KOTOMONO.CO – Rasanya, pertanyaan itu mengada-ada. Kesannya malah seperti nggak nyambung ya? Apalagi perkembangan situasi pendidikan kita sekarang yang (maaf) orientasinya sudah bergeser jauh.
Dari yang semula membangun manusia yang utuh menjadi sekadar (maaf, terpaksa harus mengulang kata maaf lagi) jadi tenaga kerja. Ya, boleh dicek sendiri deh soal itu. Kalau sempat sih. Kalau nggak sempat ya nggak apa-apa. Tapi, sebelum jauh menyoroti persoalan itu, ada persoalan yang kira-kira perlu saya sodorkan kepada Anda. Di lingkungan pendidikan kita, sepertinya soal kejar-mengejar nilai ujian atau nilai ulangan pada setiap mata pelajaran menjadi perihal yang lebih diutamakan.
Halah, nggak usah geleng-geleng kepala gitu. Wong dulu saya sendiri juga begitu kok. Nggak tahu dengan Anda. Bahkan, sampai saat ini pun (kalau mau jujur sih), sebagai seorang pendidik saya juga kadang masih melakukannya. Dan akibatnya, nilai atau skor itu jadi tujuan yang musti dicapai, maka mencontek pun dianggap wajar (meski sebenarnya tidak sah).
Tidak cukup di situ. Urusan nilai atau skor juga berimbas pada predikat sekolah. Baru dikatakan sekolah unggulan dan berprestasi sekolah itu apabila nilainya, skor rata-ratanya tinggi. Juga apabila di etalase kaca yang ditaruh di ruang guru atau TU atau ruang Kepsek terpajang piala yang banyak. Sementara kualitas karakter yang ditunjukkan anak didik (maaf sekali lagi) seolah-olah tidak begitu dihiraukan. Lha padahal, kualitas karakter itu yang mestinya jadi buah proses pendidikan di sekolah. Selain itu, pendidikan yang mestinya demokratis dan mengembangkan sikap kritis, (maaf lagi) kok rasa-rasanya seperti terhalang-halangi oleh (maaf) beragam aturan main yang tidak perlu. Seperti larangan mengajukan pertanyaan yang dianggap nganeh-anehi alias dianggap pertanyaan yang macam-macam. Padahal, kadang seorang anak didik cuma punya satu pertanyaan.
Ah, saya lagi-lagi harus bilang maaf lagi. Faktanya, kondisi demikian itu memang benar terjadi. Tentu, tidak semua sekolah sih. Cuma beberapa gelintir. Nggak banyak kok. Meski begitu, sekalipun nggak banyak, keadaan semacam itu cukup memprihatinkan.
Lebih prihatin lagi, rupanya masih banyak hal nggak relevan buat kemajuan pendidikan. Dan itu masih berlangsung sampai saat ini. Contohnya, (maaf lagi ya) bagaimana dokumen administratif lebih dipercaya sebagai satu-satunya kriteria untuk menilai proses dan hasil pendidikan ketimbang observasi langsung, wawancara dengan guru, atau hal lain yang tidak melulu kuantitatif. Istilahnya, penilaian dari banyak sisi. Hal ini mungkin terjadi dalam proses supervisi atau akreditasi.
Baca juga : Sebaiknya Sejak Mahasiswa, Guru Diajari Cari-Cari Masalah
Ah, saya jadi ingat waktu jaman kuliah. Dosen saya pernah berujar bahwa bagaimana mungkin evaluasi pendidikan akan berhasil jika yang ditampilkan dalam dokumen administratif itu adalah kejadian yang tidak benar-benar nyata, termasuk supervisi sekolah. Kalau memang mau maju, demikian lanjutnya, pertama-tama ungkap dulu yang betul-betul terjadi. Dari sini nantinya akan dicari solusi bersama-sama.
Sayangnya, ini jarang terjadi. Boleh jadi, mempertanyakan kekeliruan dan menyibak keadaan yang sebenarnya adalah tabu. Barangkali juga, bila hal itu dilakukan dapat mencoreng kehormatan atau nama baik. Atau, jangan-jangan, kekhawatiran plus rasa takut karena dianggap tidak kompeten sebagai guru atau pelaksana pendidikan merupakan penghambat utama. Mungkin, sebetulnya guru (termasuk saya) tahu di mana letak kekeliruan, namun nggak berani menyampaikan karena cari aman. Dengan dalih seperti itu, kayaknya dunia persekolahan perlu warna-warni biar nggak suntuk.
Kembali ke pertanyaan awal, bagaimana jika pelajaran Filsafat masuk ke kurikulum SMA? Apa hubungan antara pelajaran Filsafat dengan kondisi pendidikan di sekolah-sekolah? Apakah dengan menjadikan Filsafat sebagai salah satu mata pelajaran di SMA otomatis membuat sekolah jadi penuh warna, memecah kesuntukan?
Nah, supaya kita bisa sedikit memperkirakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan nggak nyambung itu, saya ulas beberapa konsekuensi andai Filsafat jadi mata pelajaran di SMA, kira-kira bakal begini.
