Pekalongan – Fakta dari cerita asal-usul sejarah perkebunan Kopi di wilayah Pekalongan tidak terlepas dari tangan dingin Adipati Pekalongan yang bernama Djayadiningrat atau Tan Kwee Djan yang merupakan Adipati dari kalangan Tionghoa.
Budidaya kopi di Pekalongan awalnya juga mengalami kesulitan. Kopi merupakan komoditas komersial baru karena sebelum tahun 1707 produksi kopi hanya berasal dari Yaman. Hanya dalam jangka waktu 20 tahun kemudian produksi kopi Jawa dari Periangan sudah bisa setara dengan Yaman.
Gubernur Joan Van Hoorn pada tahun 1709 mulai membudidayakan kopi dengan mengirim 10 peti berisi bibit kopi untuk ditanam di wilayah Semarang. Namun, budidaya ini mengalami kegagalan karena Bupati Semarang tidak mengerti tentang tata cara penanaman kopi. Kondisi pertanian di daerah pesisir Pantai Semarang ternyata tidak cocok untuk tanaman kopi.
Mendengar cerita ini, Bupati Pekalongan Djayadininrat yang memiliki jiwa kewirausahaan rupanya tertarik untuk membangun investasi dari perkebunan kopi yang dinilai akan memberi keuntungan besar. Pada 1715 Jayadiningrat I mulai menanam sebanyak 4 ribu bibit kopi. Ternyata 500 biji diantaranya tumbuh dengan hasil yang cukup baik di Pekalongan bagian Selatan. Bisa dipastikan bahwa daerah Selatan yang dimaksud adalah Wilayah Doro, Talun, Kajen, Paninggaran dan Petungkriyono.
Baca juga : Sosok Adipati Djayadiningrat (Tan Kwee Djan)
Padalah sebelumnya para petinggi VOC di Batavia sempat merasa pesisimis. Dalam waktu 3 tahun, Djayadiningrat melaporkan pada VOC, bahwa Ia telah memiliki 30 ribu tanaman kopinya dengan pertumbuhan sangat baik. Lalu pada tahun 1719 tanaman kopi milik Jayadiningrat telah mencapai 40 ribu pohon. Dengan demikian tanaman kopi Pekalongan meningkat secara proporsional.
Pada tahun 1722 Pekalongan bisa menghasilkan 500 kilogram biji kopi. Selanjutnya dalam perkembangannya pada tahun 1726, Adipati Jayadiningrat mampu menghasilkan sebanyak 35 ton Biji Kopi Jawa Berkualitas. Dan pada 1733 produksi tahunan telah mencapai lebih dari 59 Ton. Kopi komoditas baru yang menguntungkan bagi penguasa pesisir dan merupakan tanaman ideal untuk daerah pegunungan.
Popularitas kopi naik karena harga lada sedang turun pada tahun 1723- 1735. VOC membayar harga kopi dengan cukup mahal pada masa itu, yaitu 20 rix-dolar per pikulnya. Namun VOC mampu menjualnya lebih mahal dipasaran internasional. Pada tahun 1726 wilayah Banyumas juga mulai mengekspor hasil kopi dari kebunnya, sehingga produksi kopi jawa meningkat tajam.
VOC khawatir hal ini akan berdampak buruk dengan membanjirnya kopi di pasaran,sehingga VOC kemudian membeli kopi dengan harga murah yaitu 9 rix-odlar untuk per pikulnya. Meskipun demikian, produksi kopi dari Pekalongan maupun Banyumas masih cukup besar. Pada tahun 1731 harga kopi di Eropa anjlok.
Baca juga : Sejarah Pasar Sentiling (Banjarsari) Pekalongan
Hal ini membuat kemarahan petinggi VOC yang kemudian membasmi semua kopi di seluruh wilayah Mataram.Kesimpulannya adalah budidaya kopi bisa dikatakan sukses berkat semangat kewirausahawan dari para bupati yang berkuasa di wilayah pesisir. Bupati Djayaningrat banyak menginvestasikan uangnya karena memiliki kekuasaan sehingga bisa mengendalikan kekuasaan di wilayahnya.

Bagian keuntungan dari kerajaan bisnisnya diinvestasikan kembali sehingga keuntungannya bisa berlipat-lipat dan hasilnya juga meningkatkan posisinya secara politik di kerajaan Mataram.
Baca juga : Sejarah Awal Mula Budidaya Tanaman Indigofera di Pekalongan
Dengan demikian hingga saat ini kita masih bisa melihat dan menikmati Kopi asli Pekalongan yang masih eksis di dataran Doro, Talun, Petungkriyono, Kajen dan Paninggaran. Semua itu berkat investasi seorang Tan Kwee Djan.
(Ensiklopedia Tokoh Pekalongan – Dirhamsyah, 2011)