Kotomono.co – Dibandingkan kota-kota satelit lainnya, Depok seolah datang dari semesta lain. Begitu kata teman saya sewaktu kali. Terlebih, saat ini muncul nama Kaesang Pangarep yang digadang-gadang menjadi penguasa baru kawasan ini. Sebutannya lebih nyeleneh lagi.
Beragam peristiwa acapkali disajikan Kota Belimbing ini, dari yang membuat decak kagum hingga geleng-geleng kepala. Dari fenomena babi ngepet, aksi pembegalan, sampai pernyataan sejumlah pejabat daerahnya.
Yang terakhir ini tak kalah penting, apalagi mengingat sederet kabar menyangkut perpolitikan dalam negeri cukup menyita perhatian baru-baru ini. Nama Kaesang Pangarep pun jadi kata kunci hangat di mesin pencari, sah menjadi media darling.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu belakangan, saya kembali mengunjungi Kota Depok. Berangkat dari arah Jakarta Selatan, Jalan Margonda yang terkenal itu otomatis tak luput dari trek yang saya lalui.
Sejak pindah ke sebuah kontrakan di bilangan Ciputat, saya kian jarang berkendara ke kota yang memiliki 11 kecamatan ini. Melintasi Jalan Margonda saat rush hour, belum “afdal” rasanya bila kaki tidak turun dari motor: Ya, Anda (wajib) bergelut dengan kemacetan!
BACA JUGA: Agar Liga Lancar, Aparat Keamanan dan Angin juga Harus Disuruh Tertib, Pak Erick!
Kalau beruntung, Anda tak perlu repot-repot memijakkan kaki di depan kampus BSI Margonda yang berada di sebuah tikungan yang menanjak. Namun, jika sedang apes, ada baiknya untuk bersabar di sepanjang kiri jalan sampai gapura “Selamat Datang” terlihat.
Setelah itu, siapkan sekarung ketabahan sampai Anda berhasil menggapai lampu merah persimpangan Juanda-Margonda. Tak berhenti sampai situ, jangan lupakan kepadatan Jalan Raya Bogor dan wilayah Grand Depok City di kala Senin pagi.
Bagi yang bermobil, silakan menyetel radio kesayangan atau memutar playlist yang tersedia, lengkap dengan AC yang dingin. Tetapi kalau Anda merupakan seorang pedestrian, ratusan wajah para pengendara motor menunjukkan hampir semuanya: Lelah, pusing, sumpek, hingga stres.
BACA JUGA: Privasi Selebritas dan Konsumsi Publik yang Menggila
Mengendarai motor di tengah lautan manusia, puluhan bahkan ratusan wajah hampir pasti menampakkan wujudnya dari segala penjuru, termasuk para pengemis dan gerobak berisi bocil-bocil yang terlelap. Saya lantas bertanya, bagaimana kekusutan ini bisa terjadi?
Kemiskinan yang Belum Tuntas
Pengalaman bermacet ria mengilhami saya untuk mengubek-ubek rak buku yang sempat terabaikan untuk Mmemperbarui hobi lama dan menganalisis hubungan antara ribuan muka masam di tengah kesemrawutan lalu lintas dan kemiskinan.
Menurut The Recovery Village, seseorang yang mengalami kemiskinan berisiko dua kali lebih besar mengidap depresi dibandingkan mereka yang tidak mengalami situasi ekonomi yang problematik.
Hal ini terjadi karena kemiskinan dapat membebani kesehatan fisik maupun mental. Tak sedikit orang yang mengalami masalah ekonomi mesti bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhannya. Kondisi ini bisa memicu tekanan pada mental yang biasanya berujung stres.
BACA JUGA: Apa yang Bisa Diharapkan dari Pesantren dengan Pengajar Cabul?
Intinya, penelitian di atas mengutarakan bahwa tingkat stres yang tidak dikelola dengan baik sanggup menyebabkan depresi yang mengganggu kesehatan mental seseorang.
