
Matematika, semasygul apa pun sikap kita terhadap pelajaran ini rupanya kita tidak punya pilihan lain, kecuali tetap harus mempelajarinya. Sejak SD kita “dipaksa” untuk mempelajarinya. Saya punya pengalaman buruk tentang pelajaran yang kata orang bikin pusing ini. Sewaktu kelas 1 SD, saya pernah mendapatkan nilai nol untuk ulangan harian matematika. Sangat memalukan, bukan?
Tetapi, itu belum seberapa. Masih ada yang lebih memalukan. Saat pulang sekolah, ketika sampai di rumah, saya langsung menunjukkan buku ulangan matematika dengan nilai nol itu kepada Ibu. Kontan, Ibu saya bereaksi. Tas sekolah dan buku ulangan matematika itu dilempar keluar, hingga menyeberangi jalan raya.
Saya kaget. Akan tetapi, jangan dibayangkan ekspresi kekagetan saya mirip dengan adegan-adegan sinetron yang biasanya diikuti dengan tampang memelas atau ngenes. Jika Anda membayangkannya seperti itu, 100% bayangan Anda keliru! Sebaliknya, kekagetan saya di dalam drama pelemparan tas itu terjadi sangat sebentar. Saya bahkan tidak menunjukkan perasaan sedih atau kecewa. Saya hanya berdiri di teras rumah sambil menyapa teman-teman yang lewat di depan rumah dengan penuh suka cita. Tas yang tergolek di atas aspal tak saya hiraukan.
Betapa polosnya saya waktu itu. Tetapi, kepolosan—atau mungkin lebih tepatnya ketololan—saya itu rupanya mendatangkan keberuntungan. Kemarahan Ibu lekas reda. Lantas, tanpa banyak kata Ibu segera menghampiri tas sekolah yang tergolek di bahu jalan itu dan mengambilnya kembali.
Ah, saya menduga, para pembaca yang bijak bestari mungkin lantas bertanya-tanya, apa kiranya yang terjadi kemudian? Hikmah apa yang saya peroleh dari peristiwa itu? Lalu, Anda mungkin saja bertanya, perubahan apa yang terjadi pada diri saya setelah merasai pengalaman yang memalukan sekaligus memilukan itu?
Tetapi, saya mohon Anda bersabar. Saya tidak akan menjawab langsung pertanyaan itu dulu. Cerita masa kanak-kanak saya itu saya hadirkan sebagai ilustrasi, betapa pelajaran yang satu ini dipandang penting. Akan tetapi, sepenting apa, mungkin saja kita tidak tahu. Lalu, mengapa tidak tahu? Bisa jadi karena kita tidak pernah diberi tahu. Sependek ingatan, selama saya menempuh sekolah dari satu jenjang ke jenjang lain, tidak seorang pun guru saya yang pernah memberi tahu pentingnya belajar matematika. Satu-satunya yang saya ingat adalah saat jelang ujian. Para guru menganjurkan murid-murid untuk giat belajar, bahkan sampai menyelenggarakan latihan mengerjakan soal-soal matematika, supaya nilai ujiannya bagus atau minimal memenuhi standar kelulusan.
Uniknya, saya dan juga sebagian besar teman-teman—mungkin juga Anda—kala itu hanya manut. Mati-matian belajar matematika, walau sesungguhnya cukup tahu untuk memenuhi nilai standar kelulusan adalah perihal yang mustahil. Jangankan nilai standar, memahami soal-soal ujian yang berbentuk cerita saja kadang kita masih kesulitan menentukan rumus apa yang mesti digunakan. Yang membersit di benak, tak lain hanya ketakutan kalau-kalau jawaban yang kita berikan salah. Ah, rasanya betapa sia-sia belajar.
Sementara, mari kita lihat apa yang dikerjakan para kuli bangunan, buruh batik, tukang jahit, dan banyak lagi pekerjaan lainnya yang sebenarnya berkaitan dengan dunia matematika. Kuli-kuli bangunan misalnya, dalam mengerjakan sebuah rumah apa pun yang mereka kerjakan sangat berkaitan dengan matematika. Mulai dari membuat perkiraan material yang dibutuhkan untuk membangun rumah dengan luas lahan dan bentuk bangunan yang diinginkan pemiliknya sampai mengukur sudut dan keseimbangan bagian-bagian bangunan rumah. Semua menggunakan matematika. Tetapi, tidak semua kuli bangunan memahami apa itu matematika. Bahkan, ada pula di antara para kuli itu yang tidak lulus SD.
