KOTOMONO.CO – Sebuah catatan tentang acara yang berbau demokrasi di Kota Pekalongan.
Demokrasi di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Demokrasi telah dikuliti hidup-hidup. Ia dicabik-cabik, dipreteli, disobek, dihancurkan, dibuat tak berdaya oleh lebih dari segelintir orang. Singkatnya, demokrasi telah mati.
Tapi saya tidak punya keilmuan untuk memastikan apakah demokrasi benar-benar telah tewas. Saya juga tidak punya cukup makrifat untuk mengenali apakah demokrasi seperti hewan dan tumbuhan sehingga bisa mati. Atau kalaupun mati, mati yang bagaimana, saya tidak tahu. Saya hanya bisa menerka dan menebak.
Jika “di sana” orang bilang demokrasi sedang tidak baik-baik saja, anggaplah memang seperti itu keadaannya. Namun, di sini, wabil khusus di Kota Pekalongan, saya merasakan demokrasi masih berdenyut.
Mungkin jika di sana mati atau minimal sakit, demokrasi di Kota Batik sehat-sehat saja. Demokrasi, saya kira, bahkan sedang dan akan menghidupi Kota Pekalongan sampai empat atau 10 keturunan lagi.
Sebuah Dialog
Anggapan saya itu tidak hadir dari ruang hampa. Biar saya tekankan sekali lagi. Kota Pekalongan adalah kota yang demokratis. Sangat demokratis bahkan. Saya baru menyadarinya belum lama ini.
Lebih dari 10 anak muda hadir di sebuah acara yang membahas politik. Saya juga terlibat di dalamnya. Dalam acara itu membahas tentang peran muda-mudi, terutama di Kota Pekalongan demi menyongsong Pemilu mendatang.
Pokok bahasannya beraneka ragam. Dari Good Governance—entah ini sistem betulan atau mitos—hingga peran pemuda. Lalu, apa hubungannya acara itu dengan Kota Pekalongan sebagai kota yang demokratis?
Oh ya jelas berhubungan, tho, karena acara itu menunjukkan bahwa pemuda bebas untuk menggelar apa pun, tidak terkecuali diskusi tentang politik. Dulu di era pra-reformasi untuk mengadakan diskusi saja susahnya setengah mampus. Nah sekarang malah mudah sekali.
Tidak hanya gampang. Bahkan acara semacam itu bisa digelar di lingkungan Pemerintah Kota. Ya, Anda tidak salah membaca. Lingkungan Pemkot!
Coba bayangkan, acara untuk membahas pemimpin ideal. Acara untuk mengulik peran pemuda di kancah politik digelar di lingkungan pemimpin yang sudah terpilih itu sendiri. Ini kalau di era pra-reformasi jangankan terjadi, idenya saja, saya kira tidak akan lahir.
Kehadiran Pemimpin dan Calon
Acara itu entah bagaimana telah membuat saya berpikir bahwa Kota Pekalongan memang layak dijadikan kota paling demokratis. Betapa tidak? Diskusi untuk menyiapkan calon pemilih saja bisa dihadiri oleh Ketua DPRD. Catat sekali lagi, Ketua DPRD.
Padahal acara itu bertujuan untuk memaparkan banyak hal, tidak terkecuali demokrasi itu sendiri. Salah satunya juga memilih pemimpin dan bagaimana membangun sistem pemerintahan yang baik itu tadi. Maka yang muncul pun tidak jauh-jauh dari kritik atas sistem demokrasi selama ini.
Nah kehadiran Ketua DPRD memperlihatkan bahwa DPRD Kota Pekalongan sadar akan perannya sebagai salah satu pilar demokrasi. Dengan hadir di acara tersebut, ini menunjukkan bahwa DPRD Kota Pekalongan tidak anti-kritik. Iya, kan, kurang demokratis dari mananya coba?
Selain dihadiri Ketua DPRD, acara itu juga dihadiri oleh calon anggota DPRD mendatang. Ini acara yang mantap. Membahas demokrasi dihadiri oleh pilar demokrasi yang lawas dan calon pilar demokrasi yang baru. Wah, tak diragukan lagi ke depan demokrasi di Kota Pekalongan akan kokoh bakoh.
Yang Bertanya Sedikit
Selayaknya diskusi, tanya-jawab sudah pasti akan berlangsung. Obrolan dua arah akan hidup. Bukan hanya narasumber saja yang ngomong sampai mulutnya berbusa. Tapi diskusi di kota yang sangat demokratis tidak perlu semacam itu.
Seperti diskusi yang saya hadiri tempo hari di Ruang Jlamprang atau Amarta Pemkot Pekalongan. Saya kecelik dengan pamflet yang menunjukkan bahwa setiap peserta diberi waktu berbicara. Kenyataannya malah tidak, atau lebih tepatnya tidak semua. Hanya segelintir saja yang angkat bicara.
Sisanya justru porsi yang lebih banyak adalah narasumber plus keynote speaker yang datang dari si Ketua DPRD tadi. Ini sesuai dengan demokrasi kita. Bahwa dalam sistem demokrasi tidak semuanya harus terlibat, cukup perwakilan saja. Di daerah maupun di pusat jalannya demokrasi semacam itu bukan?
Bukan Hanya Demokratis, tapi juga Kolaboratif
Saya sadar bahwa demokrasi tidak bisa dijunjung satu-dua manusia saja. Perlu kolaborasi. Dan Kota Pekalongan sudah sangat kolaboratif. Berkali-kali saya membaca berita bahwa Pemkot Pekalongan sering kali butuh sinergi warga.
Hal itu bukan pepesan kosong. Warga memang sangat dibutuhkan dalam kinerja Pemkot Pekalongan. Untuk duduk di tampuk kekuasaan memang cuma perlu perwakilan, tapi untuk kerja ya harus bareng-bareng.
Di sebuah ruang kelas, ketua tidak bisa bekerja sendiri. Ia butuh bendahara untuk menagih kas. Juga butuh sekretaris untuk mencatat tugas dari guru. Butuh seksi ini-seksi itu. Dan tentu saja membutuhkan siswa. Bagaimana caranya ia menjadi ketua kelas tapi tidak ada siswa yang di-ketua kelas-i?
Nah, para siswa ini wajib membantu kerja ketua kelas. Minimal membantu agar kelas tidak kosong. Kurang lebih seperti itulah kolaborasi di Kota Pekalongan.
Menariknya, demokrasi di Kota Pekalongan bisa hidup bukan hanya karena kolaborasi antara Pemkot dan warga, tapi juga antara satu pilar demokrasi dengan pilar demokrasi yang lainnya. Eksekutif, legislatif, yudikatif, bahkan pers yang disebut sebagai pilar keempat ikut berkolaborasi dengan pemerintah.
Maka wajar saja kalau Kota Pekalongan jarang mendapat kritik. Karena selain banyaknya penghargaan yang didapat oleh Pemkot Pekalongan, juga karena kota ini sungguh-sungguh menjalankan apa yang disebut demokrasi. Saya rasa kelak pemerintah pusat mestilah belajar dari Kota Pekalongan.
Itu.