KOTOMONO.CO – Emang boleh semiskin itu????
Saat nyekrol media sosial, saya menemukan video kericuhan di salah satu konser. Dalam informasi di dalam video itu, kericuhan itu terjadi di sebuah konser di Wonopringgo, Kabupaten Pekalongan. Pemicunya, menurut keterangan video tersebut, penonton yang nggak beli tiket memaksa masuk dengan melempari segala macam benda.
Kebiasaan yang setahu saya cuma ada di sepak bola, ternyata juga bisa dipraktekkan di dunia per-konser-an. Namun, fenomena semacam ini saya rasa bukan barang langka. Apalagi kita ini kan hidup di sebuah negara yang, seruan agar menyiram kloset setelah digunakan saja harus ditempel di toilet.
Tapi khusus di Pekalongan, jujur saja, ini baru pertama kali saya tahu ada kejadian semacam itu. Maklum, saya anaknya ibu saya, bukan anak konser. Bahkan datang ke konser, belum pernah sekalipun saya niatkan.
Ketika membaca beberapa komentar di video itu, saya berkesimpulan bahwa banyak yang mempertanyakan, kok nggak punya tiket mau nonton konser? Ya kalau nggak mampu beli tiket, mending di rumah saja. Rebahan. Atau, nonton obrolannya Bambang Pacul sama Puthut EA di Putcast Mojok. Atau buka Facebook, menyimak Grup Pekalongan Curhat.
Tentu tulisan ini nggak akan berhenti sampai situ doang. Nyuruh rebahan, mencaci maki, dan menyumpah serapahi orang-orang di video sudah dimandatariskan kepada komentator di sana.
Menonton video kericuhan itu, saya kok justru kepikiran bagaimana caranya supaya hal itu nggak terjadi lagi. Lewat permenungan yang dalam, saya menemukan langkah-langkah jitu supaya hal semacam itu tidak terjadi lagi di setiap gelaran konser di Pekalongan.
Perketat Keamanan
Saya yakin konser yang ricuh bukan hanya karena penontonnya yang meninggalkan moralnya di dalam kloset. Tapi karena pengamanannya yang tidak ketat. Pihak aparat keamanan seakan-akan tidak pernah bersiap untuk kemungkinan terburuk.
Sering kali konser yang ricuh bertambah parah ketika aparat keamanan tidak bisa bertindak. Dan mereka acap kali kekurangan personil. Mungkin, mungkin lho ya, ini karena aparat keamanan, khususnya di Pekalongan, kota maupun kabupaten sering bercengkrama dengan ulama, para kyai, dan para habaib.
Nah, para ulama, habaib, dan para kyai selalu mengajarkan kita untuk tetap berprasangka baik. Dalam mengamankan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan kerumunan seperti konser, mungkin saja aparat keamanan yang berjaga memegang teguh prasangka baik.
Orang-orang yang akan menonton konser akan sangat mungkin memegang nilai-nilai akhlakul karimah. Apalagi jika konsernya itu digelar di Kota Santri. Tapi harusnya sih, walau demikian, memperketat keamanan tetap perlu.
Jika aparat keamanan saja tak cukup, bisa kali pinjam ormas bentar. Banser, Lindu Aji, Pemuda Pancasila, itu coba sekali-kali ikut mengamankan konser. Oh, sudah ya? Kalau sudah pernah ya syukur. Kalau bisa konsisten. Kan keren apabila aparat keamanan dan ormas bisa menyatu. Soal masyarakat entar nggak bisa bedain mana ormas mana aparat keamanan, bisa diurus di lain waktu.
Nggak Usah Ada Tiket
Miris menonton video yang saya ceritakan ini. Sampai segitunya orang-orang ingin nonton konser tanpa tiket. Lha kalau gitu, mending besok-besok kalau bikin konser nggak usah pakai tiket. Apalagi jika tiketnya mahal.
Rakyat mau nonton konser saja harus beli tiket itu gimana? Lagi pula konser itu kan biasanya digelar di lapangan, tempat umum, semua orang bisa menjangkau. Masa mau nonton konser di tempat umum saja harus bayar? Ini menyengsarakan rakyat namanya!
Padahal kan, konser tanpa tiket enak. Wong pakai tiket atau nggak sama saja. Lihat noh konser Coldplay kemarin. Yang nggak punya tiket aja bisa masuk, yang punya malah sampai semaput di luar GBK nggak bisa masuk.
Mau ada tiket atau nggak, konser bisa saja jebol. Panitia pada akhirnya menyerah dan pintu masuknya dibuka buat semua orang. Lha kalau begini, buat apa pakai tiket?
Naikkan Gaji Buruh di Pekalongan
Komentar-komentar di video yang sedang saya ceritakan ini, kebanyakan menghina orang-orang yang ricuh sebagai orang miskin. Manusia-manusia yang nggak mampu beli tiket tapi maksa nonton konser. Hmmm…. Setelah saya cek, harga tiket konser yang dimaksud sebetulnya nggak mahal-mahal amat. Yah… Nggak sampai seratus ribuan.
Tapi dengan harga tiket segitu, masih banyak warga Pekalongan yang nggak mampu beli dan terpaksa menghalalkan segala cara untuk masuk ke venue. Lucunya sampai bikin kerusuhan. Saya nggak akan menyalahkan mereka yang ricuh karena memaksa masuk venue konser.
Bagi saya fenomena ini justru menunjukkan problem lain. Kericuhan terjadi karena orang ingin nonton konser tanpa tiket. Mengapa nggak mau beli tiket? Harga tiketnya, untuk ukuran mereka, mahal.
Mengapa bisa dianggap mahal? Karena mereka nggak sanggup beli. Mengapa nggak mampu beli? Sebab uang mereka nggak cukup buat beli tiket. Mengapa uang mereka nggak cukup? Karena gajinya dikit.
Sampai sini pasti ada yang bilang gini, “Kalau gajinya dikit, nggak usah nonton konser, dong!” Yaelah bro, orang nonton konser mah buat senang-senang. Bisa menjadi salah satu kewajiban sendiri apalagi jika yang di atas panggung adalah sang idola.
Momentumnya bisa jadi cuma hari itu doang, gimana coba? Belum tentu tahun depan si band atau grup tersebut akan tampil lagi. Nah, istilah tiket konser mahal nggak akan muncul kalau gaji buruh di Pekalongan memadai.
Masalahnya nggak semua buruh di Pekalongan gajinya UMR, lho. Boro-boro UMR, separuhnya saja bisa jadi nggak. Terlebih orang-orang Pekalongan tuh sering menganggap gaji UMR sudah tinggi sekali. Kalau gajinya saja masih sedikit, katakanlah 300 ribu per bulan, ya mohon maaf, tiket konser seharga 20 ribu saja pasti banyak yang memilih nunggu jebolan.
Nggak Usah Ada Konser
Nggak perlu saya jelasin lagi, kan??????