KOTOMONO.CO – Kira-kira penghapusan jurusan ini bencana atau solusi?
Bayangkan kamu sedang duduk di kelas SMA, dan tiba-tiba, guru mengumumkan bahwa jurusan seperti IPA, IPS, dan Bahasa akan dihapuskan. Sekilas, mungkin terdengar seperti berita bagus tidak ada lagi pembagian-bagian jurusan yang bikin pusing dan semua orang bisa belajar tentang apa saja. Tapi, apakah benar ini adalah solusi cerdas, atau malah bisa jadi malapetaka bagi dunia pendidikan kita?
Di tengah berbagai perubahan dalam dunia pendidikan, kebijakan penghapusan jurusan di tingkat SMA sedang menjadi topik hangat untuk diperbincangkan. Kebijakan ini diumumkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), yang mana adalah bagian dari implementasi Kurikulum Merdeka.
Menurut Anindito Aditomo, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, tujuan dari kebijakan ini adalah untuk memberi kesempatan kepada siswa agar bisa lebih fokus pada pelajaran yang sesuai dengan minat dan rencana pendidikan mereka. Dengan begitu, diharapkan siswa bisa membangun pengetahuan yang lebih relevan dengan bakat dan keterampilan yang mereka miliki.
Walaupun penghapusan jurusan tradisional dimaksudkan untuk membuat pendidikan lebih fleksibel dan memungkinkan siswa memilih mata pelajaran sesuai minat mereka, kenyataannya tidak semudah itu. Banyak orang melihat penghapusan jurusan sebagai langkah maju, namun ada juga dampak negatif yang patut dipertimbangkan dari kebijakan ini.
Hilangnya Arah dan Fokus
Salah satu masalah besar dari penghapusan jurusan adalah hilangnya struktur yang selama ini menjadi pegangan bagi siswa. Dulu, dengan adanya jurusan seperti IPA, IPS, atau Bahasa, siswa bisa lebih mudah menentukan fokus belajar mereka. Misalnya, jika kamu memilih jurusan IPA, jelas kamu akan mendalami pelajaran-pelajaran terkait sains dan matematika. Begitu juga jika kamu memilih jurusan Bahasa, kamu akan lebih banyak belajar bahasa dan sastra. Struktur ini memudahkan siswa untuk menetapkan jalur akademis yang sesuai dengan minat mereka.
Tanpa adanya jurusan, siswa harus memilih sendiri mata pelajaran yang ingin dipelajari, dan ini bisa jadi membingungkan. Mereka tidak lagi memiliki panduan yang jelas untuk menentukan pilihan. Bayangkan saja, tanpa adanya jurusan yang spesifik, siswa harus memikirkan dan mengatur kombinasi pelajaran sendiri. Hal ini bisa membuat mereka merasa cemas dan tidak yakin tentang mata pelajaran apa yang benar-benar sesuai dengan bakat dan minat mereka.
Selain itu, kurangnya bimbingan dan arahan yang tepat sering kali membuat siswa merasa terombang-ambing. Tanpa adanya jurusan, mereka mungkin merasa kesulitan dalam menemukan jalur yang paling sesuai dengan potensi mereka. Tanpa struktur yang jelas, banyak siswa yang kebingungan dan tidak tahu harus memilih mata pelajaran apa untuk mencapai tujuan mereka. Ini bisa mengakibatkan kebingungan dalam perencanaan akademis dan potensi yang terbuang sia-sia.
Hal ini selaras dengan yang disampaikan Endro Dwi Hatmanto, S.Pd., M.A., Ph.D. Pakar Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dikutip dari umy.ac.id, yang menyatakan bahwa Tanpa adanya jurusan khusus seperti IPA atau IPS, siswa bisa kehilangan fokus dan tidak mendalami bidang tertentu yang mereka minati. Ini bisa mengakibatkan kurangnya pengetahuan mendalam di area yang mereka suka dan berpotensi mempengaruhi kesiapan mereka untuk melanjutkan studi di bidang tersebut nanti.
Beban Berat Bagi Guru dan Sekolah?
Menurut Iman Zanatul Haeri dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) dikutip dari NU Online, kebijakan Kurikulum Merdeka yang memungkinkan siswa memilih mata pelajaran sesuai minat mereka justru menghadirkan tantangan dalam mengatur kelas dan ketersediaan guru. Sekolah besar mungkin bisa beradaptasi dengan lebih mudah, namun sekolah kecil yang punya fasilitas dan sumber daya guru terbatas akan menghadapi banyak kesulitan.
Karena para siswa diwajibkan memilih mata pelajaran yang mereka minati. Tak jarang terdapat beberapa mata pelajaran yang sepi peminat dan ada juga yang melebihi kapasitas karena banyak peminatnya dalam satu kelas. Akibatnya, jam kerja guru bisa berkurang, dan kualitas pengajaran mungkin terpengaruh karena keterbatasan tenaga pengajar. Jadi, meskipun kebebasan memilih mata pelajaran terdengar menarik, pelaksanaannya bisa jadi rumit, terutama bagi sekolah dengan anggaran dan sumber daya yang terbatas.
Menghapus jurusan di SMA bisa jadi langkah yang menjanjikan, tetapi tentu saja ada beberapa tantangan yang harus diperhatikan. Tanpa adanya jurusan, siswa mungkin akan kehilangan arah dan fokus dalam belajar, para guru dan sekolah yang harus menghadapi beban tambahan. Selain itu, persiapan siswa untuk melanjutkan ke perguruan tinggi bisa kurang optimal.
Jadi, apakah penghapusan jurusan adalah solusi brilian atau bencana pendidikan? Jawabannya mungkin terletak pada bagaimana kita melaksanakan kebijakan ini. Dengan perencanaan yang hati-hati dan pelaksanaan yang bijaksana, penghapusan jurusan bisa menjadi langkah maju yang membuka banyak peluang bagi siswa. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, perubahan ini bisa menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian.