daniel Passarella yang mensyaratkan siapapun yang bergabung ke Argentina-nya harus berambut pendek. Passarella memang anti rambut panjang. Meski akhirnya melunak, tapi Fernando Redondo yang berambut panjang, terlanjur disingkirkan.
Saya rasa, ke-keras-kepala-an anda itu lebih pas disebut pendirian, atau bahasa mahasiswa sekarang idealisme. Namun coach, di dunia ini pendirian selalu dibenturkan pada berbagai kepentingan. Banyak pelatih akhirnya disingkirkan karena pendiriannya menabrak kepentingan klub. Contoh Antonio Conte saat di Spurs.
Tapi saya sulit memahami apa yang betul-betul terjadi pada kasus anda, coach. Anda, federasi, seluruh rakyat Indonesia punya satu kepentingan yang sama: Indonesia ke Piala Dunia. Namun anda malah dipersilakan keluar. Mungkin ada kepentingan lain di atas kepentingan itu yang membuat anda tidak bisa memenuhinya.
Hal ini biar dijawab federasi saja, coach. Anda cukup jalan-jalan saja di Jeju, menikmati pantai di Busan, kuliner malam di Pasar Myeongdong, atau ya sekadar kumpul keluarga di Yeongdeok.
Kalau suatu saat nanti ingin ke Indonesia, datanglah coach. Tidak perlu menjadi bagian dari federasi atau timnas. Cukup datang saja, Indonesia akan menyambut anda.
Itu saja coach. Semoga sukses di tempat baru. Oh iya, suatu hari nanti, andai kata mendapat tawaran lagi dari Timnas Indonesia, saya harap coach bisa belajar dari kejadian kemarin.
Kamsahamnida, Coach Shin Tae-yong