Pun begitu pada para tukang jahit. Mereka mempraktikkan konsep matematika tanpa penguasaan yang baik tentang matematika. Yang mereka tahu hanya angka-angka hasil pengukuran. Tetapi, apakah mereka jagoan matematika? Apakah mereka jawara olimpiade matematika? Lebih banyak dari mereka bukan jawara matematika.
Malah, dalam siaran radio yang pernah saya lakukan dengan mengundang para tukang jahit asal Pekalongan tercetus sebuah ungkapan, bahwa mereka belajar menjahit itu tidak menggunakan konsep atau teori matematika. Kata salah seorang dari para tukang jahit yang hadir, mereka merasa kerepotan kalau harus belajar dengan menggunakan konsep-konsep atau teori-teori yang njelimet. Mereka hanya mempraktikkan apa-apa yang sudah dikonsepsikan dalam teorema matematika.
Penuturan para pekerja ini sesungguhnya memberi pengetahuan yang menurut saya begitu bermakna. Matematika tak hanya didudukkan sebagai sesuatu yang baku. Akan tetapi, telah menjadi laku hidup. Bahkan, mengejawantah ke dalam etos kerja. Mereka harus mengukur dengan cermat agar mendapatkan ukuran yang tepat. Tujuannya, agar rumah, baju, celana, atau apa saja yang mereka hasilkan dapat memiliki fungsi dan memberi kesan bagi pemakainya. Dengan begitu, matematika dalam diri mereka menjadi etika sekaligus dasar-dasar estetika.
Sayang, pengalaman-pengalaman para pekerja ini jarang sekali dilirik sebagai sesuatu yang bermakna matematis. Atau, mungkin saja luput dari pencermatan. Walhasil, pengajaran matematika di kelas-kelas hanya membuahkan kebosanan atau bahkan keengganan. Wajar pula jika kemudian tidak banyak yang tahu alasan apa yang mengharuskan matematika dipelajari. Hanya, mungkin sebagian orang sependapat, bahwa pelajaran matematika membuat orang memiliki pengetahuan tentang berhitung. Minimal, ketika membeli beras, kita jadi tahu jumlah rupiah yang kita bayar untuk 10 kilogram beras dengan harga per kilogramnya Rp 5.000.
Walau begitu, tidak dimungkiri ada fakta lain mengenai pemahaman semacam tadi. Sebagian orang beranggapan, kemampuan berhitung bisa dicapai tanpa harus repot-repot belajar matematika. Asumsi ini pula yang mentasdik anggapan bahwa seakan-akan ilmu pengetahuan bukan sesuatu yang dibutuhkan dalam kehidupan. Ilmu pengetahuan, dengan begitu, memiliki jarak senjang dengan realitas sehari-hari. Padahal, seyogyanya tidak demikian. Apa-apa yang dipelajari di bangku-bangku sekolah sebenarnya bersumber dari apa-apa yang ada di keseharian.
Sebagaimana pernah diungkapkan Presiden Jancukers, Sujiwo Tejo, matematika bukan ilmu hitung. Juga bukan ilmu pasti. Menurutnya, matematika itu pelajaran yang melatih logika kita agar konsisten. Kalau saya takwilkan, pernyataan Mbah Tejo ini sungguh-sungguh dalam. Bahwa, matematika tak sebatas mengajarkan orang agar memiliki kemampuan menghitung. Jauh dari itu, matematika sebenarnya sebuah metode latihan agar orang senantiasa setia pada kejujuran dan—meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer—bersikap adil sejak dalam pikiran.
Wah, agak mewah rasanya. Tetapi, tak apalah. Kadang kita memerlukan kemewahan di dalam mendeskripsikan sesuatu. Setidaknya, mengikuti saran Om Gita Wirjawan dalam seri-seri siniarnya di endgame. Bahwa, bangsa ini memerlukan narasi yang ampuh untuk membuat bangsa-bangsa manca sepenuhnya hormat pada bangsa ini. Saya sepakat dengan pandangan Om Gita Wirjawan.
