KOTOMONO.CO – Matahari di Senin pagi itu terhalang mendung. Dari balik kaca jendela, pemandangan di luar rumah tampak teduh. Ada kabar dari istriku, hari itu hari terakhir bagi sahabat baik saya untuk melakukan isolasi mandiri. Artinya, esok hari ia boleh kembali melakukan aktivitas seperti sedia kala.
Ya, sahabat baikku itu mesti menjalani masa isolasi mandirinya selama 14 hari. Tepatnya, sejak ia menerima hasil swab test dari Dinas Kesehatan. Ia memang positif. Tapi tak bergejala. Badannya sehat-sehat saja. Tak ada rasa sakit yang diderita. Tak juga ada gejala aneh pada tubuhnya.
Tentu, orang-orang di sekelilingnya tak begitu saja percaya. Mereka beranggapan jika hasil tes itu keliru. Tetapi, sahabat baik saya yang seorang guru swasta itu cukup tahu diri. Ia berusaha meyakinkan kepada orang-orang di sekelilingnya, jika hasil tes itu benar. Sontak, orang-orang di sekelilingnya merasa kehilangan daya. Cemas dan rasa takut bercampur. Cemas pada akibat yang diterima sahabat saya itu, kalau-kalau ia diasingkan dan dikucilkan. Takut, kalau-kalau mereka juga ikut terkena dampaknya. Ah, rasanya seperti dunia nyaris bubar.
Beruntung, ia punya istri yang baik. Istrinya yang juga ikut swab test, hasilnya negatif. Tetapi, itu tak membuatnya merasa lebih baik kondisinya dari sang suami. Sebaliknya, ia harus merelakan suaminya untuk menjalani isolasi mandiri. Mereka berjarak. Tetapi, hati mereka saling meguatkan dan saling meyakinkan satu sama lain. Sebagaimana dalam ikrar mereka saat melangsungkan pernikahan. Berat memang, tetapi itu harus dijalani demi keselamatan bersama.
Hal yang semakin membebani mereka adalah ketika mereka harus berhadapan dengan sikap atasan mereka. Awalnya, atasan mereka bersikap antipati. Bahkan, nyaris “mengeluarkan” mereka dari tempat mereka mendidik murid-murid mereka. Mula-mula sang suami yang menerima perlakuan tak mengenakkan itu dari atasannya. Ketika hendak mengajukan izin, atasannya malah memintanya untuk mengundurkan diri. Mungkin karena takut bercampur kalut. Lantas, istrinya juga kena perlakuan yang nyaris sama. Atasan sang suami menelepon pihak sekolah tempat istrinya mengajar. Ia lantas diistirahatkan.
Sedih? Sudah tentu. Di tengah terpaan badai kehidupan mereka harus menerima sikap yang demikian. Tetapi, memang tidak bisa dipungkiri, perlakuan itu dilakukan barangkali atas dasar rasa cemas yang berlebihan.
Saya yang mendengar kabar itu pun tak terima. Saya merasa ini tidak adil. Ketika orang butuh dukungan moral dan dorongan mental, eh malah ditekan dan didiskreditkan. Saya pun langsung menuliskan kabar itu ke dalam sebuah status facebook yang cukup panjang. Saya geram kala itu.
Kini, setelah hampir dua minggu tak menghirup udara di luar rumah, kabar yang saya dengar darinya, ia baik-baik saja. Alhamdulillah! Sehat dan bugar. Saya bahagia mendengar kabar itu. Artinya pula, saya punya kesempatan untuk menanyakan hal-hal lain. Tetapi sebelum saya menanya, sahabat baik saya ini tanggap. Ia menceritakan apa yang dilakukannya selama isolasi.
Katanya, ada hal yang patut disyukuri selama isolasi. Selama itu ia lebih banyak punya kesempatan untuk menulis. Tentang apa saja. Ia banyak mencatat hal-hal yang selama ini bergelantungan di otaknya. Hal-hal yang terpikirkan namun luput untuk ia catat.
Katanya lagi, kegiatan menulis itu dapat membantunya melewati masa isolasi itu dengan baik. Ia bisa lebih menata pikirannya, sehingga tak dicengkeram oleh bayangan-bayangan buruk. Ia bisa lebih mencurahkan perhatiannya pada persoalan-persoalan yang tertimbun dan dituangkan dalam tulisan-tulisan pendek. Ia mendapatkan banyak inspirasi untuk menjalankan hidup yang berdaya.
Ya, berdaya. Untuk apa hidup jika tak berdaya? Tanpa berdaya, bagaimana pula manusia akan bahagia? Daya itulah yang membuat semangatnya terus menyala. Pikiran dan tubuhnya menjadi padu padan. Bersenyawa dalam menghadirkan kebangkitan.
Sampai di sini, saya menyela. Menanyakan tentang kebenaran kabar soal “pemecatannya” itu. Dijawabnya, pemecatan itu tak jadi dilakukan. Alhamdulillah, ya Allah. Sikap atasannya melunak dan mau menerima keadaan. Malah, ia mendapatkan banyak simpati dari teman sejawat. Donasi pun berdatangan. Dukungan dan dorongan untuknya ikut mewarnai hidupnya. Ia mendapatkan banyak perhatian dari semua orang. Lega saya mendengarnya.
Tetapi, ada satu hal lagi yang kutanyakan. Bagaimana rasanya menerima vonis itu? Ia menjawab, masa isolasi itu tidak lebih menakutkan dari vonis itu. Justru selama menjalani masa isolasi, banyak cinta yang berdatangan padanya. Kawan-kawan sejawatnya tak lupa menanyakan kabar atau sekadar menyapa lewat japrian. Sedang si pemberi vonis tak pernah sekalipun menanyakan kabar. Ini yang disayangkannya. Seolah-olah, setelah vonis itu jatuh ia dianggap tak ada lagi di dunia ini. Oh!
Mestinya, katanya, sapalah yang divonisnya. Tanyakan kabar. Atau sekadar memberi saran harus melakukan apa. Tetapi, tak sekalipun telepon berdering dengan nomor salah seorang dari mereka yang dihidupi oleh lembaga pemvonis Covid-19 itu. Bahkan, di hari terakhir isolasi.
Ya, di hari terakhirnya menjalankan isolasi tak ada telepon masuk. Mungkin untuk menanyakan perkembangannya. Atau untuk mengetahui bagaimana keadaannya sekarang. Atau memberi saran harus bagaimana. Apakah harus menjalani swab test lagi atau tidak. Sama sekali tak ada deringan telepon di atas meja.
Di hari terakhirnya itu, ia putuskan untuk sementara melanjutkan masa isolasinya. Mungkin sampai Desember ini. Itu dilakukannya agar orang-orang di sekelilingnya teryakini, bahwa ia telah pulih betul. Tetapi saya curiga, jangan-jangan itu dilakukan untuk menyelesaikan tulisan-tulisannya. Barangkali kelak bisa jadi novel. Siapa tahu. Kalau iya, saya siap jadi penerbitnya. Ih promosi! Ahai!