KOTOMONO.CO – Manakala seorang mahasiswa menyelesaikan skripsinya maka ia akan bahagia. Setidaknya hal itu terpancar pada lima menit pertama setelah keluar dari ruang sidang. Menit berikutnya seorang mahasiswa akan cemas, prihatin, dan grusa-grusu mikirin revisian yang seabrek. Pasalnya, kalau nggak revisi nggak bisa daftar wisuda. Hadewh!
Lalu setelah mahasiswa selesai skripsi. Sungguh-sungguh selesai sampai menanti tiba waktunya penggeseran pita toga, perasaan dan pikirannya lain lagi. Mahasiswa yang baru selesai skripsi itu akan memikirkan hal-hal yang di kemudian hari menjadi semacam penyakit.
Pertama, mahasiswa tersebut mulai memikirkan soal pekerjaan atau jenjang karier yang bakal ditempuh. Sedangkan yang kedua, mahasiswa tersebut juga memikirkan nasib skripsinya. Soal yang pertama mungkin jawabannya ada di diri masing-masing mahasiswa, tapi untuk yang kedua saya rasa, ini menjadi problem karena justru memengaruhi orang lain.
BACA JUGA: Gagalnya Pemberitaan Razia Pengamen dan PGOT
Apalagi banyak di antara mahasiswa yang baru tuntas mengerjakan skripsi akan menganggap skripsi mereka nggak ada gunanya sama sekali. Belum lagi hal itu diperparah karena masifnya foto dan video skripsi versi cetak dari para mahasiswa yang “dibuang” oleh pihak perpustakaan kampus. Mahasiswa yang baru selesai skripsian, pada akhirnya akan menganggap bahwa skripsi itu tak berfaedah sama sekali. Ia menyesal telah menulis skripsi sepanjang ratusan halaman, begitu kira-kira kesimpulannya.
Banyak kawan saya juga berpikir hal yang sama. Bilang kalau skripsi yang dia bikin sampai jungkir balik, nggak tidur semalam suntuk itu, adalah barang yang tidak ada nilainya sama sekali. Apalagi bagi kehidupan dia. Lha gimana mau ada nilainya, dijual saja nggak bisa kok?
Memang skripsi itu bukanlah lele yang kita pelihara sedari kecil dan bernilai setelah dewasa. Atau bibit pohon pepaya yang terawat akan menghasilkan buah yang punya nilai, bisa dijual ataupun dimakan. Tapi mbok ya nggak usah bilang skripsi-skripsi kalian nggak berguna juga dong. Sebab hal itu bisa jadi memengaruhi mahasiswa lain yang belum skripsian.
Situ sih enak skripsinya sudah selesai lantas sesumbar skripsi nggak ada gunanya. Lha kita-kita ini yang belum garap skripsi kan mentalnya jadi down. Dan buntutnya bakal mengerjakan skripsi asal-asalan, sing penting lulus. Walaupun risikonya di seminar proposal maupun sidang skripsi bakal dihabisi para penguji.
Kalau mahasiswa yang baru lulus itu bilang skripsi hanya menjadi beban perpustakaan. Yang pada akhirnya harus siap ketika dipindahkan dengan cara-cara seperti mau dibuang adalah pemahaman aneh sekaligus offset. Entah sejak kapan pemahaman itu muncul pada spesies manusia bernama mahasiswa.
BACA JUGA: Buat Mahasiswa dan Pelajar, Aksesoris Laptop ini Wajib Kalian Punya Ya !
Saya kok takjub sama mahasiswa atau eks mahasiswa yang bilang skripsi itu beban perpustakaan. Mereka ini nggak sadar apa, padahal kalau sudah memutuskan menjadi mahasiswa berarti mereka harus menerima konsekuensinya jadi beban. Beban orang tua, beban bangsa dan negara, serta tentu saja beban kampus. Jadi wajar saja kalau apa-apa yang berkelindan dengan mahasiswa mestilah beban.
Namun perkara skripsi ini lain. Kalau skripsi dianggap beban perpustakaan, sebetulnya bukan karena skripsinya jelek lantas menganggapnya tak berguna sama sekali. Melainkan perpustakaannya saja yang terlalu sempit. Lagian tahu tiap tahun mahasiswanya banyak, perpustakaannya kok masih sempit? Menampung skripsi saja nggak nyukup.
Lagipula coba situ pikir saja, kalau memang skripsi hanya memenuhi perpustakaan lalu menjadi alasan skripsi tidak berguna, apakah situ terus nggak mau menyelesaikan skripsi? Kan nggak juga to?! Skripsi harus tetap selesai, harus tetap ditulis kalau memang kamu mau lulus. Jika tidak silakan saja mundur, menyerah, jangan bikin skripsi. Biarkan uang, tenaga, pikiran, dan waktu yang kamu kuras selama kuliah terbuang percuma.
Skripsi nggak guna dengan alasan jadi beban perpustakaan dan bakal “dibuang” adalah klise yang makin hari makin memuakkan. Tapi lucunya, mahasiswa yang masih unyu-unyu kadang percaya aja gitu kakak-kakaknya bilang skripsi nggak guna. Duh dek, mau aja dikibuli sampai-sampai ikutan bilang begitu. Lha coba gimana tuh?
BACA JUGA: Sebaiknya Sejak Mahasiswa, Guru Diajari Cari-Cari Masalah
Padahal kan skripsi bukan sekadar bentuk fisiknya doang atau hardfile-nya saja. Sekarang ini zaman digital bro. Nggak usah khawatir skripsi ente-ente semua terlantar begitu saja, atau cuma mengendap di perpustakaan sampai berdebu kayak kaca Mobil Kijang yang diparkir puluhan tahun.
Tenang, dengan digitalisasi, skripsi kalian dan saya bakal berguna kok. Jadi nggak sekadar pajangan rak-rak perpustakaan kampus biar tampak lebih berisi. Saya pikir hampir semua kampus sudah menerapkan sistem ini. Dengan begitu skripsi yang kalian tulis, suatu saat akan dibaca orang lain di tempat yang lain.
Ini sekaligus menjawab keluhan-keluhan mahasiswa dan eks mahasiswa manja di media sosial yang bilang kalau skripsi itu mentok cuma jadi referensi adik kelas. Sik sebentar, memangnya mahasiswa angkatan bawah atau adik kelas mau pakai skripsi ente buat referensi? Halah skripsi modal parafrase doang kok udah jumawa ngira bakal jadi referensi adik kelas.
Ayolah! Tak perlu mempersempit kebermanfaatan skripsi kalian sendiri. Jangan setelah nonton video skripsi bertumpukan njug pesimis sama nasib skripsi sendiri. Perlu diingat, segala karya termasuk skripsi yang sudah dibikin versi digitalnya punya nasib yang berbeda-beda.
Boleh jadi skripsi kamu sedikit banyak punya nilai bagi orang lain. Semisal membantu mahasiswa lain untuk melengkapi bagian “Kajian Pustaka” dimasukkan sebagai penelitian terdahulu. Kalau kamu masih pesimis sama skripsi sendiri, yaudah sih anggap saja skripsi sebagai salah satu pahlawan yang mengantarkanmu ke perhelatan wisuda.
BACA JUGA Tulisan-tulisan menarik Muhammad Arsyad lainnya.