Kembali pada matematika. Mengutip situs Britanica, matematika didefinisikan sebagai “the science of structure, order, and relation that has evolved from elemental practices of counting, measuring, and describing the shapes of objects”. Dengan kata lain, matematika mencoba memberi gambaran tentang dunia secara terperinci. Akan tetapi, untuk menemukan gambaran itu matematika mengawalinya dengan menyodorkan gambaran sederhana tentang dunia.
Lalu, dunia yang mana? Tentu, dunia yang kita huni, semesta raya ini. Tidak terkecuali, manusia. Seperti pernah diungkap Martin Heidegger, matematika adalah sebuah perangkat untuk membaca manusia itu sendiri. Pandangan Heidegger dikuatkan dengan gagasannya mengenai hubungan mendalam antara matematika dengan eksistensi. Matematika dapat mengeksplorasi dan memahami “Being” secara lebih luas, mencakup keterbatasan dan kemungkinan, serta hubungan dengan dunia dan realitas, karena interaksi yang dijalankan manusia tidak sebatas dengan simbol dan angka.
Seperti yang sering disinggung pada beberapa siniar yang dikelola Gita Wirjawan, Sabrang Mawa Damar Panuluh, Sujiwo Tejo, Bagus Muljadi, dan sebagainya. Kajian tentang ilmu yang satu ini begitu kompleks. Spektrumnya menjangkau ke segala arah dan menjamah area-area keilmuan yang multi. Silakan, tengok saja siniar para idola ini. Simak sampai tuntas. Bila perlu diulang-ulang sampai paham.
Hanya, agaknya ada syarat dan ketentuan tak tertulis yang mesti Anda patuhi. Pertama, Anda harus belajar jadi orang sabar, karena biasanya siniar mereka berdurasi panjang. Kedua, Anda harus benar-benar tidak sedang punya janji dengan teman untuk ngopi di kafe. Kalau pun ada janji, pastikan Anda berani mengambil sikap. Membatalkan janji atau terpaksa duduk diam di depan laptop dalam waktu yang lama hanya untuk menyimak obrolan mereka. Ketiga, Anda harus menyiapkan kopi dan cemilan yang diperlukan supaya nggak bolak-balik ke dapur saat menonton. Keempat, Anda perlu memastikan kondisi pikiran Anda sedang baik-baik saja. Kelima, jika semua syarat dan ketentuan itu tak sanggup Anda penuhi, mending Anda mainan tiktok atau nongkrong di kafe dan ghibahin teman.
Terakhir, saya ingin memberikan jawaban atas pertanyaan yang menyoal masa kanak-kanak saya tadi. Secara jujur, harus saya kemukakan, bahwa setelah peristiwa memalukan itu tidak ada perubahan apa-apa pada diri saya. Buktinya, saya sampai harus tinggal kelas dan menempati di bangku yang masih sama dengan setahun sebelumnya.
Lalu, apakah saya mendapatkan hikmah? Tidak serta-merta. Saya justru mendapatkan pencerahan bersamaan dengan perjalanan waktu. Semakin saya belajar, semakin saya mendapatkan banyak hal yang membuat saya harus terus belajar. Berupaya sekuat tenaga untuk mendisiplinkan diri. Mempelajari apa saja yang mungkin terjangkau. Sambil terus mengupayakan agar diri terus bertumbuh dan berkembang.
Saya menyadari, bahwa perubahan bisa saja dilakukan dengan tergesa-gesa. Hanya, hasilnya mungkin saja kurang maksimal. Akan jauh lebih baik jika perubahan itu dijadikan sebagai kebutuhan, bukan sekadar keinginan apalagi beraroma kepentingan sesaat. Maka, kesadaran bersama untuk melakukan perubahan secara bersama-sama akan jauh lebih bermakna daripada hanya berpacu untuk menjadi yang terbaik. Sebab, kehidupan adalah lembaga yang mesti kita rawat bersama.
Pekalongan, 31 Desember 2024