KOTOMONO.CO – Hampir setiap saya tanpa sengaja menguping obrolan tetangga, saya mendengar keluhan tetangga soal repotnya punya anak perempuan. Apalagi sudah dikategorikan sebagai anak perawan atau gadis. Katanya, ngurusi anak gadis itu serba repot. Harus menjaganya dengan perlindungan ekstra ketat dan keras.
Hmm… sebagai bagian dari populasi masyarakat dunia yang jumlahnya lebih besar dari laki-laki, saya tak mau menelan mentah-mentah celemongan itu. Hemat saya, kalau memang merepotkan, mengapa bayi yang terlahir sebagai perempuan masih ada? Banyak pula. Tahun kemarin, 2019, target angka kelahiran perempuan masih berkisar antara 2,1 hingga 2,6.
Kalau angkanya masih cukup tinggi, berarti kerepotannya juga masih tinggi dong!? Wah, blaik! Tapi, sebentar. Apa sih yang dimaksud dari istilah “repot”-nya tetangga itu? Saya penasaran.
Saya pasang kuping lagi. Eh ternyata bin jebule, repotnya itu karena soal hubungan sosial. Ya, kata tetangga saya itu, anak perempuan itu selalu jadi sorotan warga di kampung. Setiap gerak-geriknya selalu diteropong. Kalau sedikit saja melakukan kekeliruan, alias dianggap menyalahi aturan main di masyarakat, dia bisa saja langsung dikasih stempel “nakal” alias “mbeling”!
Nggak heran juga, para orang tua kerap merasa repot harus sering-sering ngomel. Kasih petuah dan nasihat kepada anak-anak perempuan mereka. Bahkan, sebagai senjata andalannya, kadang diposisikanlah ibu sebagai penasihat. Ia akan menasihati anak perempuannya dengan memberi pagar-pagar tertentu. Tidak boleh melakukan ini, tidak boleh berbuat itu. Tidak boleh bergaul dengan si anu, tidak boleh berteman dengan si itu.
Rasa-rasanya, aturan untuk anak perempuan seperti setumpuk buku yang sampai sundul langit. Beda jauh dengan aturan yang diberikan pada anak laki-laki. Hanya setinggi atap rumah. Larangan demi larangan tanpa pasal diterapkan. Bahkan hal sepele seperti makan di ambang pintu rumah atau di teras pun dilarang.
Sementara larangan makan di pintu rumah itu diserukan, anak laki-laki seperti tak dibebani hal yang sama. Ia bebas saja melakukan itu. Sepertinya aturan itu hampir tak pernah berlaku buat anak laki-laki. Kok bisa gitu ya? Oke. Kalau maksudnya untuk menjaga kesopanan, it’s all right. Nggak ada masalah sih. Cuma mengapa aturan itu lebih ditekankan pada anak perempuan?
Ada lagi. Aturan soal keluar rumah malam-malam. Anak laki-laki sepertinya punya kelonggaran aturan. Sementara anak perempuan, jangankan keluar malam-malam. Keluar siang pulang kesorean saja bisa jadi masalah kok. Alasannya selalu klise. Tak baik pulang terlambat. Tetapi, pada intinya, keluarga cemas jika anak perempuannya pulang melebihi jam malam yang sudah ditentukan. Orang tua dan seluruh anggota keluarga cemas jika itu terjadi. Bukan hanya soal keselamatan anaknya, melainkan pula khawatir jika perilaku anak perempuannya itu jadi bahan gunjingan tetangga. Beda banget dengan anak laki-laki.
So, jelas kan? Beda cara pengasuhan orang tua terhadap anak laki-laki dengan perempuan. Nggak heran kalau anggapan memiliki anak perempuan lebih merepotkan dibanding anak laki-laki yang semakin kental.
Padahal, nggak ada bedanya kok. Sama-sama merepotkannya. Baik anak laki-laki maupun perempuan perlu pendidikan dasar, tata krama, fasilitas kesehatan, dan dukungan pengembangan karirnya. Nggak ada yang lebih mudah, juga yang lebih merepotkan. Seorang anak, terlepas dari gendernya, harus dididik dengan baik agar menjadi pribadi yang mampu bertahan dan baik dalam hidupnya kelak.
