KOTOMONO.CO – Perlawanan rakyat Indonesia terhadap kolonialisme di negeri ini tak sekadar berdarah-darah. Akan tetapi, juga dilakukan dengan banyak cara. Mulai dari diplomasi, pers, sampai melalui pengerahkan kekuatan militer. Tujuannya, merebut kembali kemerdekaan bangsa ini serta menegakkan kembali kedaulatan negeri ini.
Tulisan ini ingin menyajikan salah satu bentuk perjuangan yang rakyat Indonesia. Khususnya, lewat jalur militer. Jalur dengan risiko tinggi. Enggak cuma kalah-menang, melainkan pula bertaruh nyawa.
Tapi, kalau menuruti idiom “high risk high return“, maka patut kita menaruh respek pada mereka yang berani mengambil risiko ini. Sebab, di zaman sekarang, kalau kita diminta mengambil risiko tinggi semacam ini, belum tentu kita semua mau. Kecuali, ketika memang enggak ada pilihan.
Diakui atau tidak, keberadaan militer menjadi elemen penting bagi sebuah bangsa. Tanpa pasukan militer kewibawaan negara rentan untuk dijatuhkan. Tak harus dari bangsa lain, bangsa sendiri pun bisa turut menyumbang bagi keruntuhan wibawa tersebut.
Ini pula yang rupa-rupanya menjadi dasar pemikiran seorang pangeran dari Kesultanan Mataram. Dia pula yang akhirnya menginisiasi pembentukan pasukan militer. Bahkan, boleh jadi, ini pula yang menginspirasi bagi pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Siapa dia?
Sesepuh Mataram
Kata kunci pertama ini bukan semata-mata isapan jempol. Akan tetapi, dia memang tergolong sebagai pangeran yang disepuhkan oleh kerabat Keraton Mataram. Setidaknya, dapat dilihat dari gelar “Ki Ageng” yang disematkan pada nama pemberian Sultan Hamengkubuwono VII.
Sebagai informasi, gelar “Ki Ageng” biasanya dianugerahkan kepada seorang tokoh saat purna tugas kenegaraan atau setelah lengser dari jabatannya. Semasa masih aktif menjabat biasanya gelar yang disematkan adalah “Ki Gede”. Setelah sepuh, jabatan tersebut dialihterimakan kepada keturuannya dan sebagai sesepuh tokoh tersebut bergelar “Ki Ageng”.
Pangeran yang “Mrojol Selaning Garu”
Mrojol selaning garu kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia tepercul di antara sela-sela garu (alat penggaruk tanah sawah). Makna idiom ini untuk menunjukkan bahwa sang pangeran yang satu ini merupakan pangeran yang “agak lain”. Kok bisa?
Ya bisa! Sebab, pangeran yang satu ini nih punya cara pandang yang tidak sama dengan pangeran-pangeran lainnya. Sampai-sampai ingin banget mencopot gelar kebangsawanannya, gara-gara ia menyaksikan ketidakberesan di antara kerabat Keraton Mataram. Selain itu, dia juga dikenal sebagai seorang pangeran yang suka tirakat.
Gaya hidup sang pangeran juga sangat jauh dari kesan bangsawan pada umumnya. Ia tidak suka dengan kemewahaan dan kewibawaan yang artifisial. Ia malah nyaman-nyaman saja hidup bersama rakyat biasa. Bahkan, mau memeras keringat dan membanting tulang demi mendapatkan sesuatu. Ia memilih hidup sebagai rakyat biasa daripada menjadi bagian dari kerabat Keraton Mataram yang dipenuhi kepalsuan.
Julukannya Adalah Sang Matahari dari Mataram
Saat keinginannya untuk membredel gelar kebangsawanan dari namanya memuncak, sang ayah, yang tidak lain adalah Sri Sultan Hamengkubowono VII, malah menyematkan nama julukan lengkap dengan gelarnya. Sosok pangeran yang haus akan ilmu pengetahuan ini dipandang Sri Sultan Hamengkubuwono VII sebagai sosok yang mampu menerangi kegelapan Mataram. Maka, dijulukilah pangeran ini dengan nama Sang Matahari dari Mataram, dalam bahasa Jawa.