Mari bermain dengan statistik. BPS Kota Depok mencatat bahwa persentase penduduk miskin Kota Depok tahun 2022 sebesar 2,53 persen dan menduduki urutan nomor satu terendah se-Jawa Barat. Persentase penduduk miskin Kota Depok tahun 2022 ini pun berhak menempati peringkat ke-5 dari 514 kabupaten/kota se-Indonesia.
Adapun BPS Kota Depok menerapkan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) dalam mengukur kemiskinan. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemerintah Kota Depok tidak buruk-buruk amat dalam mengelola dan mengimplementasi kebijakan publik. Namun sayangnya, tumbuh keraguan dalam diri saya.
Darrell Huff dan Manipulasi Data
“There are three kinds of lies: lies, damned lies, and statistics,” begitulah kata mantan Perdana Menteri Inggris, B. Disraeli.
Saya pun mengambil buku berjudul How to Lie with Statistics karangan Darrell Huff. Buku yang hampir berumur 70 tahun ini menyatakan bahwa data sangat memungkinkan untuk memanipulasi manusia. Bagaimana bisa?
Salah satu unsur primer dalam melakukan penyajian data secara statistik yakni penggunaan jumlah sampel. Sampel harus berjumlah cukup dan bersifat acak. Sebab, apabila jumlah sampel terlalu sedikit maka tidak relevan secara statistik.
BACA JUGA: Memahami Aksi Mendadak Klaim Pejabat: Jangan Mikir Pendek!
Contohnya begini: Sebuah koin yang memiliki dua sisi kepala mempunyai persentase sebesar 50 persen. Jika koinnya dilempar 10 kali, kira-kira berapa banyak sisi kepala yang akan muncul? Seumpama sisi kepala diprediksi muncul sebanyak tujuh kali, hasilnya mungkin tepat atau malah sebaliknya
Lantas, mengapa sisi kepala tidak muncul sebanyak tujuh kali sesuai estimasi? Hal ini lantaran percobaan tidak diulang dalam jumlah yang cukup sehingga timbul bias kesempatan (biased by chance). Semakin sering lemparan koin diulang, kemungkinan untuk mendapatkan peluang 50 persen pun semakin tinggi.
Dengan demikian, pengumpulan data idealnya menggunakan sampel dalam jumlah yang signifikan secara statistik untuk menjamin hasil percobaan yang terhindar dari bias kesempatan seperti lemparan koin tadi.
Belum lagi perihal manipulasi angket yang (biasa) dilakukan untuk menggiring responden kepada jawaban tertentu, manipulasi responden untuk memilih responden tertentu, serta manipulasi waktu untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Semoga segenap ihwal di atas tak dilupakan pihak BPS Kota Depok.
Harapan yang Klise tapi Perlu
Sejauh ini, belum ada langkah konkret untuk menjawab persoalan kemiskinan di Kota Depok. Fasilitas seperti transportasi publik yang memadai, menurut hemat saya, sudah sejatinya diperluas—tak hanya sebatas pelebaran trotoar atau pembangunan underpass yang (sempat) terlalu diglorifikasi itu.
Perkara upah minimum kota (UMK) pun dapat dikaji lebih lanjut. Pasalnya, penanganan soal melonjaknya harga pangan dan bahan bakar sejatinya belum menemui titik terang. Data kemiskinan sebagai dokumen laporan hendaknya berbanding lurus dengan yang terhampar di lapangan, mengingat maraknya manipulasi data yang dilakukan elite politik.
Pertanyaannya, apakah Kaesang (atau siapa pun itu) adalah sosok yang tepat sebagai calon pengganti Wali Kota Depok? Hal ini bisa dijawab kelak. Sebab, ada isu yang mau tak mau harus tetap diindahkan terkait kota berpenduduk tak kurang dari 2 juta manusia ini, yaitu perihal kemiskinan dan ketimpangan.
Saran saya, tidak ada salahnya jika para calon sesekali mengunjungi jalanan Kota Depok di jam-jam sibuk (tentunya tanpa patwal), kolong jembatan layang atau gang-gang sempit di pinggiran pasar tradisional. Sebab, bisa saja skeptisisme saya terhadap statistik milik BPS Kota Depok benar adanya.