KOTOMONO.CO – Lazimnya, seorang bawahan itu hanya memiliki satu kata atas apa yang dikehendaki atasan. Yaitu, sendika dhawuh. Tetapi, tidak semua bawahan bisa begitu. Ada yang bandel, ada pula yang sampai kurang ajar.
Begitulah warna-warni kehidupan. Semua serba tersedia. Semua selalu ada. Satu saja hilang, rasa-rasanya hidup menjadi hambar.
Saya punya teman yang boleh dibilang cukup bandel. Apalagi dengan kedudukannya sebagai seorang Kepala Desa yang mestinya harus selalu manut pada atasannya, terutama Bupati. Tapi rupa-rupanya Kades yang satu ini punya cukup keberanian untuk membantah. Bahkan, tak segan-segan menyampaikan kritik kepada Bupati ketika ada kebijakan yang dirasa nggak pas dan merugikan warga.
Berkali-kali ia layangkan kritik itu via akun media sosialnya. Mulai dari kebijakan pembangunan, bantuan sosial, dan masih banyak lagi yang lainnya. Sampai-sampai saya pernah menanyakan kepadanya, apakah ia tak takut jika itu akan membuatnya terancam. Ia menjawab dengan tawa, lalu bilang, “Selama itu benar, mengapa harus takut?”
Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Dalam hati, ada rasa kagum. Tetapi, terpantik pula rasa cemas. Saya tidak ingin teman baik saya yang Kades itu akhirnya kesandung masalah. Jangan sampai.
“Justru selama ini kritik yang saya sampaikan malah direspon Bupati dan pejabat-pejabat lainnya. Termasuk, Ketua DPRD, Kang!” katanya sambil menyulut tembakau yang dililit kertas itu.
Saya maklum atas kata-kata itu. Selama saya membaca postingan-postingannya yang bernada mengkritik itu masih bisa dibilang wajar. Apalagi yang dikritik adalah kebijakan, bukan personalitas dari pejabat terkait.
Selain itu, caranya menyampaikan pun masih terbilang santun. Tidak waton sulaya, tidak semata-mata luapan emosi, dan dapat dinalar. Mungkin itu pula yang membuat para pejabat di Kabupaten Pekalongan, khususnya Bupati, jadi perhatian.
“Ibarat anak kecil, kritik itu sebenarnya bagian dari cara agar orang yang dituakan itu memperhatikan kita, Kang. Supaya beliau-beliau mau mendengarkan dan memberikan solusi atas masalah-masalah yang ada di bawah. Tinggal bagaimana cara menyampaikannya saja. Kalau sambil ngamuk–ngamuk seperti anak kecil yang tak bisa dikendalikan emosinya, tentu orang yang dituakan juga akan mangkel, kesel, dan merasa terganggu. Alhasil, bukannya solusi yang didapat eh malah bisa berujung somasi,” jelas teman saya yang Kades itu.
Lalu, sedikit usil, saya pancing teman yang Kades itu dengan menanyakan penilaian atas kinerja para pejabat di Kabupaten Pekalongan. “Sudah baik atau cukup atau masih jauh dari harapan, Kang Kades?” tanya saya.
Apa jawabnya? Jawabnya, “Masyarakat tentu lebih berhak menilai. Saya ini kan hanya bawahan beliau-beliau, kalau disuruh ikut menilai ya kurang pas dong, Kang. Fungsi saya, ya mendengarkan dan menyampaikan aspirasi warga. Termasuk, mendengarkan penilaian mereka baik atas kinerja atasan saya maupun atas kinerja saya sendiri. Tetapi, apakah saya punya kewenangan untuk menyampaikan penilaian warga kepada pejabat bersangkutan? Mungkin saja saya berwenang. Akan tetapi, di dalam menyampaikan penilaian itu saya mesti menjaga etika, Kang. Jangan sampai gara-gara menyampaikan penilaian itu malah pejabat yang bersangkutan marah dan tidak lagi mau tahu keadaan warga. Kan eman–eman, Kang.”
Saya tersenyum. Saya menangkap kesan, jawaban itu bisa jadi blunder. Makanya, keusilan saya makin menjadi. Saya ajukan pertanyaan yang boleh dibilang kurang sopan. Saya tanyakan pada teman saya yang Kades itu, apakah ia seorang ABS alias Asal Bupati Senang?
Teman saya malah ngakak. Lantas dengan tatapannya yang berbinar, ia katakan, “Selama kebijakannya baik dan menjadi kebutuhan warga, saya dukung. Tetapi, jika kebijakannya keliru atau tidak bisa menjawab kebutuhan warga ya saya kritik dan saya beri masukan. Tentu, dengan masukan itu harapannya akan menjadi pertimbangan bagi pengambil kebijakan. Apakah kebijakan itu akan dilanjutkan atau diubah. Tetapi, sekali lagi, Kang, kalaupun ada perubahan kebijakan tentu itu bukan hanya masukan dari saya. Ada masukan-masukan lain yang barangkali turut diperhatikan dan dipertimbangkan dari pihak-pihak lain pula. Lagian, apalah saya ini, wong cuma lulusan SD kok, Kang.”
Sebentar kemudian, ia menghisap batang putih dengan pangkal berwarna kecokelatan. Nyala merah bara pada ujung rokok itu tampak lebih terang, sehingga memperjelas tampilan abu pada lapisan ujung rokoknya.
Saya membisu. Menunggu kata-kata yang akan diucapkan teman saya yang unik ini. Sampai akhirnya, ia kembali angkat suara sambil menunjukkan beberapa komentar-komentar pada postingan media sosialnya.
