KOTOMONO.CO – Masak Pencemarah di Pekalongan nggak berani bicara politik uang? Wani tor Turah-turah! jane…..
Sekelompok orang ngerumpi di warung kopi. Sebagian perempuan setengah baya. Sebagian lain bapak-bapak yang biasa ikut rapat RT. Tidak ketinggalan pemuda yang usianya kalau ditaksir 25 tahunan.
Pemilihan kepala desa sebentar lagi. Dan orang-orang yang ngerumpi di warung itu sedang berunding. Kira-kira calon mana yang akan mereka pilih. Sayup-sayup terdengar, tetangga mereka juga mencalonkan.
Namun, tidak ada satu pun yang berniat untuk memilih si tetangga yang mencalonkan kepala desa. Kata salah seorang dari mereka, si tetangga ini tak memberi sepeser pun uang. Sementara calon lain akan memberi uang cash 100 ribu. Calon lainnya bahkan ada yang berani memberi 200 ribu.
“Kalau saya sih, tergantung siapa yang ngasih,” kata salah seorang di antara mereka. “Saya pokoknya yang paling banyak,” sahut yang lain. “Pak Anu sudah ngasih 100 ribu, masa saya nggak pilih dia?” Timpal yang lainnya lagi.
Politik Uang Lumrah
Kejadian itu hanya fiktif belaka. Tapi terbuka kemungkinan terjadi juga di sekitar kita. Belum lama ini saya juga terlibat obrolan semacam itu. Di obrolan itu, seseorang mengaku sudah menyerahkan fotokopi Kartu Keluarga untuk salah seorang calon legislatif.Katanya, orang yang menyerahkan fotokopi Kartu Keluarga akan mendapat uang 200 ribu.
Cukup banyak. Setidaknya dengan uang 200 ribu, biaya hidup seminggu tak perlu masuk pikiran lagi. Dengan sok tahu, saya bilang hal semacam itu tidak boleh. Suap namanya.
Tapi salah seorang dari obrolan itu justru berkata bahwa yang begituan lumrah. Bahkan di antara mereka tanpa tedeng aling-aling menyebut bahwa anak kyai yang nyaleg saja, melakukan hal semacam itu. Bahkan dengan sedikit rasa suci karena mengikuti anak kyai, orang ini bilang, itu suap, tapi suap yang dibolehkan.
Lewat obrolan itu saya menarik kesimpulan. Memberi orang lain uang supaya memilih si caleg bukanlah dosa. Ia tidak seperti kamu memberi segepok uang ke wasit agar tim kamu menang di sebuah pertandingan. Tidak pula seperti kamu memberi ratusan ribu ke orang yang bekerja di kantor dinas supaya kamu bisa bekerja di sana.
Biasa di Pekalongan
Praktik yang disebut politik uang itu kelak menjadi hal yang lumrah saja. Politik uang tidak berbahaya. Minimal tidak seperti politik hitam yang tujuannya menjatuhkan lawan politik lewat tudingan keji dan fitnah tak mendasar.
Politik uang juga berbeda kadar kerusakannya dibandingkan politik identitas yang sering dituduhkan ke salah satu calon presiden. Saking lumrahnya, di Pekalongan, baik kabupaten maupun kota, praktik politik uang sudah jamak terjadi.
Tak sedikit dari caleg dan calon pemilih yang terang-terangan menyambut praktek politik uang. Di Facebook, yang kebanyakan diisi oleh warga Pekalongan, lewat satu postingan saya menjumpai orang yang menanti uang dari para calon presiden. Seakan anjuran untuk tidak melakukan praktik politik uang hanya bau apek di jaket pak lurah.
Di-Fatwa Haram, tapi Bodo Amat
Politik uang memang tidak merugikan siapa pun. Calon pemilih? Tidak mungkin. Mendapat uang dari caleg justru kesempatan emas agar dapur makin ngebul. Calegnya sendiri? Rasanya kurang pas.
Caleg yang mempraktekkan politik uang pasti sudah mengukur resikonya. Sudah menimbang untung-ruginya. Saya kira resikonya baru akan muncul apabila si caleg ini gagal. Tapi apa ada caleg yang mempraktekkan politik uang, terus gagal? Hampir mustahil!
Politik uang baru akan merugikan orang lain apabila si caleg meraup modalnya dari hasil garong. Jika tidak, misalnya, modal itu didapat dari hasil jerih payah selama bertahun-tahun. Si caleg mengumpulkannya dengan penuh semangat seperti menyimpan uang untuk tabungan haji. Nggak masalah kalau begitu. Tidak ada yang dirugikan.