Laki-laki akan menjadi suami
Jika anak perempuan selalu dikhawatirkan karena kelak bakal jadi istri, maka anak laki-laki pun kelak akan jadi seorang suami. Dalam tradisi Jawa misalnya, pada umumnya anak lelaki akan meminang perempuan untuk ia persunting sebagai istrinya. Itu artinya, anak laki-laki kelak akan meminta kepada pihak keluarga perempuan agar si lelaki mendapat restu untuk “mengambil” putrinya. Dengan begitu, lelaki mesti bertanggungjawab penuh atas keberlangsungan hidup istrinya. Artinya, suatu saat nanti anak lelaki pun memiliki tanggung jawab untuk merawat istrinya.

Makanya, seorang lelaki harus jadi laki-laki yang baik bagi seorang perempuan dan membuatnya hidup bahagia. Ia tidak hanya berkomitmen dengan perempuannya. Tetapi, juga kepada keluarganya. Segala kemungkinan yang menimpa pada keluarga istrinya kelak, juga akan menjadi bagian dari tanggung jawabnya.
Lantas, apakah tanggungjawab itu mudah? Pastinya tidak. Semua lelaki bisa meminang perempuan dan menjadi seorang suami, tapi tidak semua laki-laki bisa menjadi suami yang baik.
Berdasarkan pengalaman memilukan yang saya dapati dari bisik-bisik tetangga dan timeline ataupun linimasa media sosial, tak sedikit hubungan antar suami istri menjadi kacau. Penyebabnya jalinan komunikasi yang buruk antar keduanya. Selisih paham di antara suami-istri yang melibatkan aksi adu kata sampai terdengar telinga tetangga. Jika rumah mereka senyap, maka bisa jadi jari jempol mereka yang saling mengadu di linimasa. Atau bahkan telapak tangan sudah ada luka membekas di tubuh perempuan (baca: KDRT).
BACA JUGA: Dear Orang yang Pamer Lamaran di Medsos, Yakin Bakal Lanjut Nikah?
Saya tidak sedang mengatakan laki-laki selalu temperamental atau perempuan selalu benar. Hanya mengapa mereka tidak bisa menjadi suami yang baik? Mengapa pula mereka kurang bisa menghargai perempuan? Padahal sejak kecil sudah diperlakukan lebih bebas dan penuh maklum dibandingkan perempuan.
Ketimpangan inilah yang sejatinya membuat kaum lelaki merasa lebih berkuasa. Ia merasa pegang kendali atas hak siapa pun, termasuk perempuan. Padahal, sekali lagi, keduanya memiliki hak dan kewajiban masing-masing.
Laki-laki akan menjadi ayah
Laki-laki tak hanya bertanggung jawab menjadi seorang suami. Ketika istrinya melahirkan, ia akan bergelar sebagai ayah. Maka dari itu ia juga harus menjadi suami yang baik. Sebab saya tidak yakin suami yang buruk bisa menjadi ayah yang baik.

Peran ayah ketika mengayomi keluarga tentu sangat penting. Sebab ia akan menjadi teladan bagi anaknya secara langsung. Tanggung jawab seorang ayah bukan cuma pada nafkah secara lahir, melainkan juga kedekatan emosional terhadap anak. Ini penting.
Bagaimana seorang ayah bisa menjadi benteng ketika anak perempuannya menangis karena perlakuan teman lelakinya? Apa yang harus ayah lakukan ketika anak lelakinya membutuhkan teman diskusi masalah pria? Serta hal-hal yang terlihat kecil namun sangat berarti dalam perkembangan anak.
Menurut Chitra Annisya, psikolog Tiga Generasi, anak yang dekat dengan ayahnya akan memiliki perkembangan motorik yang bagus. Dari sisi psikologis, kedekatan ayah dan anak membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat dan positif. Tangguh dan memiliki kepribadian yang baik.
Jika demikian, sudah barang tentu mendidik anak laki-laki juga perlu dilakukan dengan benar. Apalagi tanggung jawab laki-laki kelak ketika dewasa sama besarnya dengan anak perempuan. Jadi, lebih baik punya anak laki atau perempuan?