Kotomono.co – Malam Minggu kemarin saya nonton stand up comedy di Hotel Grand Dian Pekalongan. Saya berangkat bersama pacar saya yang malam itu cantik sekali, rencananya. Tapi karena malam itu saya belum punya pacar jadi ya saya berangkat bersama teman saya. Kebetulan teman saya ini belum pernah menonton langsung pertunjukan stand up comedy.
Sementara malam itu adalah untuk kedua kalinya saya menyaksikan pertunjukan stand up comedy. Saya bersama teman saya datang sekitar pukul setengah delapan malam. Alih-alih disambut dengan pertunjukan seorang stand up komedian atau komika di atas panggung, sesampainya di sana justru biduan berbadan subur yang berada di atas panggung.
Meski suaranya tak semerdu Lesti, tapi cukup untuk membuat seluruh ruangan bergetar. Sayangnya, suara biduan itu tak cukup mendorong hadirin sekalian untuk berjoget. Padahal ini kalau di kampung-kampung langsung ada yang mabuk ekstra jos campur Autan.
Orkesan tapi Komedi
Maklum saja, walaupun temanya “ORKESUN” dibaca “ORKESAN”, bagaimanapun itu adalah acara stand up comedy. Yang harusnya muncul ya tawa, bukan birahi. Acara itu dibuka oleh komika lokal. Sebab memang dibuat khusus untuk komunitas Stand Up Comedy Pekalongan.
Seingat saya, ada lima komika lokal yang tampil malam itu. Meski lokal mereka sejatinya bukan hanya datang dari Pekalongan, melainkan juga hadir dari daerah tetangga, tak terkecuali dari kabupaten yang kondisi jalannya selalu bikin saya misuh-misuh. Selain lima manusia tadi, juga ada dua komika nasional: Yono Bakrie dan Abdur Arsyad.
BACA JUGA: Jalan Panjang Perjuangan Mewujudkan Gagasan Bung Hatta
Kehadiran dua komika nasional tentu saja menjadi daya tarik acara ini. Wajar, dua nama yang dihadirkan cukup beken di dunia pelawak tunggal. Baik Abdur maupun Yono Bakrie adalah finalis Stand Up Comedy Indonesia di Kompas TV.
Ihwal bagaimana lucunya kedua komika nasional itu tentu saja tidak perlu dipertanyakan lagi. Dengan materi-materi yang segar, penuh kritik, sedikit seksis, dan vulgar sanggup mengocok perut para penonton. Namun bagi saya komika lokal juga sebetulnya tak kalah menarik.
Penampilan Komika Lokal
Jika komika nasional mengambil lanskap lebih luas, di mana semua orang tahu apa yang disampaikan, komika lokal punya cita rasa sendiri. Menurut saya para komika lokal itu menyuguhkan lokalitas yang sangat kental, gurih, dan disampaikan dengan cara yang lebih renyah dari wafer Tango.
Inilah yang malah tidak kelihatan dari komika nasional yang tampil malam itu. Tanpa mendiskreditkan komika nasional, malam itu guyonan-guyonan para komika lokal sangat begitu dekat dan relate bagi saya dan mungkin seluruh pengunjung.
BACA JUGA: Apa Kabar Kampung Canting?
Pertama, komika yang mengaku dirinya anak punk. Entah ia sungguh-sungguh anak punk atau bukan. Tapi persona yang coba dibangun menurut saya berhasil. Sangat berhasil malah. Teman saya sempat terkejut ketika komika yang bernama Emyunip ini naik ke atas panggung.
Penampilannya sangat punk sekali. Dari gaya rambutnya saja, saya sempat mengira, lho kok malah vokalisnya Marjinal yang muncul? Teman saya juga heran karena foto dan aslinya beda jauh. Hei bung! Foto memang suka menipu. Tapi tenang, ia cuma menipu, tidak sampai mencomot duit rakyat.
Kedua, komika yang mempunyai kisah perjalanan spiritual luar biasa. Konon ia sudah lebih dari sekali berpindah agama. Pengalamannya itulah yang dijadikannya set up atau bagian sebelum punchline (bagian lucunya). Tentu saja lucu, set up-nya!
Ketiga, ada komika lokal yang penampilannya seperti orang alim. Katakanlah ia memang alim. Stand up comedy pun dibuatnya seolah-olah komedi berbalut dakwah. Penampilannya itu mengingatkan saya pada pendakwah kondang Kyai Anwar Zahid.
Jika pendakwah yang pernah mondok di Pondok Pesantren Langitan itu memasukkan unsur komedi agar dakwahnya mudah dipahami, komika yang ngakunya bernama Fuad tadi memasukkan komedi supaya dakwahnya belok.
BACA JUGA: Sarang Bandit, Tempat Mesum, dan Stereotip Menyebalkan tentang Panjang
Keempat, ada tukang bakso yang mencari peruntungan sebagai stand up komedian. Oleh pemuda yang satu ini, panggung malam itu tak ubahnya seperti papan reklame di dekat SPBU. Meski tidak seluruhnya, tapi sebagian besar materi yang disampaikan adalah promosi dagangannya. Menggelitik sekaligus membuat saya lapar.
Selucu Apa Ketua Komunitasnya?
Komika lokal kelima adalah kepala komunitas Stand Up Comedy Pekalongan. Sebagai ketua harusnya ialah yang paling lucu. Namun malam itu ia sama sekali tidak lucu, kalau tidak naik di atas panggung. Materinya dibawakan dengan sangat baik. Bukan hanya banyolan lewat kata-kata, tapi pemuda yang mengaku bernama Arzaqi itu mampu menirukan gaya Subro ketika menyanyikan lagu “Bondolan”.
Barangkali itu karena perawakan tubuh penyanyi jebolan Dangdut Academy itu sama seperti sang komika. Jadi lucu aja. Meski sangat beragam, saya menangkap ada satu nada yang sama. Semua komika lokal menyelipkan kritik-kritik sosial dalam setiap materi yang disampaikan. Kritik yang mungkin kalau didengar pemangku kebijakan bisa berabe.
Sekali lagi, bagi saya komika lokal punya cita rasa komedi yang tidak kalah dari komika nasional. Hanya saja, karena namanya cita rasa lokal, tidak semua lidah bisa mencicipinya.