1. Tumbuhnya Pelajar Pemberontak
Filsafat itu cukup mengasyikkan sekaligus menegangkan. Melaluinya, murid bakal dibiasakan bertanya dan mengorek permasalahan hingga ke akar-akarnya. Misalnya, dengan menggunakan jurus “mengapa”, di suatu kesempatan mungkin murid akan bertanya mengapa mereka tidak boleh berambut gondrong. Kemudian, setelah sekolah menjawab bahwa rambut gondrong itu tidak rapi, murid nggak puas seraya bertanya mengapa rambut gondrong itu tidak rapi, bagaimana jika rambut gondrong itu disisir rapi atau kalau perlu direbonding, dan semacamnya.
Bisa dibayangkan bagaimana murid-murid yang emosinya masih labil ini melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak hanya untuk menggali landasan jawaban dari gurunya, melainkan juga untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka.
Begitulah, filsafat akan menghasilkan pabrik pertanyaan, melahirkan banyak pelajar ngeyel sekaligus pemberontak. Karena itu, sekolah mesti siap dengan aneka demo yang mungkin dilancarkan muridnya, entah karena tidak puas dengan kebijakan sekolah atau tindakan sewenang-wenang gurunya karena tidak tahan (atau nggak tahu cara menghadapi mereka). Wah, kisah pengalaman putih-abu-abu ini layak difilmkan.
2. Demi Pencitraan, Lebih Baik Open Minded Saja
Berhubung pelajaran ini akan menimbulkan pabrik pertanyaan dan pelajar ngeyel, maka sekolah mesti
mempersiapkan dirinya. Saya mengajukan dua cara. Pertama, sekolah dan semua jajaran di dalamnya wajib menguasai skill berkelit atau silat lidah. Kemampuan ini luar biasa penting, sebab sekali mereka menjawab satu pertanyaan dari murid maka akan muncul berbagai pertanyaan baru. Begitu pun jawaban yang diberikan mesti koheren dan kokoh secara logis. Seandainya murid menemukan celah dalam jawaban itu, mampus lah.
Kedua, mengubah paradigma atau sudut pandang guru menjadi seseorang yang open minded, berpikiran terbuka. Artinya, guru dan sekolah terbuka akan ide-ide atau cara berpikir baru, termasuk efek dari pelajaran Filsafat pada pola pikir murid. Kayaknya murid akan lebih senang dengan guru yang Open Minded. Mereka bakal nyaman bertanya dan berdebat dengan guru semacam ini.
Baca juga : Kena Covid, Guru Dipecat? Oh Ya Ampun!
Sayangnya cara ini mesti dilakukan oleh semua jajaran tanpa terkecuali serta siap menerima semacam audiensi dari murid. Misal sulit, ya minimal pura-pura open minded lah, sambil melatih pengendalian diri. Nggak lucu dong kalau ada secuil guru yang masih nggak terbuka dengan pola pikir murid. Wah, bisa-bisa beliau-beliau ini bakal jadi sasaran pabrik pertanyaan.
3. Murid Jadi Nggak Sopan
Bertanya itu ada seninya. Jika dilakukan dengan keliru atau pada kondisi yang tidak pas, bertanya dianggap tidak sopan. Bahkan ketidaksopanan itu bisa juga digunakan sebagai alat untuk membungkam pertanyaan. Lebih-lebih bila dilakukan oleh anak muda kepada orang yang lebih tua.
Nah, murid yang ngeyel karena menanyakan hal yang mungkin sudah jelas, terutama yang berkaitan dengan sopan santun, bisa dicap sebagai murid yang bandel, pemberontak, dan tentu nggak sopan. Mungkin saja jaminannya jelas, tidak naik kelas karena nggak ada akhlak.
Lalu, salah satu dari mereka pun nggak puas dan mengajukan beberapa pertanyaan. “Bagaimana jika saya menanyakan soal kesopanan dengan tutur kata dan tindakan yang sopan? Apakah itu juga masih dianggap sebagai tindakan nggak sopan? Apa itu sopan santun? Bagaimana sopan santun tercipta? Dan sebagainya.
4. Filsafat Sebaiknya Sekadar Formalitas Saja
Tiga konsekuensi di atas tampak mengerikan bagi pelaksana pendidikan di sekolah. Jika semua itu terjadi, bagaimana mungkin aktivitas mendidik, yakni memanusiakan manusia lewat pembudayaan, bisa terjadi? Alangkah baiknya, agar nggak pusing-pusing amat, saya usulkan satu cara untuk membatalkan ketiga dampak pelajaran Filsafat di atas. Ya, caranya serupa dengan nasib pelajaran lain, yaitu membuatnya sekadar formalitas.
Caranya mudah kok. Buat mereka sibuk dengan pekerjaan yang remeh, dan fokuskan saja pelarajan ini pada hafalan tanpa perlu paham apa guna Filsafat bagi pribadi mereka. Dengan hafalan, ditambah dengan tugas merangkum modul Filsafat (jika ada) apalagi tanpa perlu diberi umpan balik, maka Filsafat akan mlempem.Sambil berharap tidak ada murid yang suka membaca dan berdiskusi.
Bagaimana? Penuh warna, kan? Apakah Filsafat menawarkan jalan keluar bagi problem pendidikan di sekolah-sekolah atau bahkan di negara yang kita cintai ini? Atau sebaliknya, Filsafat malah bikin pelaksanaan pembelajaran jadi terhambat dan semrawut? Mungkin sebaiknya pertanyaan di awal tulisan ini nggak diutarakan, kali ya? He he.
BACA JUGA artikel Dini Alan Faza lainnya.