KOTOMONO.CO – Beberapa waktu lalu, saya membaca tulisan AS. Laksana yang menohok sejak paragraf pertama. Bunyi paragraf pertamanya kurang lebih begini: “Salah satu siksaan terberat yang harus dihadapi oleh warga negara Indonesia yang senang membaca berita adalah ia akan bertemu setiap hari dengan berita-berita yang ditulis secara buruk.
Cepat-cepat di paragraf kedua tulisannya itu, ia langsung memberikan semacam klarifikasi. Bahwa tak ada maksud untuk menyinggung satu-dua berita yang ditulis wartawan ingusan. Tapi itu adalah gejala umum pada jurnalisme kita.
Rampung membaca tulisan AS. Laksana itu, saya lantas teringat dengan tulisan-tulisan jurnalistik (atau yang mengaku tulisan berita) yang kerap saya jumpai dan secara disengaja atau tidak, membacanya. Saya tak mau mengomentari seberapa jelek tulisan-tulisan berita yang saya temukan itu. Tentu lantaran saya bukanlah orang yang punya predikat untuk melakukannya.
Sebab paling tidak, agar bisa menilai mutu tulisan berita, mestilah seorang wartawan yang punya pengalaman. Minimal pernah meliput dan mewawancarai Kapolres selama paling sedikit 10 tahun. Jangan salah sangka dulu, itu cuma standar yang saya bikin sendiri.
Namun yang justru saya ingin soroti betul adalah bagaimana tulisan-tulisan jurnalistik yang kemudian dianggap jelek—sesuai standar jurnalistik—itu mampu menyebar sedemikian rupa. Padahal kalau tulisan-tulisan buruk itu tayang dan singgah di gawai kita, informasi yang sampai pun bakal setengah-setengah. Tak utuh dan hanya menyuplai tumpukan sampah ke memori kita.
Begitulah yang terjadi di lini masa hari ini, khususnya lini masa saya. Berita yang tampil di media sosial saya bisa sangat cepat. Tak tentu, sehari bisa 5 berita, 10 berita, atau bahkan 100 berita sekaligus.
Kendati saya orangnya berinteleksosbud yang suka baca berita, kalau tiap hari dijejali belasan sampai ratusan berita seperti itu, tentu saya pun bakal mual setengah modyar. Apalagi kalau informasi yang muncul belum matang betul alias masih dalam imajinasi.
Atau berita yang muncul belum sampai ke tahap jelek. Atau bernuansa politik praktis. Atau memihak.
Semua itu pernah saya temukan. Dan kehebatan berita itu, setidaknya dilihat dari respon warganet, adalah mampu mendulang perhatian. Bukan cuma satu, tapi semua berita, khususnya yang terdistribusi di media sosial.
Baca juga : Misinformasi Berita Perempuan Asal Doro Pekalongan yang Hidup Sebatang Kara
Ya, media sosial adalah stasiun informasi terbesar yang mampu mendatangkan kereta dari segala penjuru. Dari kereta eksekutif yang mewah, sampai kereta yang sama sekali tak memiliki gerbong. Sayangnya, di media sosial saya lebih banyak menemukan kereta tanpa gerbong, daripada umpamanya, kereta ekonomi atau bisnis.
Kereta berkelas: ekonomi, bisnis, atau eksekutif adalah analogi dari corong informasi berupa media pilih tanding, alias tak diragukan lagi kredibilitasnya, contoh Tribunnews. Sedangkan kereta tanpa gerbong itu media tanpa manajerial dan keredaksian yang jelas. Artinya, cuma bergeliat di media sosial tapi mendaku media.

Kereta tanpa gerbong juga kereta kan? Kalau di palang kereta api, kita selalu yakin bahwa yang melintas kereta api bukan kapal feri.
Stasiun yang semestinya lebih banyak kereta gerbong yang berhenti, ini justru dipenuhi kereta tanpa gerbong. Begitulah media sosial. Media nihil kejelasan mampu menguasai persebaran informasi di media sosial.
Itulah kenapa alih-alih bilang tulisan beritanya buruk, saya lebih memilih kalimat “belum sampai ke tahap jelek” buat berita-berita yang muncul di media sosial. Bagaimana mau mengatakan itu tulisan berita yang jelek kalau saya sendiri nggak sanggup memastikan kalau itu tulisan berita?
Saya justru berpikiran, jangan-jangan itu cuma akun alter, fan page gadungan, atau apa pun dengan nama seolah-olah media. Kemudian membagikan informasi di dinding status dan dianggap sebagai berita. Syahdan, kebetulan pengikut, like, komen, dan yang membagikannya banyak.
Ketimbang menamai aksi akun-akun alter berkedok media itu sebagai aktivitas “menyebarkan berita”, saya lebih menyukai diksi “mengangkangi informasi”. “Mengangkangi”, ah… untuk membayangkannya saja sudah jijik, apalagi membacanya.
Tapi warganet, tak terkecuali saya, lebih menyenangi apa-apa yang mengangkang. Meskipun pada akhirnya harus rela dikangkangi.
Beberapa kali akun-akun alter berkedok media mengangkangi informasi, saya dan juga warganet sekitar saya, yang mungkin juga satu kota dengan saya tetaplah terperdaya. Tak kuasa berbuat banyak kalau sudah dikangkangi begitu.
Tatkala menaiki kereta tanpa gerbong, sebenarnya nggak ada yang mau naik. Namun karena cuma itu yang tersedia di jalur kereta api dan orang-orang terlanjur berdiri di atas peron, nggak ada opsi lain kecuali naik. Meski saat kereta tanpa gerbong itu melaju harus siap-siap terpontang-panting angin, kepanasan, basah kuyup kena hujan, resiko jatuh dan tergilas kereta dari arah yang berlawanan.
Baca juga : Kota Pekalongan Bikin Program Kesejahteraan Sosial Anak Integratif, Buat Apa ya?
Kita dipaksa mengonsumsi informasi lewat akun alter berkedok media. Itu terjadi karena kita lebih banyak menghabiskan waktu menyantap media sosial daripada sekadar mengetik Tribunnews di kolom pencarian Google. Kalau kalian bertanya, lho bukannya media kredibel juga menyebarkan link beritanya ke media sosial?
Tentu saya akan menjawabnya ringan dan ringkas: iya benar. Lalu saya akan balik bertanya ke kalian, apakah kalian mengklik link tersebut? Atau hanya membaca judulnya doang? Silakan jawab di hati kalian sendiri.
Butuh waktu untuk sampai ke informasi yang tersimpan di balik link yang menyebar. Celah itu yang dimanfaatkan akun alter berkedok media untuk mengangkangi informasi. Merebutnya dari media kredibel dengan menyediakan berita utuh di dinding lini masa, paling sering sih Facebook dan Instagram.
Pada akhirnya, sebagian—kecil atau besar—dari kita belum sampai pada masa yang ditulis AS. Laksana tadi. Sebab bagaimana mau sampai ke tulisan berita jelek, wong kita nggak tahu tulisan yang berseliweran di media sosial itu berita atau bukan. Kita sekadar bisa melihat siapa yang posting.
Pun begitu, masih dikelabui oleh akun alter berkedok media. Jangankan bertemu berita yang ditulis buruk, menemukan tulisan jurnalistik saja tidak. Paling mentok bertemu informasi yang salah urus. Informasi yang sukses dikangkangi.
BACA JUGA artikel Muhammad Arsyad lainnya.