KOTOMONO.CO – Seorang siswa SD kelas 5 di Nganjuk, Jawa Timur harus berurusan dengan pihak kepolisian atas dugaan melakukan pencabulan terhadap adik kelasnya. Terduga pelaku berumur 11 tahun, sedangkan korbannya berusia 7 tahun atau SD kelas 1.
Dugaan pencabulan ini terjadi pada Selasa 20 September 2022 sekitar pukul 14.00 WIB, berlokasi di sebuah lapangan di Kecamatan Baron, Nganjuk. Kasat Reskrim Polres Nganjuk AKP I Gusti Agung Ananta membenarkan adanya laporan tersebut.
Atas peristiwa itu, pelaku tidak dijebloskan kedalam sel tahanan. Hanya saja, pelaku akan mendapatkan pendampingan instensif di rumah khusus di Dinas Sosial (Dinsos) Nganjuk.
“Untuk pelaku tidak ditahan dan ditempatkan di rumah Dinas Sosial Nganjuk untuk mendapatkan pendampingan,” kata Kasat Reskrim, seperti dikutip dari detikcom.
Lebih lanjut, I Gusti Agung Ananta menuturkan bahwa penyelidikan kasus akan tetap dilakukan. Tetapi karena kasus pencabulan itu melibatkan pelaku yang notabene masih di bawah umur, maka proses hukum akan dilakukan secara diversi atau penyelesaian perkara di luar proses peradilan pidana.
“Masih lanjut proses kasusnya, diversi khusus pemerkosaan anak sesama anak dilanjutkan. Hingga penetapan pengadilan tetap pendampingan,” papar Gusti.
Proses pendampingan dilakukan tidak hanya kepada pelaku, melainkan juga akan dilakukan terhadap korban yang sampai saat ini masih mengalami trauma. Pendampingan melibatkan tim Psikolog dari SDM Polda Jawa Timur.
Sementara, menurut Dosen Fakultas Psikologi Universitas Ciputra Ersa Lanang Sanjaya, anak 11 tahun sudah mulai masuk usia pubertas. Artinya, secara hormon seksualitas, anak tersebut sudah aktif.
“Normal memang di remaja pada usia 11 sampai 12 tahun, usia 8 sampai 9 tahun pun juga bisa pubertas, tapi itu early puberty,” kata Ersa seperti dikutip dari detikJatim.
Ersa juga menjelaskan bahwa pubertas tersebut bukan terjadi tanpa sebab. Melainkan, tergantung dari gizi yang dimakan plus lingkungan sekitarnya. Dan pada kasus tersebut, faktor psikologis juga bisa berpengaruh.
Secara teori, setidaknya ada 3 faktor yang mempengaruhi, yakni fisik, psikologis, dan sosial atau lingkungan. Ersa menegaskan, secara fisik anak yang memerkosa tersebut sudah dimungkinkan. Bila sudah aqil balik misalnya, hormon-hormon seksual sudah aktif. Kemudian secara psikologis, didukung dengan melihat film porno.
“Anak ini secara pikiran sudah terokupansi, apalagi akil baliq dan lagi heboh-hebohnya, lalu teman-temannya kan juga mendorong. Lengkap sudah, secara fisik dia memungkinkan, secara psikoligis dia terstimulus dengan hal yang tidak tepat, dan secara lingkungan teman-temannya seperti itu,” ujarnya seperti dikutip dari Detikcom.
Menurut sang dosen, dorongan seksual yang terstimulasi oleh hal negatif seperti itu bersifat eskalasi. Terlebih, bagi anak-anak yang memasuki masa remaja. Ketika remaja itu melihat film porno dan merasa terpuaskan saat ini, tetapi keesokan harinya ketika tidak sepuas dari sebelumnya yang bersangkutan akan mencari stimulus baru hingga berujung pada aksi pencabulan dan pemerkosaan.
Sementara, proses penyembuhan untuk anak yang mengalami atau melakukan hal serupa bisa dilakukan dengan mengubah pikirannya yang terlanjur terokupansi.
“Caranya, perkuat pengawasan seperti meminimalisasi waktu si anak untuk sendirian. Kemudian mengalihkan kegiatan itu. Kalau selama ini dia nonton sendiri maka orangtua harus mengawasi,” kata Ersa.
Sementara soal ditempatkannya siswa SD pelaku pencabulan terhadap adik kelas itu bukan di rumah tahanan melainkan di rumah khusus Dinsos Nganjuk, Ersa menyampaikan hal itu bisa efektif menyembuhkan pikiran pelaku bila perlakuannya tepat.
“Tergantung, kalau di-treatment dengan baik ya bisa aja. Tapi kalau di sana dimarahin atau diberi punishment tidak akan menyelesaikan apa-apa. Jangka panjang akan keluar lagi,” paparnya.
Ersa mewanti soal peluang anak melakukan hal serupa saat beranjak dewasa nanti. Karena itu dia menyampaikan kepada orang tua atau orang dewasa di sekitar anak agar bersama-sama memperkecil peluang itu.
“Artinya, si anak kan pernah tahu dan merasakan, kalau tidak ada treatment yang bener ya pasti keluar lagi. Seksualitas itu adalah identitas, maksudnya setiap orang punya identitas seksual. Misalnya, di TV menawarkan identitas macho dan garang, lalu perempuan itu objek, nah itu yang harus diberi informasi ke anak sedini mungkin, seperti saling menghormati, sehingga ada upaya untuk lebih mengubah pandangan anak,” tutur dia.
Kemudian perihal antisipasi, Psikolog Togarma Pakpahan menyebutkan orang tua atau orang di sekitar anak bisa melakukan deteksi sejak dini anak-anak yang ketagihan pornografi sehingga bisa melakukan upaya yang dibutuhkan untuk antisipasi.
Seperti dilansir dari detikJatim, ciri-ciri umum dari anak yang sudah ketagihan pornografi adalah pertama arah pembicaraan atau candaan yang sering dilontarkan berhubungan dengan pornografi. Selain itu, sang anak lebih banyak menarik diri dari aktivitas untuk menonton pornografi.
“Melakukan aktivitas yang berbeda dari kebiasaan yang ada dan sulit berkonsentrasi atau fokus dalam mengerjakan sesuatu,” kata Togarma.
Lebih lanjut Togarma Pakpahan menjelaskan, upaya menjauhkan anak dari hal pornografi akan efektif bila diselingi dengan aktifitas pengganti seperti pengembangan kemampuan anak dan lain sebagainya, serta lebih banyak aktivitas bersama orang lain alias anak tidak sering melakukan sesuatu sendirian.
***
Penulis : Angga