Tahun 2021 jelang berakhir. Kami berlima belas terjun ke sebuah desa di lereng gunung Prau. Tujuan kami tak lain menjalankan tugas sebagai mahasiswa tingkat akhir; KKN.
Selama 45 hari kami tinggal di desa itu. Seperti pada umumnya mahasiswa yang datang di desa baru, kami tak begitu mengenal desa tempat kami tinggal. Maka, kami pun berusaha mencari dan mengumpulkan informasi mengenai desa tempat kami ber-KKN.
Menarik! Setelah kami mengumpulkan informasi, rupanya desa tempat KKN kami merupakan desa yang dikaruniai keistimewaan. Boleh dibilang, desa inilah desa yang melahirkan peradaban masa lampau yang keren!
Penasaran desa mana yang kami maksud? Pengin tahu? Makanya, simak tulisan ini sampai titik paling akhir.
Tahun 2021 menjadi tahun berakhirnya pembelajaran daring. Tahun itu pembelajaran luring mulai diberlakukan dari tingkat SD sampai perguruan tinggi. Tentu, kudu ada penyesuaian. Termasuk, menyesuaikan dengan kebiasaan-kebiasaan baru lagi.
Memang, yang namanya penyesuaian pastilah ada yang bikin kami merasa agak keberatan. Apalagi selama Covid 19 mewabah, kami kadung nyaman dengan pembelajaran daring. Kami juga kadung asyik mager. Berbagai kritikan kemudian mengemuka menyoal metode pembelajaran luring. Tidak terkecuali, pelaksanaan KKN yang menurut sebagian dari mahasiswa program yang sia-sia. Wabilkhususnya, pelaksanaan KKN di luar daerah.
Sebagai informasi, selama Covid menerpa, kampus kami, UIN Gusdur masih terus melaksanakan KKN. Hanya, lokusnya di kampung tempat asal mahasiswa masing-masing. Betapa, KKN kala itu menjadi program yang sangat membuat mahasiswa merasa ternyamankan.
Akan tetapi, pada akhir tahun 2021, kampus mulai kembali melaksanakan program KKN yang dilangsungkan di desa-desa. Biasanya, desa yang ditunjuk berada di wilayah luar daerah. Hanya, saat itu penerjunan kelompok KKN tak semassal sekarang. Ada beberapa kelompok yang masih harus menjalankan KKN di kampung tempat tinggal mahasiswa. Tim kami termasuk yang diterjunkan ke desa di luar kami mukim.
Sebagai tim yang diterjunkan ke desa di luar daerah, kami pun kepoin desa yang ditunjuk. Letaknya, di kawasan perbukitan, di bilangan Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang. Ketinggiannya permukaan tanah di desa itu antara 500 sampai 1000 mdpl.
Sudah pasti, desa ini di kawasan perbukitan, tepatnya di kaki Gunung Prau, panorama pemandangan desa tampak menghijaukan mata. Udaranya juga masih relatif lebih bersih dibandingkan udara kota. Cocok buat menenangkan pikiran.
Terus terang, desa ini benar-benar bikin saya penasaran. Sampai-sampai saya sempat meminta bantuan seorang kawan yang seorang pegiat sejarah. Resnu Bahtiar, namanya. Darinya saya mendapatkan sebuah fail penting. Isinya, laporan kegiatan Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (1977), tentang survey temuan-temuan arkeologi di Kabupaten Kendal, Batang, dan Pekalongan. Tak cuma data, ia juga yang mempertemukan kami dengan tim dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah untuk mendata temuan arkeologi yang baru ditemukan di perkebunan desa tempat KKN saya.
Fail pdf kiriman Mas Resnu rupanya berlanjut dengan pertemuan kami dan Mas Resnu dengan Ustaz Nurudin. Dia seorang tokoh agama di desa tempat KKN kami. Hampir setiap malam kami asyik mengobrol perihal sejarah desa. Khususnya, Dukuh Reco.
Ustaz Nurudin tergolong punya perhatian besar terhadap sejarah desanya. Bahkan, saya baru sadar kalau beliau rupanya cucu dari Mbah Kasiman, sesepuh desa yang dulu menjaga benda-benda peninggalan di Dukuh Reco. Sayang, sekarang benda-benda itu tak diketahui keberadaannya. Menariknya, dari setiap obrolan, kami menemukan beberapa hal yang masih misteri tentang desa tua ini. Yang jelas, desa ini punya hubungan kuat dengan kompleks candi di Dieng.
Oh ya, kami baru menempati desa ini tepat pada hari Jumat, 15 Oktober 2021. Tepatnya, di salah satu rumah milik warga di Dukuh Reco. Pemilik rumah memilih merantau ke Jakarta. Walhasil, rumah tersebut jarang ditinggali pemiliknya.
Hari-hari kami selama KKN tak jauh berbeda dengan yang dilakukan mahasiswa lain. Membaur dengan warga, membantu tugas-tugas di Kantor Kepala Desa, mengajar di beberapa sekolah dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ), membuka bimbel untuk anak-anak, dan mengadakan beberapa kegiatan. Saya sendiri lebih banyak bertugas di Kantor Kepala Desa dan ikut mengajar di TPQ sore. Tugas yang sebenarnya nggak linier-linier banget dengan jurusan saya, Tasawuf dan Psikoterapi.
