“Membaca tanpa menulis adalah bentuk konsumerisme yang laten”
KOTOMONO.CO – Saya menemukan kutipan itu di sebuah pembatas buku dari salah satu toko buku. Kutipan itu beneran nampar saya. Lah gimana, saya nggak terlalu sering membaca, apalagi menulis. Saya memang layak disebut konsumerisme karena terlalu banyak membaca, terlampau sedikit menulis.
Lantaran merasa kena gampar, kutipan tersebut bikin saya tersulut semangat. Saya nggak mau lagi konsumtif. Kalau saya membaca, maka saya harus menulis. Hingga pada akhirnya, menulis adalah sebuah kewajiban yang harus saya lakukan. Bila perlu setiap hari. Bahkan karena quote tersebut, ketika membaca saya justru memikirkan apa yang musti saya tulis. Jadi saya tak serta merta lepas dari pikiran untuk terus menulis.
Kemarin, atau beberapa hari lalu, saya bertemu teman-teman penulis yang notebene sudah punya nama di Kota Batik. Saya merasa minder waktu duduk di samping teman-teman yang telah menulis novel. Apalagi saya bukanlah seorang penulis yang punya nama. Jangankan nama, saya sendiri ragu menyebut diri saya sebagai penulis. Kita kesampingkan dulu perdebatan soal penulis. Itu bisa dibahas di lain kesempatan.
Namun yang bikin saya terperangah, di pertemuan itu, ada yang melontarkan pertanyaan yang bagi saya sulit dijawab. Seorang pria bertanya apakah banyak membaca juga perlu banyak menulis? Katanya, dia kesulitan menyusun kata-kata, padahal selama ini dia telah membaca banyak buku. Saya tidak mau berdebat apakah dia sungguh-sungguh membaca banyak buku atau tidak.
Akan tetapi saya lebih menyoroti pada pertanyaan pria itu. Pertanyaan yang merepotkan dan amat tidak penting. Dan kalaupun narasumber tidak menjawab bukanlah sebuah dosa. Tapi lantaran si pria tadi mungkin sudah bayar buat mengikuti acara, narasumber segan tidak segan menjawabnya.
Pria tersebut mungkin berpikir bahwa ketika sering membaca buku, dia mampu menulis yang bagusnya setara Goenawan Mohamad atau paling tidak para penulis di Wattpad. Memang bukan kekeliruan jika menyebut Goenawan Mohamad, Muhidin M. Dahlan, Mahbub Djunaidi, dan macam-macam penulis yang kamu kenal sebagai seorang kutu buku. Membaca adalah modal dalam menulis tapi bukan faktor paling esensial.
Kamu kira Goenawan Mohamad mampu menelurkan buku-buku seri Catatan Pinggir hanya karena beliau banyak membaca? Kamu kira Agus Mulyadi, si redaktur Mojok itu awalnya sangat suka membaca? Goenawan Mohamad mungkin saja tak mampu melahirkan Catatan Pinggir jika tak memulai menulis. Puthut EA juga ogah-ogahan merekrut Agus Mulyadi, jika pria asal Magelang itu tak memulai menulis di blog.
Sedangkan Mark Zuckerberg seorang yang hobi membaca buku, tapi saya belum pernah dengar Mark menulis sebuah buku. Beliau malah membuat media sosial yang hingga jam ini masih dipakai jutaan orang di dunia. Ia terkenal karena Facebook bukan karena karakter rekaan Harry Potter laiknya JK. Rowling. Bill Gates pun sama, dia tak menulis buku seperti sang istri. Bill Gates justru dikenal sebab dia menelurkan software canggih yang masyhur: Microsoft.
Meskipun menulis dan membaca bersandingan dalam ranah keliterasian, kesusastraan, atau apa pun kamu menyebutnya. Pada hakikatnya, membaca dan menulis adalah dua entitas yang terpisah. Keduanya merupakan kata kerja yang berlainan makna. Seseorang bisa memilih untuk membaca saja tanpa menulis. Begitu pula sebaliknya, setiap orang berhak menulis tanpa perlu membaca terlebih dahulu. Parkara tulisannya bagus ataupun kacau itu dibahas belakangan.
Memang benar Zen RS pernah berkata bahwa intinya untuk membuahkan satu tulisan yang cemerlang, butuh membaca buku yang tidaklah sedikit. Namun perlu digarisbawahi, menulis tak sejelimet itu, pun tak semudah kelihatannya. Puthut EA menyebut menulis itu rumit. Tapi kalau saya, lebih rumit lagi jika kita tak henti-hentinya memikirkan untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana Menulis?”
Kita tak bisa merumuskan seperti apa dan bagaimana menulis andai tak sekalipun mencobanya. Seperti dalam film The Teacher’s Diary, murid yang tinggal di desa terapung di pedalaman Thailand amat mustahil mengetahui kereta api. Sehingga sang guru pun mesti berusaha semaksimal mungkin agar murid-murid itu merasakan bagaimana rasanya naik kereta api. Kendati sekadar sekolah apungnya yang ditarik speedboat.
Tatkala ditanya, menulis itu apa? Saya akan menjawab menulis itu membuang sampah. Eitsss… nggak usah marah dulu. Kamu-kamu tidak lantas berpikir bahwa kamu sedang membaca sampah ini. Tidak, tidak begitu saudara-saudara.
Sederhananya, setiap manusia menghasilkan sampah. Sampah itu macam-macam kawan. Jangan kamu pikir di dalam tempurung kepalamu itu tak berjibun ratusan bahkan ribuan sampah. Apalagi otakmu itu terus bekerja, tak mengenal jam, tak peduli ini tanggal merah atau bukan. Tiap hari bekerja dan selama itu pula sampah dihasilkan. Bertumpuk-tumpuk dalam kepala.
Nggak selamanya sampah yang berjubel dalam kepalamu bisa kamu muntahkan lewat mulut. Ada sampah yang memang diproduksi supaya keluar menghasilkan tulisan-tulisan. Karena selain butuh mendengarkan, manusia juga perlu membaca. Nah apa yang ada dipikiranmu itu tulis saja semua. Tumpahkan segala sampahmu dalam untaian kata-kata yang ngawur. Sebab ngawur dalam menulis adalah sebuah keniscayaan.