Kotomono.co – Kamu ingin agar Rumah Tangga Bahagia? Hilangkan dulu doktrin Mencintai Pasangan Apa Adanya!
Kata orang bijak yang biasa bicara tentang rumah tangga, usia pernikahan 1 – 5 tahun identik dengan cobaan dan cobaan. Entah itu adaptasi sikap antar pasangan, ekonomi, campur tangan orang tua, karier yang naik turun, dan lain sebagainya. Saya dan suami kebetulan sudah mengalami semuanya. Ditambah dengan baby blues syndrom yang saya alami di kelahiran anak saya yang pertama, membuat saya berubah menjadi orang yang bukan saya lagi.
FYI, Saya adalah seorang istri yang dinikahi suami saya sejak bulan Februari tahun 2018. Jika dihitung, sudah lebih dari lima tahun saya membina rumah tangga. Di usia pernikahan tersebut, saya telah dikaruniai dua orang anak. Anak pertama berjenis kelamin laki-laki lahir pada November tahun 2018. Kemudian anak yang kedua perempuan lahir pada bulan Maret tahun 2023.
Kala itu selepas melahirkan, hobi saya menangis dan melamun hampir tiap hari. Dampaknya, ASI buat si kecil seret dan harus disambung dengan susu formula. Tak hanya itu, posisi LDM (Long Distance Marriage) juga saya alami. Suami bekerja di luar kota, hanya bisa pulang tiap akhir pekan. Ah..sungguh nikmat luar biasa.
Untungnya memasuki tahun 2020, badai Covid-19 melanda begitu kencang. Suami saya berhenti kerja dan pulang kampung kembali seatap dengan saya. Kurang lebih selama enam bulan, keluarga kecil kami kocar-kacir memenuhi segala kebutuhan karena otomatis suami jadi pengangguran yang sah. Saya yang bekerja sebagai guru honorer hanya cukup untuk membantu belikan susu dan popok untuk anak. Untungnya saya belum ambil KPR, boleh dikata saya masih numpang di rumah orang tua.
Seiring berjalannya waktu, suami sudah mendapat pekerjaan yang lumayan dekat rumah. Saya pun masih aktif mengajar. Perlahan faktor ekonomi bisa kami teratasi.
Apakah semuanya berjalan dengan mulus? Ternyata tidak. Dan inilah yang ingin saya sampaikan.
Jika dahulu saya dan suami hidup dengan LDM, gesekan-gesekan antar sifat belum terasa. Namun begitu tiap hari bertemu ada saja yang membuat saya kaget karena banyak sekali perbedaan perilaku yang saya dan pasti suami juga rasakan. Intinya lima tahun pernikahan ini penyesuaian antara sifat saya dan suami masih terus berjalan setiap hari.
BACA JUGA: 5 Macam Love Language Menurut Dr. Grey Chapman, Yuk Kenali!
Tidak bisa dipungkiri, Saya ini termasuk perfectionist ingin semua teratasi sesuai dengan arahan. Sedangkan suami cenderung lebih santai dan kalem. Itu artinya saya yang selalu saja bengak-bengok ingin ini ingin itu. Padahal, saya tidak bisa melakukan semuanya sendirian. Alhasil, saya seringkali mendapat petuah dari suami agar lebih pelan-pelan dan luweh nerimo (lebih menerima).
Dalam kasus lain misalnya, tentang posisi meletakkan kunci motor. Saya biasa tertib meletakkan kunci motor di tempat yang sama. Sedangkan suami selalu meletakkan kunci motor di sembarang tempat sesuai kata hatinya waktu itu. Kadang di meja, saku jaket, atas almari, dan tak jarang masih tertancap di motor. Itu kelihatan aman jika ingat meletakkannya di mana. Lha wong seringnya lupa we. Akhirnya cek-cok tidak bisa dihindari hanya karena sebuah kunci motor.
Walaupun masalahnya sepele, namun kejadian itu berulang dan terkadang membuat suasana yang tadinya damai menjadi ambyar karena saya dan suami sering berdebat membahas kekurangan masing-masing.
Usai suasana kembali damai, saya menurunkan ego dan suami juga melakukan hal tersebut. Kami sering duduk bersama dan terlibat dalam kompromi yang dibangun sesantai mungkin.
BACA JUGA: Yang Perlu Dipersiapkan Individu Ketika Bersedia “Dilangkahi” Adik Menikah
Sifat dan sikap yang sudah telanjur dibawa sejak sebelum menikah nyatanya tidak bisa hilang begitu saja ketika sudah menikah. Mencintai pasangan apa adanya itu adalah teori saja. Praktiknya? NOL BESAR !
Tak ada yang bisa hidup tanpa tuntutan dari masing-masing individu yang disebut suami ataupun istri. Kamu itu harusnya begini, kamu itu mestinya bantuin, dan kalimat-kalimat lain yang mewajibkan pasangan kita melakukan sesuai apa yang kita inginkan.
Saya jadi teringat lagu dari Tulus yang berjudul ‘Jangan Cintai Aku Apa Adanya’. Dalam lirik lagu tersebut disebutkan beberapa makna bahwa ada seorang pasangan yang istrinya menerima apapun segala sifat dan sikap dari sang suami. Entah itu hasilnya kurang maupun salah, sang istri menerimanya dengan ikhlas dan tidak pernah marah.
Lalu apa hasilnya? Sang suami ternyata tidak bahagia dengan sikap sang istri. Dia justru ingin istrinya mengatakan apa yang sebenarnya dia inginkan dan menuntut suaminya untuk melakukan apa yang ada di benaknya. Belajar dari lagu tersebut, dalam kehidupan nyata suami dan istri memang tidak bisa mencintai pasangan dengan apa adanya. Suami kudu menjadi pemimpin yang baik dengan menuntut istrinya menjadi pribadi yang lebih dewasa dari sebelumnya.
BACA JUGA: Beda Kacamata Cinta Antara Laki-laki dan Perempuan
Misalnya saja, dahulu saya mudah marah dan cengeng ketika sedang menghadapi masalah. Setelah menikah, saya diajarkan suami untuk bisa meredam emosi dan bertutur kata yang baik dan bisa lebih kuat dalam berbagai situasi. Sebaliknya, dahulu suami saya sewaktu muda sering keluar malam sekadar nongkrong dengan temannya. Saya protes. Akhirnya perlahan kebiasaan itu dikurangi dan lebih mementingkan waktu dengan keluarga.
Dan pada akhirnya. seiring berjalannya waktu saya dan suami lebih saling memahami tentang kebutuhan masing-masing dan kebutuhan sebagai pasangan. Itu bertambah ketika punya anak. Ada tanggung jawab yang tidak bisa dilaksanakan sendirian. Kerja sama antara suami dan istri wajib dilakukan tanpa ada kata tidak.
Saling menuntut untuk menjadi lebih baik demi mewujudkan rumah tangga yang harmonis perlu dikerjakan. Kompromi antara suami dan istri juga diperlukan setiap hari agar indahnya cinta tetap bersemi dan mewangi. Bukankah begitu?