Lagi pula kalaupun ada yang dirugikan, si caleg pasti akan ditindak. Sejauh ini, tidak ada caleg atau pecutnya yang melakukan politik uang, kemudian dikepruki sekampung sebagaimana maling kotak amal masjid yang babak belur seperti baru dihajar gangster. Dengan begitu mustahil politik uang akan berhenti seperti gelar Liga Champions Manchester United.
Pernyataan saya itu terdengar pesimistis. Tapi percayalah, kenyataannya begitu. Nyamuk bisa dibasmi dengan fogging. Lapar bisa dibunuh dengan makan. Tapi politik uang tidak bisa diberangus dengan apa pun. Tak terkecuali dengan fatwa haram MUI. Lembaga yang mengorbitkan nama Ma’ruf Amin itu mengeluarkan fatwa haram politik uang. Silakan cek di Google.
Fatwa haram politik uang ada sebelum MUI memfatwa haram segala sesuatu yang mendukung agresi Israel ke Palestina. Fatwa yang akhirnya mendorong kemarahan masyarakat pada artis, publik figur, influencer, atau semacamnya yang dianggap memihak Israel.
Orang-orang pun mulai meninggalkan produk pro-Israel. Meski pada akhirnya MUI merilis pernyataan bahwa mereka tidak mengharamkan produk-produk tertentu yang konon disebut pro-Israel. Sayangnya kejengkelan masyarakat terhadap artis yang dianggap pro-Israel, meski belum terbukti, tidak bisa disalurkan ke caleg-caleg yang lihai mempraktekkan politik uang.
Pada mereka masyarakat justru makin sayang. Garis pembeda antara masyarakat penganut Pancasila dengan FIFA yang membanned Rusia tapi tak melakukannya pada Israel, memang sampai sini tak kelihatan. Pantas Presiden FIFA suka menyanjung Indonesia.
Butuh Penceramah
Apa yang membuat fatwa haram politik uang tak menjangkau masyarakat akar rumput? Mengutip Republika, pada Juni 2023, Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja menyampaikan, fatwa ini kurang disebarkan lewat ceramah-ceramah.
Saya hampir saja tidak percaya pada belio. Bagaimana mungkin fatwa sepenting itu tidak masif disebarkan, padahal kita tidak pernah kehabisan penceramah? Di era sekarang, kalau mau ketemu penceramah padahal gampang sekali.
Habis Subuh, nyalakan televisi, ada penceramah. Nyalakan radio habis Subuh, niscaya telinga kita seperti disiram air surga. Hampir semua saluran radio di Pekalongan, kalau habis Subuh ada saja yang ceramah.
Hari Jumat, jam 12 siang, datang saja ke salah satu masjid, ada tuh penceramah. Tanya ke marbot, kapan masjid itu ngadain pengajian rutin, di situ kamu akan ketemu penceramah. Buka YouTube, bertemu penceramah. Buka TikTok, penceramah nyelip di tengah video cewek berjoget memakai baju salah ukuran.
Di acara debat capres, di tribun pendukung, ada penceramah. Di pengumuman salah satu paslon, penceramah duduk di barisan paling depan. Di Twitter penceramah malah berkecambah. Penceramah banyak gini, kok nggak bisa mendistribusikan fatwa urgen tadi?
Sudahi Membual Fiqih dan Toleransi
Politik uang memang tidak merugikan orang lain. Tapi kehadirannya makin mengotori demokrasi yang sudah cemong. Ia menghancurkan moral dan etika bernegara. Jelas politik uang bukan budaya karena arahnya ke hal negatif.
Jelang Pemilu, para penceramah akan lebih baik mengurangi bicara fiqih. Mulai dikurang-kurangi membual soal toleransi beragama. Saya setuju kesadaran akan keberagaman perlu digalakkan.
Tapi kalau terus diomongin, apalagi di tengah masyarakat yang lebih butuh diarahkan memilih pemimpin yang baik ketimbang agama yang benar untuk saat ini, ayat-ayat toleransi sebaiknya disimpan sementara di kitab suci saja.
Penceramah di level akar rumput juga harus mulai menggalakkan fatwa haram politik uang, termasuk di Pekalongan. Mereka harus berani keluar dari zona nyaman. Sekali-kali bicaralah tentang Pemilu. Bicaralah masalah elektoral. Bicaralah betapa busuknya calon-calon wakil rakyat yang mengagungkan politik uang.
Jangan para istri mulu yang dijadikan objek sindiran karena nggak nurut sama suami. Sindir keras juga para ulama, anak-anak ulama, dan para pengikutnya yang mempraktekkan politik uang. Nggak berani? Tahu kok, itu bagian dari kalian sendiri, kan? Eh.