Kotomono.co – Saya mesti bersyukur, Tuhan telah mempertemukan saya dengan seorang guru yang berhati mulia. Namanya, Pak Tarto. Beliau adalah guru SD saya. Kami dipertemukan 33 tahun silam. Namun, nama Pak Tarto menancap kuat dalam ingatan saya.
Waktu itu, Pak Tarto mengajar saya di kelas 3 SD. Usia beliau saat itu sudah tak muda lagi. Wajahnya menampakkan keriput, rambut di kepala beliau keperak-perakan, juga pipinya kempot. Dan, ketika beliau tersenyum, terlihat beberapa giginya telah tanggal.
Anda mungkin membayangkan, bagaimana beliau mengajar di kelas. Jangan salah, walau sudah cukup sepuh, suara Pak Tarto saat mengajar di dalam kelas masih lantang terdengar. Padahal, tidak menggunakan pelantang suara. Bahkan, beliau tak terlihat ngos-ngosan. Meski sebenarnya beliau seorang perokok berat. Itu bisa dilihat dari warna bibirnya yang kebiruan.
Ketika berjalan, masih tampak tegap. Langkah kakinya pun terlihat mantap. Tidak menyeret apalagi tersengal-sengal.
Kacamata berframe tebal dengan lensa plus yang tebal tidak menghalangi kebiasaan beliau membaca. Bagi beliau, membaca adalah keharusan, bukan lagi kebutuhan. Ya, beliau adalah seorang pembaca yang tekun.
Tiap pagi, sebelum memasuki kelas, sambil menunggu murid-muridnya datang, beliau selalu duduk di teras sekolah dan membaca koran atau buku. Lalu, menyapa murid-muridnya satu per satu. Kami, murid-murid beliau, menyalami beliau satu-satu.
Kalau beliau bicara, logatnya tidak sama dengan kebanyakan orang Pekalongan. Kata orang-orang, logat beliau ketimur-timuran. Dan memang, Pak Tarto bukan orang Pekalongan asli. Beliau berasal dari Klaten.
Beliau ditugaskan untuk mengajar di Pekalongan. Di masa pemerintahan Orde Baru aturannya memang begitu. Guru PNS bisa saja ditugaskan ke daerah lain oleh pemerintah. Sebab, ketika itu keberadaan guru masih sangat minim. Persebarannya tidak merata.
Salah satu kota yang memiliki jumlah guru tidak terlalu banyak adalah Pekalongan, kala itu. Mengapa? Sebab, di era itu guru dipandang sebagai profesi rendah. Khususnya, guru PNS.
Masyarakat Pekalongan kala itu cenderung memilih menjadi pekerja pabrik atau buruh batik selepas lulus SD atau SMP. Sementara, mereka yang melanjutkan ke jenjang SMA, umumnya adalah anak-anak PNS.
Memang, waktu itu gaji guru tak seberapa. Tak cukup dapat diandalkan sebagai modal untuk hidup bermewah-mewah. Seperti Pak Tarto, rumah yang ditinggali tak terlalu luas. Sudah begitu, masih diimpit rumah-rumah lain di kiri-kanan. Satu-satunya harta termewah milik beliau adalah sebuah sepeda motor Suzuki FR70.
Kendaraan itulah yang setia menemani perjalanan Pak Tarto mengarungi pasang-surut kehidupan beliau. Menjadi saksi bisu kisah romantis beliau bersama istri yang menjalani profesi yang sama. Tiap pagi dan siang, kendaraan itu mereka tumpangi bersama. Melintasi jalan-jalan yang menjadi kenangan.
Meski begitu, cengkeraman kehidupan yang jauh dari kemewahan itu tak membuat beliau surut dalam mendedikasikan diri sebagai seorang pendidik. Ya, saya katakan pendidik karena beliau benar-benar mendidik. Tidak sekadar mengajar.
Beliau begitu telaten menghadapi murid-muridnya. Di dalam kelas, beliau mengajari satu per satu murid-muridnya membaca, menulis, berhitung, menyanyi, dan sebagainya. Kebetulan, di kelas saya waktu itu ada beberapa anak yang kesulitan membaca dan menulis. Beliau tak segan-segan mengajari mereka satu per satu. Pak Tarto tidak akan melanjutkan pelajaran ke tahap yang lebih rumit, sebelum mereka yang kesulitan itu tuntas. Otomatis, murid-murid yang lain pun dimintanya agar bersabar.
