
Setelah Sumpah Pemuda diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928 silam sejumlah tokoh pemuda rupanya masih digelisahkan oleh masalah bahasa. Peran media massa tak luput disorot. Tak lain persinggungan antara bahasa dan media massa yang amikal. Bahasa menyediakan bahan untuk diolah menjadi informasi atau berita yang selanjutnya disajikan dan disebarluaskan media massa. Dengan begitu, di samping memproduksi informasi atau berita, media massa juga memungkinkan sebagai pemroduksi bahasa.
Sadar akan peran penting media dan didorong kegelisahan atas usia bahasa Indonesia yang masih sangat muda, sejumlah tokoh ini memandang perlu mengupayakan penguatan bahasa Indonesia. Kala itu, tujuan utamanya adalah memperkokoh rasa persatuan sebagai bangsa Indonesia. Sekurang-kurangnya, agar cita-cita terlahirnya bangsa Indonesia yang merdeka dapat terwujud.
Akan tetapi, tak cukup dengan itu. Untuk membuat bahasa Indonesia kokoh masih terdapat sejumlah ihwal penting lain yang patut diperjuangkan. Di antaranya, peran bahasa Indonesia bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan kontribusinya bagi pembentukan ideologi bangsa yang kuat. Tak pelak, upaya penguatan peran bahasa sampai pula pada pembahasan yang krusial. Salah satunya melalui kajian-kajian falsafah kebahasaan.
Tentu, bukan perihal yang mudah untuk dilakukan. Pengaruh bahasa-bahasa asing kala itu dikhawatirkan akan memperkeruh suasana kebahasaan bahasa Indonesia. Belum lagi kedudukan bahasa-bahasa daerah yang masih cukup kuat bagi penggunanya. Bahkan, penggunaan bahasa Melayu kerap berdampingan dengan bahasa Indonesia.
Maka, sejumlah tokoh itu pun berupaya memformulasikan rumusan yang kokoh bagi bahasa Indonesia. Selain untuk menyeleksi, rumusan itu juga bertujuan untuk mengakomodir bahasa-bahasa yang tumbuh berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sekaligus mengusung bahasa Indonesia sebagai bagian dari bahasa pergaulan dunia.
Sayangnya, seperti dicatat Sutan Takdir Alisjahbana (2003), tugas itu menjadi tugas yang berat. Pengalaman Indonesia sebagai bangsa terjajah membuat upaya untuk mendudukan bahasa Indonesia dalam pergaulan dunia terpaksa harus menyesuaikan diri dengan peradaban modern yang dibawa bangsa-bangsa Eropa melalui penjajahan. Keadaan ini diperparah dengan kelangkaan sumber-sumber utama ilmu pengetahuan milik bangsa sendiri. Sementara, sejak masa ekspansi dan invasi bangsa Eropa ke negara-negara Asia Tenggara juga telah mengubah arah perkembangan ilmu pengetahuan hingga kini. Mereka kaya akan sumber-sumber itu.
Pada perkembangan berikutnya, di tengah-tengah pengerjaan PR besar itu, bahasa Indonesia juga dihadapkan pada fenomena baru. Terutama jelang Abad ke-21. Abdul Wahab (2003) mencatat, distorsi bahasa menjadi polemik yang dikhawatirkan justru akan merusak ekologi bahasa Indonesia. Hal itu erat kaitannya dengan perilaku sosial. Menurut Wahab, antara ekologi sosial dan ekologi bahasa memiliki hubungan yang saling memengaruhi. Ekologi sosial yang karut-marut dapat menyebabkan kerusakan ekologi bahasa, demikian pula sebaliknya.
Tak hanya itu, Wahab juga mengungkapkan fakta lain. Manakala ekologi sosial dan ekologi bahasa Indonesia mengalami degradasi, minat akademisi dari sejumlah negara manca pun ikut terpengaruh. Wahab juga menunjukkan bagaimana salah seorang akademisi asal Amerika yang merupakan koleganya merespons fenomena distorsi bahasa Indonesia yang diakibatkan terdegradasinya ekologi sosial. Baginya, hal itu sungguh disayangkan dan mengancam eksistensi pembelajaran bahasa Indonesia di negara-negara manca.
Menariknya, suasana gelisah yang ditekankan Wahab dalam tulisannya itu muncul dari penggunaan bahasa di media. Khususnya, media massa. Ia mencermati betapa bahasa Indonesia di media massa digunakan secara serampangan. Bahkan, cenderung menghadirkan suasana yang membuat bulu roma berdiri. Mengerikan dan cekam. Hal ini dinilai menghambat pertumbuhan khazanah bahasa Indonesia.