“Ini nih, Kang. Lewat komunikasi medsos ternyata bisa membuat banyak pejabat tertarik untuk mengomentari. Dari komentar-komentar itu, saya melihat respon mereka baik. Bagus. Bahkan, tak jarang saya mendapatkan telepon dari mereka. Tidak marah-marah mereka. Tetapi, malah menanggapi serius atas kritik maupun permasalahan yang saya unggah di medsos itu, Kang. Ya mungkin karena di situ ada juga tanggapan warga. Memang, macem–macem tanggapan warga. Tetapi, itu masih wajar. Wong warga itu kan ya cara berpikirnya ya beda-beda. Nah, di sinilah kadang saya akhirnya menjadi jembatan bagi kedua pihak,” jelasnya.
“Seumpama, ada warga njenengan yang kemudian terancam gara-gara komentar di akun medsos njenengan, apa tindakan njenengan?” tanya saya dengan nada menyelidik.
“Bagaimanapun warga harus dilindungi dulu. Itu prinsip. Karena siapa tahu warga belum ngerti aturan main. Entah itu UU ITE atau apapun namanya. Caranya, saya beri pengertian kepada pejabat bersangkutan agar tidak marah kepada warga yang dipermasalahkan. Selain itu, saya akan beri pengertian pula kepada warga yang bersangkutan agar berhati-hati dalam berkomentar. Ngritik boleh, tapi menghina, menyebarkan hoaks, dan ujaran kebencian jangan,” ungkapnya.
Di penghujung obrolan, saya tanyakan kepada teman saya yang Kades itu. Tentang kebijakan mana yang menurut pandangannya baik dan mana pula yang dirasa belum baik.
“Menurut saya, yang baik itu baru kebijakan Bupati Pekalongan, Bu Fadia, itu tentang pemberian santunan kepada warga kurang mampu yang menunggui pasien/keluarga di rumah sakit. Besarannya mungkin tak seberapa, tetapi kebijakan itu membuat warga menjadi lebih perhatian kepada keluarga mereka,” jawabnya.
“Tapi, bukannya di rumah sakit ada perawat, Kang Kades? Yang namanya merawat itu kan ya menjaga, mengurus, memelihara, dan membela hak pasien tanpa pandang kelasnya. Saya kira, yang juga perlu didorong adalah pelayanan di rumah sakit yang tidak membedakan kelas, Kang Kades, bagaimana? Okelah, mungkin fasilitas bisa beda kelas tapi pelayanan yang diberikan jangan sampai membedakan. Gimana, Kang Kades?” seloroh saya.
“Setuju itu, Kang. Saya kira itu memang PR besarnya, Kang. Nah, barangkali saja dengan kebijakan itu masyarakat agar paham dan ikut mendorong kinerja tenaga medis agar lebih optimal lagi, Kang,” jawabnya.
“Ya kalau semua warga paham prosedurnya. Kalau tidak?” sergah saya.
Sejenak, Kang Kades teman saya ini terdiam. Dengan suara pelan, ia lantas berkata, “Memang benar, Kang. Saya kerap mengawal dan menemani warga yang kurang mampu ke rumah sakit, rata-rata mereka bingung dan panik ya karena nggak tahu prosedurnya. Dan itulah salah satu tugas saya, Kang. Saya harus menyediakan diri untuk mengawal mereka, Kang. Kalau nggak dikawal, bisa saja mereka malah kurang terurus dengan baik.”
Pengakuan Kang Kades Wuled ini membuat saya merasa trenyuh. Saya tidak bisa membayangkan, betapa repotnya dia sebagai seorang Kades. Tugasnya seabreg. Tapi, masih saja menyediakan diri untuk mengawal warganya yang sakit sampai di rumah sakit.
Bahkan, yang terakhir ini, ia sempat menghimpun dana untuk membantu warganya yang sakit dan dirawat di rumah sakit. Dana itu dikumpulkan dari warga Desa Wuled untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pasien setelah keluar dari rumah sakit. Si pasien hidup sebatang kara. Jadi, tak ada topangan hidup. Sementara, setelah ia pulang dari rumah sakit pasti butuh masa pemulihan terlebih dahulu sebelum akhirnya bisa bekerja lagi.
Soal kebijakan Bupati Pekalongan yang belum optimal, Kang Kades Wasduki Jazuli memberi komentar. “Masalah pendidikan, Kang. Belum cukup mendapatkan sorotan lebih, Kang. Tapi, bagaimanapun sebagai Kades, saya mengapresiasi kinerja Bupati, Bu Fadia. Beliau berani mengambil sikap dan kebijakan yang menurut saya bisa menjawab kebutuhan warganya. Beliau juga responsif terhadap kritik, terutama kritik yang saya sampaikan. Selalu beliau mengontak saya kalau saya posting di media sosial. Itu bagus menurut saya. Artinya, beliau masih mau mendengarkan dan menyikapi kritik dengan baik pula. Mungkin, kalau diibaratkan, beliau itu Nyi Ageng Serang-nya Pekalongan, Kang. Apalagi ketika beliau meminta kepada RSUD Kraton, Kajen, Kesesi, dan Puskesmas di wilayah Kabupaten Pekalongan tidak menolak warga tidak mampu untuk berobat di sana, meski tidak memiliki BPJS atau KIS. Beliau malah sampaikan, bagi warga tidak mampu cukup membawa fotokopi KTP agar bisa dilayani secara gratis,” pungkasnya.