Pak Tarto selalu mengatakan kepada kami, agar terbiasa belajar bersama. Artinya, setiap tahap yang dilalui mesti dirasakan bersama-sama. Tidak ada yang mendahului, tidak ada yang merasa tertinggal. Sebab, menurut Pak Tarto, manusia itu tidak bisa hidup sendirian. Manusia itu saling membutuhkan.
Setiap jam istrirahat, Pak Tarto sebentar saja ke ruang guru. Lantas, keluar lagi dan menemani kami di halaman sekolah. Kadang ikut mengantre untuk jajan sambil mengajarkan kepada kami untuk tertib mengantre. Lalu, ia duduk bersama kami di bawah pohon jambu.
Di sana, beliau memanfaatkan waktu untuk berbincang-bincang dengan murid-murid. Yang diobrolkan bisa apa saja. Tetapi, lebih banyak beliau berkisah tentang kisah-kisah teladan. Pembawaannya juga menarik dan dibumbui lelucon yang khas anak-anak.
Kadang, di saat seperti itu, beliau memanfaatkannya untuk mengulang pelajaran yang baru saja dibelajarkan di kelas. Beliau akan memungut ranting yang ada di sekitar, lalu membuat coretan-coretan di atas tanah. Memang, waktu itu halaman sekolah kami belum dipasang paving. Masih berupa tanah. Jadi, bisa dimanfaatkan untuk corat-coret dengan ranting.
Lewat corat-coret di tanah itu Pak Tarto kadang mengajari kami cara menghitung. Kadang mengajari kami cara menulis aksara Jawa. Pun kadang mengajari kami bagaimana menulis huruf latin dan menggambar.
Selain itu, kadang pula beliau main tebak-tebakan. Sebagai penyemangat, beliau akan memberikan hadiah berupa jajan yang dibeli dari uangnya. Saya tak bisa membayangkan, berapa besar uang yang dikeluarkan Pak Tarto demi membelikan jajan untuk murid-muridnya. Padahal, gajinya tak seberapa.
Tidak jarang pula di jam-jam istirahat itu Pak Tarto mengajari kami tembang Jawa atau menyanyikan lagu-lagu daerah dan lagu-lagu nasional. Ketika salah seorang dari kami kedapatan salah nada, beliau tak sungkan-sungkan membetulkannya.
Tak hanya itu, Pak Tarto juga membuka pintu rumahnya lebar-lebar bagi murid-muridnya yang ingin belajar di rumah beliau. Saya dan beberapa teman kerap memanfaatkan waktu untuk belajar di rumah beliau. Biasanya, selepas magrib, sehabis mengaji, kami berombongan belajar ke rumah beliau yang jaraknya cukup jauh untuk ukuran anak-anak, tiga kilometer lebih. Kami tempuh perjalanan itu dengan mengayuh sepeda.
Beliau selalu menyambut kami dengan ramah dan hangat saat kami tiba di rumah beliau. Kami sudah dianggap seperti anak kandung beliau. Lalu, segera menyilakan kami masuk.
Di dalam ruang tamu yang luasnya hanya 3 x 5 meter, beliau mengajar kami dengan penuh perhatian sampai benar-benar kami mengerti. Istri beliau biasanya akan sibuk di dapur menyiapkan cemilan untuk kami. Dan, semua itu tidak beliau pungut biaya sepeser pun.
Ah, begitu banyak kenangan yang tidak bisa saya lupakan tentang beliau. Bahkan, saat lulusan SD, Pak Tarto sempat menyampaikan pesan kepada saya, “Tugas seorang manusia itu adalah belajar, karena manusia tidak luput dari kesalahan.”
Pesan itu, sampai kini masih membekas dan kuat menancap dalam ingatan saya. Rasanya, ribuan atau bahkan miliyaran kali ucapan terima kasih tak cukup membalas kebaikan beliau. Bagi saya, beliaulah guru sejati, walau sependek ingatan saya, beliau tak pernah mendapatkan sematan guru teladan dari manapun. Sebab, yang saya tahu, beliau tidak pernah berambisi untuk mendapatkan predikat-predikat itu.
Doa terbaik untuk beliau. Semoga Tuhan memberikan tempat terindah bagi beliau, di taman yang keindahannya teramat mulia dan agung di sisi-Nya. Amin.