Kotomono.co – Hadir di tengah keributan menjelang Pilgub DKI 2017, lautan massa bernama 212 menyedot perhatian publik. Berawal dari slip tongue mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, tentang surat al-Ma’idah ayat 51, gerakan yang diinisiasi para ustaz, kyai, dan habib se-Jakarta itu tampil laksana ombak yang menghantam kapal sang petahana saat gelaran Pilgub DKI 2017.
Pasca insiden slip tongue Ahok itu, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI sebagai embrio 212 menggelar aksi di pusat ibukota republik. Gerakan ini baru meraup diskursus panas publik ketika 4 November 2016 GNPF MUI menggelar aksi 4 November alias 411. Habib Rizieq Syihab (HRS) lekas tampil sebagai tokoh sentralnya, yang sepak terjang dan kharismanya menjadi diskursus panas, baik yang pro maupun kontra.
Puncaknya, aksi serupa digelar kembali, namun berlokasi di Monas dan dengan jumlah massa yang jauh lebih banyak. Terbukti, massa yang direncanakan hanya sampai di bibir komplek Monas, ternyata mengular sampai kawasan Sudirman-MH Thamrin. Aksi 212 bukan saja berlangsung di Jakarta, namun juga di sejumlah daerah lainnya, termasuk Kota Malang tempat saya tinggal saat ini.
Saya tadinya turut bersimpati dengan aksi 212. Sejak 1998, baru kali ini ada gerakan umat Islam yang berskala masif di Monas yang notabene simbol ibukota Indonesia dan berjarak tak jauh dari Istana Merdeka. Bagaimana tidak viral, wong sekelas gelombang demonstrasi Mei 1998 saja paling banter cuma bisa menguasai gedung DPR/MPR RI.
Pasca Anies Baswedan-Sandiaga Uno keluar sebagai pemenang Pilgub DKI 2017 setelah melewati drama putaran kedua versus Ahok-Djarot, aksi 212 ternyata masih eksis. Saban tahunnya Persaudaraan Alumni 212 (PA 212) menggelar reuni di tempat yang sama ketika 212 digelar.
Hal itu terus berlangsung, setidaknya sampai 2019. Meski memang, ‘keberhasilan’ 212 mempengaruhi jalannya Pilgub DKI 2017 tak terulang di Pilpres 2019, di mana Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang didukung 212 malah kalah dengan Presiden Joko Widodo- Wapres KH Ma’ruf Amin.
Hal lain yang membuat saya sempat menilai positif aksi 212 adalah, pasca aksi super damai itu digelar, mereka mengumumkan ke publik akan membuat minimarket dan koperasi. Kedua entitas tersebut, yang sama-sama dinamai 212, merupakan langkah cerdas 212 mengelola solidaritas umat Islam yang kala itu mulai terbangun menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi (setidaknya) internal umat Islam itu sendiri.
BACA JUGA: Kiat-kiat Agar Reuni 212 Tidak Lagi Anyep dan Sepi Peminat
Namun demikian, saya melihat 212 semakin hari bak truk tronton yang bensinnya sudah di titik nadir dan dikendarai oleh sopir yang sudah kelelahan setengah mati. Kalau bukan mandek total, ya masih berjalan tetapi terseok-seok.
Sebagai contoh saja, Anda bisa menyimak dari opini yang keluar dari pentolan PA 212 macam Novel Bamukmin, yang terkesan asal bicara hingga membuat oposisi menjadi bahan tertawaan publik. PA 212, singkatnya, tak lebih dari pertunjukan gimik gelandangan politik Indonesia kontemporer.
Saya perlu waktu cukup lama untuk merenungkan kelimbungan 212 pasca Pilpres 2019. Hingga akhirnya, saya tiba pada kesimpulan bahwa ada satu poin penting yang dilupakan dan menyebabkan gerakan 212 tak lagi eye-catching sebagai gerakan sosial-politik umat Islam.
Setengah Hati Menggarap Isu Kongkret Umat Islam
Dulu di artikel Meretas Fenomena Politisasi Masjid di Indonesia, saya pernah mengutip pernyataan Kuntowijoyo (1985) bila solidaritas politik umat Islam terlalu rapuh, sehingga seringkali bubar jalan bila Pemilu selesai. Hal ini diakibatkan umat Islam, terkhusus massa 212, lebih sibuk bicara soal isu abstrak, semisal formalisasi syariat Islam menjadi produk hukum perundang-undangan yang sesuai isi pikiran para elit dan pendukung 212.
Keberadaan Minimarket 212 dan Koperasi 212 yang gaungnya sempat nyaring pada awal pendiriannya nyatanya lenyap begitu saja hari ini. Bukan hanya itu, Koperasi 212 bernasib lebih tragis karena dikait-kaitkan dengan skandal perputaran uang Aksi Cepat Tanggap (ACT) pada 2022 lalu.
