KOTOMONO.CO – Semalam, ketika siaran Wedangan di Radio Kota Batik, salah seorang pendengar setia Wedangan memberi komentar seputar wabah. Lewat telepon, beliau berkomentar, “Sebenarnya kalau istilah zaman dulu itu namanya ‘sawan’, Mas. Lha dulu, mbah-mbah kita sudah banyak ngajari banyak hal. Seperti menyediakan padasan di depan rumah. Gunanya untuk wijikan atau cuci tangan dan bersih-bersih badan sebelum masuk ke dalam rumah. Jadi, apa yang terjadi sekarang ini sebenarnya sudah disiasati oleh para mbah kita dulu.”
Mendengar komentar itu, saya merasa senang. Ternyata masih ada orang di zaman sekarang yang peduli dengan apa yang pernah diajarkan oleh para mbah kita dulu. Selama ini, tak sedikit yang memandang skeptis dan rendah terhadap pengetahuan masa lalu. Dianggap ketinggalan zaman atau kuno. Bahkan, dianggap jauh dari kemajuan.
Sekarang, apa yang diajarkan mbah-mbah kita dulu sedang menemui semacam uji keabsahan dengan hadirnya wabah yang sedang ramai diberitakan. Namun tampaknya pengetahuan masa lalu itu belum cukup dilirik oleh dunia medis. Masih saja ada pandangan-pandangan minir terhadapnya. Saya sih maklum, mungkin karena dunia medis masih berpatokan pada pandangan Barat yang dianggap lebih modern.
Tetapi, ada komentar yang jauh lebih menarik dari pendengar saya itu, semalam. Katanya, “Sebenarnya apa yang menimpa manusia itu semacam sanepan (perumpamaan). Di balik itu ada pesan yang sangat baik. Terutama menyangkut perilaku hidup manusia.”
“Apa itu?” tanya saya.
“Lho sekarang ini kan lagi rame-ramenya digemakan lagi pola hidup sehat. Salah satu caranya adalah menjaga kebersihan dengan cuci tangan dan lain-lain. Lha coba njenengan lihat saja, orang-orang kalau mau masuk kantor kudu cuci tangan. Lha apa ini nggak semacam pasemon atau sanepan, Mas?” jelas si penelepon.
“Sanepan yang bagaimana itu, Pak?” tanya saya.
“Ya, lewat wabah ini, mungkin, ini mungkin lho ya…. Karena saya ini orang desa dan awam soal penyakit…. Mungkin saja ini sebuah pesan terselubung, bahwa kita mesti berlaku jujur dan bersih di dalam menjalankan kewajiban. Yang bukan haknya, ya jangan disikat. Karena itulah yang sebenar-benarnya kekotoran pada diri manusia, Mas,” jelas si penelepon yang asli warga Wanatunggal itu.
Makjleb rasanya! Penjelasan Bapak yang profesinya sebagai pengrajin kandang ayam dari bambu ini serasa menohok. Tapi, saya kira ada benarnya juga. Barangkali memang itu yang hendak disampaikan Tuhan kepada umat manusia lewat wabah ini. Terlepas dari berbagai isu yang beredar.
“Lho… ini sekadar dongengan cara bodho loh, Mas. Omong-omong kosong. Rasan-rasan. Jadi, jangan ditanggapi serius. Kalau-kalau salah sudah sewajarnya. Wong omongan cara bodho. Mbah saya dulu selalu bilang begitu. Ketika berhadapan dengan masalah yang rumit. Kadang dongengan cara bodho itu jauh lebih bisa diandalkan ketika dongengan cara orang-orang pinter itu nggak nemu nalar,” lanjut Bapak yang hobinya melanglang buana dari kota ke kota itu.
Saya pun menimpal, “Ada benarnya juga sih, Pak. Sebab, menurut saya, dongengan cara bodho itu artinya sebagai pengakuan diri, bahwa sepintar-pintarnya manusia, toh ia tak mengetahui segala hal. Ada batasnya. Bisa dikatakan, dongengan cara bodho itu sebagai cara ungkap orang Jawa untuk mengakui bahwa hanya Gusti Allah Yang Maha Mengetahui. Semacam ungkapan yang menunjukkan kesadaran tertinggi manusia akan kemakhlukannya.”
Bapak penelepon ini pun tertawa. Saya pun ikut tertawa. Ya, sebab kami sedang dongengan cara bodho. Bukan cara orang-orang pinter.
Selepas dongengan cara bodho itu, Bapak penelepon ini pun meminta saya memutarkan lagu, berjudul Lingsir Wengi. Sebuah lagu jawa yang sarat dengan makna akan kepasrahan diri dan rasa cinta mendalam kepada Yang Maha Mengasihi dan Menyayangi. Ungkapan kerinduan terdalam manusia.