KOTOMONO.CO – Minggu (31/10) sore, Pekalongan digrujug hujan. Kletis-kletis saja sih, tapi ya cukup untuk memaksa saya menunda pergi ke Museum Batik Pekalongan. Padahal, ada kegiatan yang kudu saya ikuti. Pelatihan Hand Lettering yang dipandu Komunitas Pekalongan Nulis. Ndilalah hujan tidak berlangsung lama. Cuma setengah jam.
Begitu hujan sudah reda, saya pun memilih bergegas ke acara Belajar Bersama di Museum Batik. Sampai di lokasi ternyata acaranya sudah mulai. Saya sempat disapa panitia, namun itu hanya sebentar. Lekas-lekas saya memilih masuk ke ruangan. Dan, benar saja, acara memang sudah mulai.
Di ruangan itu, saya lihat seseorang tengah berdiri di depan. Ia menjelaskan tentang apa itu seni Hand Lettering kepada semua peserta yang duduk berlesehan. Posisi duduk yang berbeda dengan pelatihan sebelumnya, pelatihan Doodle Art.
Di depan masing-masing peserta ada meja lipat ukuran mini yang biasa digunakan anak-anak untuk belajar. Jadi, kesannya mirip-mirip ruang les gitu. Yang membuat kesan beda lagi, saya perhatikan, kali ini peserta perempuan lebih banyak. Mungkin karena Hand Lettering itu membutuhkan tangan-tangan yang lembut dan halus ketika mengalun.
Di hadapan peserta, sang mentor menjelaskan materi pelatihan persis seperti mahasiswa presentasi tugas. Ada pptnya, materi juga dibagi, dan yang terakhir, tidak ada yang nanya.
Proses penyampaian materi memang nggak terlalu lama. Namanya juga pelatihan. Jadi, peserta pun langsung diajak untuk praktik membuat Hand Lettering.
Seorang pemateri, kita sebut saja Baren, mulai mempraktikkan di papan tulis. Mulai dari fase layout. Ini bukan layout buku, tapi layout untuk menentukan posisi kata yang bakal dibuat. Anggap saja seperti kerangkanya, tapi karena pemateri bilangnya layout, ya kita manut saja.
Lalu, Baren mulai mengayunkan tangannya. Indah sekali dilihat. Ayunan tangan itu mengingatkan saya ketika dulu belajar kaligrafi. Tapi yang ini nulis huruf latin, bukan Arab. Sembari menulis, Baren pun menjelaskan bahwa dalam Hand Lettering pertama tentukan dulu kata yang mau ditonjolkan.
Misalnya, dia menulis “Museum Batik Pekalongan”, tapi Baren hanya menonjolkan kata “Batik”. Ya sudah. Batik yang dibikin seindah mungkin. Sebab pada dasarnya, Hand Lettering adalah seni menulis tangan dengan indah.
Peserta pun mempraktikannya. Ada yang pakai semacam gambaran kasar dulu di kertas, ada pula yang pede banget langsung menulis di media kayu yang disediakan. Semua bebas, dan semua tidak ada yang salah. Begitu kata pemateri kelak di akhir acara yang bisa saya simpulkan.
Pada praktiknya, peserta juga dibebaskan mau nulis apa saja. Yang penting tidak lebih dari tiga kata, mengingat keterbatasan waktu dan bidang gambarnya. Peserta diberi waktu 20 menit untuk menulis. Siapa saja yang paling bagus menurut pemateri akan diberi bingkisan dari Komunitas Pekalongan Nulis.
Tentu saja hal itu membuat peserta semangat. Mereka akan berusaha sekeras apa pun untuk menghasilkan karya terbaik. Hasilnya, seorang peserta perempuan diminta maju. Dan, benar, dialah yang dianggap memiliki hasil terbaik.
Kelak saya berkenalan dengan perempuan itu. Dia adalah Khairunnisa’ Karima, yang mengaku siswi SMA 1 Wiradesa. Perempuan yang tampak begitu anggun dengan kacamata besar itu dipilih menjadi yang terbaik versi pemateri dan mendapat bingkisan. Tentu saja, hal itu membuatnya bahagia.
“Alhamdulillah seneng, sih. Nggak nyangka banget tadi,” ungkap Nisa. Dia sendiri mengaku minat dengan seni Hand Lettering. Meskipun, akhir-akhir ini memang jarang sekali praktik. Nisa hanya mencoba ketika dia ingin mencoba saja, kira-kira begitu. Dia juga awalnya tidak tahu informasi tentang kegiatan ini.
“Saya awalnya nggak tahu dari grup-grup mana pun. Tapi, saya tahu infonya dari saudara teman saya,” katanya.
Usai acara, kebetulan yang punya kesempatan buat ngobrol sejenak dengan para pemateri. Tentu kesempatan ngobrol itu saya manfaatkan buat bertanya lebih jauh tentang Hand Lettering. Baren bilang kalau Hand Lettering dan Tipografi itu berbeda.
“Kalau Hand Lettering itu ditulis manual, mas. Sedangkan Tipografi hanya menata. Jadi, tipografi itu pakainya font di komputer atau laptop yang sudah tersedia, tinggal ditata,” jelas Baren.
Namun, Baren juga menjelaskan bahwa Hand Lettering ada yang versi digital. Yaitu dibuat langsung di laptop menggunakan pan tab, sejenis alat menggambar digital. Tapi dalam praktiknya bener-bener menulis dengan tangan sendiri, hanya saja menggunakan alat tambahan untuk ke digital itu tadi.
Hal itu berbeda dengan tipografi yang cuma mengetik. Kemudian dipilih font-font yang sudah tersedia, lalu ditata sedemikian rupa.
Nah, untuk komunitas Pekalongan Nulis sendiri, sebetulnya sudah ada sejak 2017. Uniknya, mereka mulai saling mengetahui dari nonton sebuah video Hand Lettering anak Lampung. “Ada yang komen dari Pekalongan. Dilihat kok ternyata banyak, ya sudah kita kumpul,” kata Baren.
Selama pandemi ini, komunitas Pekalongan Nulis tidak begitu aktif. Meskipun karya-karya mereka masih bisa dinikmati di Instagram @pekalonganulis. Namun, sayangnya, obrolan kami tidak bisa sampai lama.
Teman-teman dari komunitas mesti melanjutkan kegiatan lain dan panitia mesti menata ulang ruangan untuk kegiatan lain lagi. Sedangkan saya sendiri harus menulis laporan kegiatan ini.
===================
Reporter : Muhammad Arsyad
Editor : Ribut Achwandi