BACA JUGA: Antara Depok, Kaesang, dan Skeptisisme Darrell Huff
Saya sendiri belum sempat melihat wujud Minimarket 212 itu seperti apa. Kalaupun sempat, saya hanya melihat secuplik di film Hayya: The Power of Love 2 yang digarap artis pendukung 212 seperti Fauzi Baadila.
Kedua produk bisnis berbasis umat Islam itu memang patut terguling sebelum tegak lebih kokoh karena semua energi dan dana umat Islam dalam gerakan 212 habis hanya untuk reuni saban tahun dan beropini politik melulu. Padahal, Kuntowijoyo sudah mewanti-wanti agar umat ini lebih serius mendalami sektor sosial-ekonomi yang sangat dibutuhkan solidaritas di dalamnya.
Ah, 212 sudah meruntuhkan harapan saya pada minimarket dan koperasinya. Padahal, keduanya dibangun dengan solidaritas umat Islam sebagai modal utamanya, bukan dengan pinjaman bank sebagaimana para kapitalis.
Kesalahan yang mestinya tak perlu dilakukan, meski oleh akar rumput yang kontra pemerintahan sekalipun, adalah terus-menerus berhadap-hadapan dengan pemerintahan. Baiklah bila pemerintahan saat ini terus memproduksi sejumlah kebijakan yang merugikan segala sektor kehidupan umat Islam di Indonesia. Namun, apakah hanya sebatas beropini liar dalam melawan zalimnya pemerintahan?
Maaf saja, 212 hari-hari ini bak sabda Nabi “seperti buih di lautan, banyak tapi tak terarah dan tak solid”. Lalu, harus bagaimana ke depannya? Saya punya solusinya berikut ini.
Fungsi yang Diabaikan 212 Padahal Potensial
Tampaknya semua yang bernaung di 212 wajib banget belajar apa itu everyday-maker. Konsep politik partisipasi warga ini ditemukan pada 1999 oleh dua akademisi dari Denmark, Henrik Bang dan Eva Soriensen, yang meneliti kegiatan warga di sebuah kota kecil di pinggiran Kopenhagen yang berusaha memenuhi sendiri kebutuhan sehari-harinya yang tak kunjung dipenuhi pemerintahnya. Everyday-maker sendiri berakar dari budaya perlawanan warganya, sehingga kemudian ini menjadi bentuk kritikan pada pemerintahnya.
212 sebetulnya sudah bisa menjalankan fungsinya sebagai everyday-maker, alih-alih sekedar berteriak-teriak menuding pemerintahan Joko Widodo ini-itu. Banyak masjid di Indonesia yang takmir dan jamaahnya condong sebagai oposan, sehingga tenaga, pikiran, dan uangnya mudah digaet 212. Entah ingin menghidupkan lagi minimarketnya atau merevolusi koperasinya menjadi lebih bersih lagi, 212 bisa banget melakukannya bersama para takmir dan jamaah masjid itu.
BACA JUGA: Memahami Aksi Mendadak Klaim Pejabat: Jangan Mikir Pendek!
Ya, seperti yang sudah dibilang Kuntowijoyo, umat Islam itu banyak dan majemuk. Sayang kalau semuanya gerudukan masuk sektor politik, lalu mengabaikan sektor lainnya seperti sosial, ekonomi, budaya, sains, dan lain-lain. Rasanya, konsep berjamaah dalam membangun umat Islam harus diinterpretasikan dengan jeli sebagai langkah awalnya.
Berjamaah dalam kacamata saya bukanlah sekian banyak orang beramai-ramai masuk sektor tertentu sih, melainkan menyebar ke semua sektor tetapi masih berkoordinasi secara terstruktur. Umat Islam harus ada yang sukses menjadi politikus, akademisi, ekonom, sosiolog, saintis, budayawan, dan lain-lain.
Bila itu dilakukan, maka saya jamin umat Islam yang selama ini dicitrakan katrok dalam berpolitik, beragama, dan bernegara dapat bertransformasi menjadi umat Islam yang mandiri, cerdas, dan berdaya saing. 212 takkan terus menerus memproduksi narasi ‘umat Islam sedang dizalimi struktur’ karena akan sibuk membangun negara dari taraf akar rumput.
212 tak perlu jauh-jauh ke luar negeri untuk belajar menjadi everyday-maker. Ada Muhammadiyah yang boleh menjadi patokannya karena telah terbukti sukses membangun beragam amal usaha yang bisa mensejahterakan umat Islam dan turut berkontribusi dalam membangun republik. 212 harus mau belajar pada Muhammadiyah yang meski memasang sikap oposan, namun tetap membantu pemerintah membangun bangsa.
Saya yakin banyak orang pandai dalam beragam bidang yang turut serta dalam 212. Karenanya, saya berharap sekali bahwa gerakan 212 bisa direvitalisasi dengan cara-cara akademik supaya tak lagi menjadi gelandangan, melainkan pelakon utama pembangunan nasional. Sekarang sudah bukan zamannya akar rumput seperti 212 melakukan politik oposan yang asal tabrak saja, karena rakyat membutuhkan bukti bukan janji kosong semata.