Kotomono.co – Yakin masih betah hidup dalam budaya patriarki?
Banyak sekali masyarakat yang berkoar-koar menyuarakan kodrat perempuan, peran perempuan, sampai masalah pendidikan bagi perempuan. Tak jarang dari mereka menganggap perempuan makhluk yang lemah, tidak bisa berbuat banyak, dan harus tunduk pada peraturan. Padahal ini pemikiran kuno. Mestinya diberantas dan diganti dengan kesetaraan. Tapi apa mungkin?
Nyatanya, sampai sekarang praktik patriarki masih ada. Dominasi laki-laki di kehidupan dianggap wajar. Hal ini dapat dilihat dari hubungan antara laki-laki dan perempuan yang mengalami ketimpangan. Kaum perempuan banyak yang direndahkan bahkan didiskriminasi.
Kodrat Perempuan?
Muak rasanya jika mendengar perkataan bahwa perempuan urusannya dapur, sumur, dan kasur. Banyak laki-laki yang beranggapan bahwa pekerjaan rumah dan mengurus anak mutlak menjadi tugas para istri. Sementara para laki-laki hanya akan dituntut untuk bekerja dan mencari uang.
Itu sudah kodrat perempuan, katanya. Padahal, kodrat perempuan hanya meliputi hamil, melahirkan, dan menyusui, Selain itu, tak terkecuali pekerjaan rumah dan mengurus anak, bisa dilakukan siapa pun, tak memandang perempuan atau laki-laki.
Istilah yang dinamai “kodrat perempuan” itu acap kali justru dipakai untuk memaksa perempuan berdiam diri di rumah saja. Misalnya, pernah terjadi di orang terdekat saya. Si suami bilang gini, “Beres-beres rumah dan ngurus anak kan tugas kamu sebagai istri di rumah, tugasku susah payah nyari uang untuk kebutuhan hidup,” ke istrinya.
Kalimat tersebut sering diucapkan ketika merasa lelah selepas kerja. Selain itu, sang istri akan dianggap tak becus ngurus anak jika si anak melakukan kesalahan atau sakit. Padahal mengurus anak menjadi tanggung jawab bersama yang tidak hanya dilimpahkan pada salah satu pihak saja.
Tidak Hanya Terjadi di Keluarga
Lucunya praktik semacam ini tidak hanya terjadi di keluarga, namun juga di ranah organisasi, pekerjaan, bahkan politik. Ambil contoh dalam organisasi yang lingkupnya tidak terlalu besar, seperti salah satu program yang ada di sebuah kampus di Pekalongan. Salah seorang anggotanya melakukan diskriminasi terhadap sesama anggota yang perempuan dengan mengatakan bahwa perempuan tidak mengerjakan salah satu tugas.
Ia bilang kalau perempuan melakukan tugas tersebut akan banyak salah. Orang ini juga bilang perempuan tak bisa diandalkan dalam beberapa kegiatan. Tentu apa yang dilakukan orang ini adalah bentuk budaya patriarki yang oleh kaum feminisme dimusuhi.
Kaum feminisme beranggapan bahwa patriarki harus dienyahkan dalam kehidupan manusia. Ini menjadi salah satu upaya memperjuangkan kesetaraan gender, di mana perempuan dan laki-laki memiliki hak, kewajiban, dan status sosial yang sama di hadapan hukum maupun masyarakat.
Pentingnya Pendidikan untuk Perempuan
Demi mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, jangan ada lagi perihal perempuan yang tertinggal secara pemikiran maupun pendidikan. Peran pendidikan bagi perempuan sangatlah penting, bahkan menjadi ibu rumah tangga pun perlu bekal ilmu. Pendidikan seharusnya tidak hanya dimiliki perempuan yang ekonomi atau status sosialnya menengah ke atas, tapi semua perempuan.
Kesetaraan gender juga dijelaskan dalam Al-Qur’an Surah An-Naml ayat 23, “Sesungguhnya aku menjumpai seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.”
Perempuan yang dimaksud dalam surah ini adalah Ratu Balqis. Ia adalah pemimpin kaum Saba. Dalam kepemimpinannya, Balqis mampu membawa rakyatnya pada kesejahteraan dan kemakmuran. Ayat ini memperjelas posisi perempuan yang bisa menjadi pemimpin jika diberi ruang dan kepercayaan.
Itu dalam agama, wabilkhusus Islam. Di kehidupan bernegara juga sebetulnya sudah diatur. Lihatlah UU Hak Asasi Manusia Nomor 39 Pasal 15. Bunyinya kurang lebih begini:
“Setiap orang berhak memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.”
Dari UU tersebut, sudah sangat menjelaskan bahwa setiap orang, bukan cuma laki-laki, memang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya. Jadi, selain dijabarkan secara hukum dan agama, praktik patriarki ini perlu digalakkan lagi. Lalu, kita harus memulainya dari mana? Sederhanya, kita bisa memulainya dari diri kita sendiri, keluarga, dan lingkungan terdekat. Seandainya itu terjadi, sungguh kehidupan tak ubahnya resital: harmonis, merdu, dan tentu saja indah.