Memang, tidak dapat dimungkiri fenomena tersebut mengemuka di tengah semangat perayaan postmodernisme yang mengusung budaya populer dalam tatanan masyarakat konsumer. Tak heran, jika sensasi menjadi acuan di dalam menyusun dan menyajikan informasi. Begitu pula dalam penggunaan bahasa, utamanya di media massa. Produksi bahasa media tumbuh sebagai ladang semai bagi sensasi.
Perayaan sensasi ini menemukan bentuknya yang lebih sempurna manakala perkembangan teknologi—khususnya teknologi informatika dan komunikasi—mengalami percepatan berkali-kali lipat. Kemunculan media sosial yang mula-mula dirayakan sebagai berkah, justru melahirkan kebiasaan baru yang “anomali”. Semula, sebagian orang berpandangan bahwa kemunculan media sosial menjadi ruang publik yang memungkinkan bagi kebebasan berpendapat. Akan tetapi, dalam perkembangan berikutnya, media sosial justru diisi oleh pernyataan-pernyataan yang meracau.
Parahnya, posisi media massa pun tergeser olehnya. Meski secara formal kedudukan media massa tidak sepenuhnya diambil alih oleh media sosial, faktanya media massa kehilangan daya. Pertumbuhan media sosial yang pesat diam-diam telah menyerobot peran media massa sebagai pemroduksi dan penyebar informasi. Para pengguna media baru ini bebas saja memproduksi dan menyebarkan informasi. Tentu, kaidah-kaidah jurnalistik maupun bahasa tak cukup dihiraukan. Lalu, media massa—terutama media massa di daerah—terpaksa mengikuti arus deras media sosial. Ada yang melakukan adaptasi, ada pula yang dengan terang-terang mengadopsi media sosial.
Dampak peralihan ini mungkin sekali akan merembes ke dalam produksi bahasa. Sementara, penguasaan masyarakat terhadap literasi belum sepenuhnya optimal. Di tiap-tiap daerah penguasaan literasi masyarakat tidak sama. Bahkan, cenderung menunjukkan kesenjangan yang terlalu lebar. Bahasa di media sosial hampir-hampir tidak difungsikan secara optimal sebagai bagian dari cara pandang maupun sebagai kepanjangan dari pikiran. Akan tetapi, bahasa justru dimanfaatkan sekadar sebagai alat untuk meluapkan emosi. Parahnya, luapan-luapan itu terlontar begitu saja, tanpa rasa tanggung jawab.
Lepas dari itu, saya pikir, membuncahnya persoalan ini perlu dipandang sebagai tantangan. Terutama, bagi media-media massa lokal untuk tampil ke permukaan. Memberikan pembelajaran tentang bagaimana bahasa mesti digunakan dan dikembangkan sebagai sarana berpikir. Saya yakin, media-media massa lokal masih memiliki energi yang cukup besar untuk mengambil peluang ini sebagai proyek pengetahuan.
Salah satu yang memungkinkan untuk diharapkan adalah kontribusi media-media lokal bagi pengembangan bahasa Indonesia sebagai sarana pengetahuan melalui penggunaan bahasa-bahasa daerah yang kemudian dapat diterima sebagai kosakata baru dalam bahasa Indonesia. Dengan cara itu, media lokal dapat tampil sebagai wahana untuk menggali khazanah pengetahuan yang dimiliki daerah. Dampaknya, masyarakat juga akan merasakan nilai lebih kehadiran media-media lokal tersebut.
Khusus Kota Pekalongan, peluang tersebut sebenarnya terbuka lebar. Kota ini memiliki kekayaan budaya yang diakui dunia, batik. Bahkan, UNESCO menobatkan kota ini sebagai bagian dari jejaring kota kreatif, Kota Kerajinan dan Seni Rakyat. Di dalamnya, terdapat pula kekayaan pengetahuan yang perlu digali lebih dalam, melibatkan berbagai elemen yang saling terkait. Dengan begitu, batik tak hanya dipandang sebagai benda seni atau bahkan sebagai barang dagangan. Akan tetapi, ia akan menjadi bagian dari ilmu pengetahuan dalam tatanan dunia modern.
Proyek kecil ini bisa jadi akan membawa pada pemahaman masyarakat luas mengenai fungsi bahasa. Sehingga, masyarakat dapat mengerti bagaimana mereka mesti menggunakan bahasa. Lebih-lebih bahasa Indonesia. Perkembangan mutakhir menyebutkan, bahasa Indonesia diakui UNESCO dan digunakan dalam sidang-sidang di UNESCO.