Tak ayal jika seorang Soekarno, Presiden pertama RI yang sekaligus Proklamator bangsa Indonesia, menjadikan ia sebagai sosok inspiratif. Malahan, sempat pula Soekarno belajar kepadanya. Sampai-sampai menjejerkan nama beliau dalam deretan nama-nama gurunya.
Nah, sampai di sini, pasti kamu sudah mengetahui, siapa sosok yang dimaksud. Yup! Tidak salah! Dia adalah Ki Ageng Suryomentaram. Lalu, apa saja sih jasa beliau sampai-sampai kita perlu mengenangnya? Ini nih jasa-jasa beliau!
Di Bidang Pendidikan
Jasanya di dunia pendidikan tak diragukan lagi. Apalagi saat ia berhasil membangun Taman Siswa bersama Ki Hajar Dewantara. Dua sahabat ini tergolong sosok yang memiliki kepedulian tinggi terhadap nasib bangsanya. Maka, tidak heran jika dalam perjalanannya, mereka merumuskan sendi-sendi kebudayaan yang kemudian juga dituangkan dalam upaya membangun kebudayaan itu melalui pendidikan.
Salah satu karya beliau yang paling fenomenal dalam dunia pendidikan adalah sebuah buku filsafat berjudul Kawruh Jiwa. Buku karangannya itu mengulas tentang jati diri manusia hingga perilaku ideal seorang manusia di dalam menjalani kehidupan. Bahkan, karena pemikirannya yang tergolong unik, membuatnya kerap diundang untuk memberi ceramah di berbagai tempat.
Melalui Kawruh Jiwa yang dikarangnya itu pula, lantas ia mendirikan Taman Siswa bersama Ki Hajar Dewantara. Ia juga didaulat menjadi pendidik di Taman Siswa. Di tempat ini, ia diberi tugas untuk membimbing para orangtua.
Istimewanya, Ki Ageng Suryomentaram rupanya mampu merasionalkan pengalaman spiritualnya. Walhasil, masyarakat mudah menerima apa yang beliau sampaikan. Tak heran, jika pemikiran beliau kerap dikaji oleh para akademisi, baik dari dalam negeri maupun manca.
Dr. Marcell Boneff, seorang peneliti dari Perancis, sampai rela berpayah-payah mengalihbahasakan gagasan Ki Ageng Suryomentaram ke dalam bahasa Perancis. Sementara, di Jepang, seorang guru besar di International Christian University Tokyo, Prod. Soemeya Yoshimichi, malah mengajarkan ajaran-ajaran Ki Ageng Suryomentaram.
Nah, sudah semestinya kita berbangga, karena bangsa ini memiliki Ki Ageng Suryomentaram. Namun, kebanggaan itu mestinya membuat kita malu pula, karena gagaran Ki Ageng justru asing di tanah negerinya sendiri. Kita malah masih menggunakan gagasan-gagasan dari bangsa lain tanpa mengenal gagasan bangsa sendiri. Aneh kan?
Selain mengajarkan ilmu-ilmu kehidupan. Ki Ageng Suryomentaram sering menyisipkan semangat revolusioner kepada rakyat. Tujuannya, agar tidak gampang tunduk pada kekuasaan kolonial. Tak ayal jika para aktivis gerakan sosial kerap meminta Ki Ageng Suryomentaram untuk menularkan gagasan revolusionernya.
Semangat Revolusioner Ki Ageng Suryomentaram
Di antara gagasan revolusioner Ki Ageng Suryomentaram adalah keinginannya untuk membentuk tentara yang diisi oleh rakyat. Beliau menganggap keberadaan tentara sangat penting untuk sebuah negara. Menurutnya, tentara adalah tulang punggung negara.
Namun, untuk mewujudkan gagasannya, Ki Ageng sangat berhati-hati melangkah. Salah satu pertimbangannya adalah masalah waktu dan menciptakan momentum. Terlebih pengawasan pemerintah Kolonial Belanda yang begitu ketat.
Ki Ageng Suryomentaram dan teman-teman diskusinya termasuk orang-orang yang masuk daftar merah. Setiap kali mereka mengadakan pertemuan, selalu dimata-matai PID (Politzeke Inlichtingen Dienst). Polisi bikinan pemerintah Kolonial Belanda ini mencatat serta melaporkan apapun isi diskusi kepada pemerintah kolonial. Mereka diberi kewewenangan untuk langsung menangkap siapa pun yang dianggap berbahaya bagi pemerintah. Bisa kita bayangkan bagaimana mencekamnya suasana diskusi saat itu, mental rakyat pada saat itu benar-benar diuji.