Tapi, semisal diminta linier dengan prodi yang saya ambil, agaknya susah juga sih. Mental orang desa saya rasa kuat-kuat, apalagi soal dakwah Islam, ritual dan praktik Islam di Desa Gunungsari sudah sangat bisa saya rasakan.
Kembali ke masalah sejarah desa, di samping tugas harian itu, saya cukup keasyikan mengulik sejarah desa ini. Baik melalui penelusuran data maupun obrolan dengan para sesepuh desa. Dalam fail laporan milik Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional tahun 1977, di desa ini banyak ditemukan peninggalan-peninggalan berupa benda arkeologi dari masa Hindu-Budha. Hal itu menegaskan bahwa daerah ini sudah dihuni sejak lama.
Dari para sesepuh desa saya mendapat informasi bahwa kata “reco” pada Dukuh Reco diambil dari kata “arca“, masyarakat setempat menyebut “arca” dengan sebutan “reco“. Nama tersebut disematkan sebab di daerah ini banyak ditemukan peninggalan berupa arca dari masa Hindu-Budha.
Tak hanya itu, dalam laporannya, tim dari Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (1977) juga menyebutkan, “Suatu hal yang menarik selama perjalanan kami ialah kenyataan-kenyataan bahwa jalan-jalan di pedesaan, terutama di Ngreco tampak rapih karena ditutup oleh pasangan pecahan-pecahan batu. Melihat cara pemasangannya dapat ditarik kesimpulan bahwa tradisi mengolah batu telah dikenal lama. Ini sesuai dengan cerita setempat yang menyebutkan tentang seorang ratu di Dieng yang acapkali memerintahkan rakyat Ngreco untuk memahat arca dan mengirimkannya ke daerah Dieng“.
Terkait cerita setempat yang disebutkan dalam kutipan tersebut, saya langsung mengkonfirmasinya pada Ustaz Nurudin. Beliau membenarkan. Bahkan cucu Mbah Kasiman itu memberi kami informasi mengenai jalan setapak di tengah hutan yang menghubungkan Dukuh Reco dengan Dieng. Seketika, muncul pertanyaan apa jalan itu yang dipakai masyarakat Reco untuk mengirimkan arca ke Dieng? Mungkin saja iya.
Yang saya tahu, catatan Rafles mengemukakan, percandian Dieng dikagumi betul oleh sang Gubernur Jenderal asal Inggris itu. Lebih-lebih, di negeri para dewa itu tercatat pernah berdiri ratusan candi. Sayangnya, kini hanya tersisa beberapa buah. Salah satunya Candi Arjuna. Konon, pernah terjadi bencana alam banjir dan penjarahan besar-besaran di sana. Akibatnya, ratusan candi dan ribuan arca di Dieng raib. Untuk sisa-sisa arca, kalian bisa mengeceknya langsung di Museum Kailasa, letaknya di seberang jalan kompleks Candi Arjuna.
Temuan Baru di Dukuh Reco
Suatu malam, di sela-sela obrolan dengan Ustaz Nurudin di ruang tamu rumau beliau, tiba-tiba beliau sampaikan informasi tentang temuan baru di tengah ladang persawahan milik warga. Juga di dekat pelataran masjid Dukuh Reco.
Esoknya, beliau mengajak saya menyaksikan langsung temuan itu. Rupanya, sebuah lingga semu dan beberapa fragmen candi. Batu-batu itu dimanfaatkan petani untuk benteng sawah. Sedang yang ada di pelataran masjid, berupa batu menhir yang biasanya eksis pada masa sebelum datangnya pengaruh Hindu-Budha ke Indonesia. Sekali lagi saya dibuat kagum dengan desa ini.

Saya meminta izin pada beliau untuk menyampaikan temuan ini pada Mas Resnu. Keputusan itu ternyata sangat tepat. Suatu hari, ia mengabari bahwa tim dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah akan melakukan pendataan di sekitar Kabupaten Batang. Ia menawari temuan tersebut untuk segera ikut didata. Harapannya agar tidak diusili tangan-tangan tidak bertanggung jawab.
Info saja, sepeninggal Mbah Kasiman, semua benda-benda arkeologi di Dukuh Reco yang terdata dalam laporan Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (1977) itu sudah tidak diketahui keberadaannya. Ada yang bilang, hilang dicuri orang. Ada juga yang mengatakan sudah diamankan pihak berwenang. Yang jelas wujudnya sudah tak diketahui.
Setelah mendapat izin Ustaz Nurudin, saya langsung mengontak Mas Resnu. Agar, tim BPCB sudi mengunjungi Dukuh Reco. Sekitar pertengahan November 2021, saya lupa tanggal pastinya, tim BPCB datang ke Dukuh Reco. Sayangnya, Ustaz Nurudin sedang tak di rumah. Ada kegiatan di lain desa. Beliau memasrahkan urusan ini pada kami.
Banyaknya penemuan-penemuan arkeologi di Dukuh Reco menguatkan bahwa daerah ini telah lama dihuni manusia. Sayang, banyak sejarah darinya yang masih menjadi misteri. Belum sepenuhnya terungkap. Kata Ustaz Nurudin, banyak pemerhati sejarah yang menduga kalau dahulu di Dukuh Reco, Desa Gunungsari ini pernah berdiri candi bahkan punden berundak. Mereka juga meyakini masih banyak peninggalan yang tersimpan di desa yang sejuk ini.