
Saling mengungguli agaknya kaprah dalam arena debat calon kepala daerah. Apakah itu salah? Tentu tidak. Sah-sah saja itu dilakukan. Lebih-lebih, untuk memikat masyarakat pemilih.
Lain dari itu, sebagai sebuah sajian tayangan televisi, pemandangan itu bisa dijadikan hiburan bagi penonton. Kekhawatiran bahwa tayangan debat akan menjadi sangat menjemukan sedikit dapat dianulir. Apalagi saat sorotan kamera mampu menangkap gestur-gestur yang dramatik. Menunjukkan ekspresi yang emosif serta mengundang sensasi manakala muncul bahasa-bahasa gimik yang kontroversi.
Masih lekat ingatan kita, saya kira, bagaimana debat calon Presiden dan Wakil Presiden beberapa waktu lalu. Arena debat sempat diwarnai bahasa-bahasa gimik yang “menggemaskan”. Sampai-sampai menjadi meme di ruang media sosial.
Reaksi atas gimik tersebut beragam. Ada yang menganggapnya sebagai kecerdasan. Ada juga yang menilainya sebagai cara murahan dalam berdebat. Pun ada yang memandangnya sebagai cara baru dalam komunikasi politik. Bahkan, ada yang sampai menyebutnya sebagai pelanggaran etika.
Lepas dari itu, arena debat yang tersedia selalu digadang-gadang sebagai sarana pendidikan politik paling ampuh selama tahapan pemilihan. Seperti diungkapkan Ketua KPU Kota Pekalongan, Fajar Randi Yogananda, dalam sambutan pembuka pada debat perdana, 26 Oktober 2024 lalu. Dikatakannya, “Kami berharap, dengan kegiatan ini, masyarakat bisa menyaksikan. Karena kegiatan ini merupakan bentuk pendidikan kepada pemilih, khususnya pemilih pada Pilwalkot Pekalongan 2024.”
Lalu, pada bagian berikutnya, Mas Fajar mengilustrasikan Pilkada dalam rupa pergelaran wayang. Pernyataan itu dikatakannya lantaran dalam debat perdana itu suguhan penyambutan tamu berupa penampilan karawitan yang dimainkan siswa SMA Negeri 3 Pekalongan. Ia katakan, “Mendengar karawitan, kita seolah-olah terbawa dalam suasana seperti menonton pewayangan. Banyak cerita pewayangan yang baik. Sehingga, kami berharap, pemilih dapat memosisikan seperti seorang dalang yang bisa menentukan mana yang terbaik dari cerita-cerita pewayangan yang akan dibawakan. Termasuk, pasangan calon. Seluruh pasangan calon adalah orang baik.”
Lewat pernyataan itu, tertangkap kesan, bahwa Mas Fajar merupakan sosok muda yang mengetahui persis korelasi wayang dan pendidikan, khususnya pendidikan politik. Kisah pewayangan merupakan cerminan kehidupan manusia, khususnya manusia Jawa. Di dalamnya, terdapat beragam intrik dan konflik yang tumpang tindih dan kompleks. Apabila ditekuni secara saksama, tentu akan didapat gambaran yang kompleks pula pada karakter yang dihadirkan tokoh-tokohnya.
Sebagaimana dalam kisah epik Bharatayuda, konflik di dalam keluarga besar Bharata menjadi piwulang manusia Jawa. Tak hanya soal perebutan tahta, melainkan ajaran-ajaran moral, etika, strategi perang, teknologi, tatanan sosial, dan berbagai macam lainnya. Kerucut dari kisah epik itu bermuara pada ajaran spiritualitas.
Pada hakikatnya, seluruh keluarga Bharata adalah orang-orang terhormat. Para ksatria yang begitu takzim kepada para brahmana. Baik Kurawa atau Pandawa sama-sama memiliki akar spiritualitas yang sama. Berangkat dari kadar spiritualitas yang setara.
Akan tetapi, dalam pengembaraan cerita, kubu Kurawa agaknya terlena oleh manisnya kekuasaan. Setelah menduduki istana Hastinapura, mereka merasa sebagai pewaris sah dari dinasti Bharata. Lupa pada perjanjian yang mengikatnya, bahwa setelah para putra Pandhu dewasa dan layak menduduki singgasana, Hastina mesti diserahkan kembali kepada pewaris tahta. Sayang, Drestarastra yang naik tahta untuk menggantikan adiknya, Pandhu, merasa perlu membela hak anak-anaknya untuk menjadi raja.
Dari sini pula, pertikaian politik di antara Kurawa dan Pandawa muncul. Oleh para dalang, Kurawa selalu ditampilkan dengan sikap arogan. Watak mereka selalu ingin menjadi unggul. Pamer kekuatan, kemewahan, dan segala yang tidak dapat dijangkau oleh rakyat kecil mereka tampilkan. Meski sejatinya mereka cukup tahu, bahwa hal itu sia-sia belaka.
Berbeda dengan tabiat Pandawa yang ditampilkan sebagai sosok-sosok yang bersahaja. Maklum, mereka pernah mengalami masa pembuangan belasan tahun. Bertapa di hutan, kemudian menyamar sebagai warga biasa dan mengabdi pada raja-raja yang memimpin kerajaan-kerajaan vasal Hastinapura. Bahkan, hampir-hampir menjadi korban pembunuhan yang diskenario Duryodana.
Singkat cerita, kisah epik ini diakhiri dengan adegan perang besar di padang Kuruksetra. Hasil akhir perang itu adalah kemenangan di tangan Yudhistira. Sayang, kemenangan itu mesti dibayar dengan banyak kehilangan. Tidak terkecuali, saudara-saudaranya sendiri. Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa tewas dalam perang itu. Begitu pula beberapa putra mereka. Sampai pada akhirnya, Yudhistira berketetapan hati untuk meninggalkan dunia para ksatria. Ia mendaki puncak dan mencari makna hidup yang sejati.
Dari kisah ini, serta mempertimbangkan pernyataan Mas Fajar, muncullah sebuah pertanyaan. Apakah hanya dengan cara saling mengungguli dalam debat, sehingga para kontestan ini merasa mendapat perhatian? Tidakkah ada cara lain yang lebih bijaksana? Sebab, arti debat yang sesungguhnya bukan sekadar untuk mengecap gagasan masing-masing. Akan tetapi, ada proses dialog gagasan, pertukaran pendapat dengan menyampaikan alasan yang mendasar sehingga dapat saling mempertahankan pendapat. Bukan semata-mata menjatuhkan pendapat satu sama lain.
Tentu, seperti diucapkan Mas Fajar, kita semua menghendaki tokoh-tokoh pewayangan yang baik. Bukan sebaliknya. Maka, apakah cara Kurawa atau Pandawa yang ingin dihadirkan? Lagi-lagi, itu adalah pilihan. Selamat berlaga pada kandidat.
Pekalongan, 18 November 2024