Tahun 1926, Ki Ageng Suryomentaram pernah ditahan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Penguasa saat itu menilai, pergerakan Ki Ageng Suryomentaram dianggap membahayakan pemerintah saat itu. Namun tak lama kemudian ia berhasil dibebaskan berkat upaya yang dilakunan oleh kakaknya, yakni Sultan Hamengkubuwono VIII.

Menginisiasi Berdirinya Tentara PETA
Peperangan antara Belanda (Sekutu) melawan Jepang mulai terendus. Tanah negeri Indonesia jadi rebutan. Kondisi itu membuat Ki Ageng Suryomentaram dan 12 tokoh lainnya yang tergabung dalam pertemuan Manggala Tiga Belas tegas menyatakan sikap penolakan rencana perang itu. Mereka tak rela Indonesia dijadikan sebagai palagan tempur.
Muncullah pernyataan dari Ki Ageng Suryomentaram kala itu. Bahwa, Indonesia memiliki tiga pilihan sikap. Pertama, membela majikan lama (Belanda). Kedua, ganti majikan baru (Jepang). Atau ketiga, menjadi majikan sendiri (merdeka).
Sayang, rencana itu tak bisa terhindarkan. Perang antara Belanda dan Jepang pecah. Jepang berhasil menundukkan Belanda. Beberapa tentara Belanda ditawan dan diusir dari tanah air. Dipulangpaksakan kembali ke tanah asalnya.
Setelah tanah negeri pertiwi ini diserahkan kepada Jepang, nasib bangsa Indonesia tak ubahnya lepas dari mulut singa namun masuk ke mulut harimau. Politik Pendudukan Jepang justru lebih menyengsarakan. Alhasil, Ki Ageng Suryomentaram mengusulkan agar dibentuk tentara. Gagasan itu disampaikan kepada tokoh 4 serangkai, yakni Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansoer.
Tak hanya itu, gagaran Ki Ageng Suryomentaram juga dikemukakan di hadapan Gubernur Yogyakarta, saat itu dipimpin oleh Kolonel Yamauchi. Saat itu, ia dibantu seorang dinas rahasia dari Jepang. Hasilnya, Ki Ageng diberi izin untuk membentuk tentara sukarela yang juga disebut tentara jelata, karena diisi oleh rakyat-rakyat bumiputra.
Pucuk dicita ulam tiba. Gagasan itu direspons dengan antusias oleh rakyat. Mereka berbondong-bondong mendaftarkan diri untuk menjadi tentara sukarela. Banyak dari mereka yang ingin berpartisipasi dan menjadi bagian dari tentara sukarela pimpinan Ki Ageng Suryomentaram.
Langkah lanjutan Ki Ageng Suryomentaram kemudian adalah menyusun semacam risalah. Berupa buku tentang dasar-dasar ketentaraan yang ia beri nama “Jimat Perang”. Isinya, tentang taktik perang dan semangat berani mati dalam perang. Tulisan inilah yang paling sering digemakan Bung Karno dalam pidato-pidatonya. Tujuannya, untuk membakar semangat rakyat Indonesia waktu itu.
Kepemimpinan Ki Ageng Suryomentaram rupanya tak berlangsung lama. Tentara Jepang buru-buru mengambil alih kepemimpinan PETA. Tentu, ada niat tersendirilah dari Pemerintah Pendudukan Jepang. Pemerintah Pendudukan Jepang berniat menjadikan tentara sukarela sebagai pasukan tambahan untuk melawan Sekutu.
Sedangkan pihak Indonesia diuntungkan dengan meningkatnya semangat revolusioner masyarakat Indonesia untuk merdeka. Lambat laun tentara sukarela diubah namanya menjadi tentara PETA (Pembela Tanah Air). Tentara PETA inilah yang disebut-sebut sebagai embrio dari terbentuknnya TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Berkat jasa-jasanya bagi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, pada tahun 1957 Bung Karno mengundang Ki Ageng Suryomentaram ke istana. Tujuannya, untuk dimintai pemikiran-pemikirannya tentang segala macam masalah bangsa saat itu. Demikian sekelumit tentang jasa besar Ki Ageng Suryomentaram dalam menginisiasi berdirinya tentara PETA. Semoga bermanfaat.